Piala Dunia 1998: Ketika Owen Bersuara Lantang dan Gol Ajaib Tercipta

23 Mei 2018 17:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Owen di laga vs Argentina, Piala Dunia 1998. (Foto: PATRICK KOVARIK / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Owen di laga vs Argentina, Piala Dunia 1998. (Foto: PATRICK KOVARIK / AFP)
ADVERTISEMENT
Seperti anak panah di tangan pahlawan, demikianlah gol Michael Owen muda ke gawang Argentina.
ADVERTISEMENT
Pada Piala Dunia 1998, Owen belum genap berusia 19 tahun. Namun, ia datang ke Prancis dengan membawa tumpukan predikat harum semerbak: Pemain Muda Terbaik PFA, Sepatu Emas Premier League, dan Pemain Terbaik Ketiga PFA.
Kiprahnya bersama Timnas Inggris juga baru. Laga debutnya bersama The Three Lions berlangsung pada Februari 1998. Kala itu, Inggris menjalani pertandingan persahabatan melawan Chile, itu pun berakhir dengan kekalahan 0-2.
Performa briliannya bersama Liverpool-lah yang menarik minat manajer Inggris saat itu, Glenn Hoddle, untuk memboyongnya masuk skuat Timnas demi merebut gelar di tanah Prancis. Di perhelatan itu, ia bertanding dalam dua pertandingan fase grup melawan Tunisia dan Rumania.
Walau bermain sebagai pemain pengganti, Owen tetap mampu menjadi pembeda. Gol tunggalnya di menit 81 saat bertanding melawan Rumania membuat Inggris tak menutup laga dengan buruk-buruk amat. Dua gol Rumania berhasil dibalas dengan satu gol Owen.
ADVERTISEMENT
Inggris menutup fase grup sebagai runner up Grup G. Perjalanan Inggris di babak 16 besar pun menjadi titik temu antara Owen dan perhatian sepak bola dunia.
Argentina, negeri yang terkenal dengan keliaran sepak bolanya itu menjadi lawan Inggris dalam perebutan tiket perempat final. Argentina memasuki laga dengan gahar. Gabriel Omar Batistuta, Ariel Ortega, Roberto Ayala, Juan Sebastian Veron, Diego Simeone, Javier Zanetti, dan Carlos Roa menjadi alasan mengapa Inggris layak bertanding dalam takut.
Kepercayaan Hoddle pada Owen tak berhenti di pertandingan terakhir fase grup melawan Kolombia. Di laga melawan Argentina ini pun, Hoddle memberikan kesempatan pada Owen untuk melakoni pertandingan sejak menit awal. Owen memang datang ke Prancis sebagai anak muda yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun, dibandingkan Zanetti dan keperkasaan Batistuta, apa, sih yang bisa dibanggakan Owen?
ADVERTISEMENT
Apa pun ranahnya, kapan saja waktunya, siapa berani berharap, ia mesti bersiap untuk kecewa. Namun, selama sepak bola masih dipenuhi kisah epik yang menjungkalkan ketidakmungkinan, maka selama itu pulalah harapan bertahan dalam sepak bola. Selalu ada kesempatan bagi cecunguk untuk mengalahkan kampiun, karena David memang pernah mengganjar Goliath dengan kekalahan.
Argentina memulai laga dengan memastikan. Eksekusi penalti Batistuta ditutup dengan keunggulan Tim Tango di menit keenam. Inggris pun menjawab keunggulan lawan dengan cara yang sama. Pada menit ke-10, Alan Shearer mengubah kedudukan menjadi 1-1 setelah berhasil mencetak gol dari titik putih.
Untuk keberhasilan ini, tak berlebihan bila Shearer berterima kasih pada Owen. Sebabnya, pergerakan lincah Owen di kotak penalti menggelapkan mata Ayala. Ancaman yang diberikan Owen cukup menakutkan skuat pertahanan Argentina, sehingga Ayala tak punya cara lain untuk menghentikannya selain melakukan pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Enam menit setelah gol penyama kedudukan itu, Owen memulai babak baru dalam kehidupannya sebagai pesepak bola. Paul Ince menginisiasi serangan balik sesaat setelah ia berhasil merebut bola dari pemain Argentina. Tanpa membuang waktu, ia melepaskan umpan kepada David Beckham yang tak terkawal lawan.
Beckham, kemudian, mengirimkan bola tadi kepada Owen yang saat itu sedikit di depan tengah lapangan. Walau, tak ada dalam posisi yang benar-benar bebas dari kepungan lawan, pergerakan licin Owen mampu melepaskannya dari pengawalan Argentina.
Selebrasi gol Owen di laga vs Argentina, 1998. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol Owen di laga vs Argentina, 1998. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
Alih-alih mengoper kepada Paul Scholes yang saat itu juga berlari di sebelah kanannya tanpa pengawalan, Owen memutuskan untuk bermanuver sendirian, menggiring bola tadi hingga mencapai kotak penalti, mengandaskan kepungan tiga pemain bertahan Argentina sekaligus.
ADVERTISEMENT
Bahkan, di lapis terakhir tembok pertahanan Argentina, Owen sempat mengarahkan bola ke arah yang tidak terduga sebelum akhirnya melepaskan tendangan keras dari daerah penalti yang membuat kiper Argentina, Roa, terperangah.
Di Piala Dunia 1998 itu, Owen serupa anak muda yang baru lulus kuliah, yang baru pertama kali menjejak di dunia kerja. Beberapa penghargaan yang dibawanya ke turnamen itu sekaligus menjadi penanda keberadaan harapan publik Inggris. Pikiran mereka waktu itu penuh dengan syukur. Syukur karena akhirnya muncul lagi bibit muda yang punya peluang memperbaiki martabat sepak bola Inggris.
Tanpa ada yang perlu mengingatkan, Owen paham dengan hal ini. Ia sadar betul bahwa di dalam setiap peluang menjanjikan yang diterimanya tersimpan tanggung jawab dan tantangan yang sudah pasti tak mudah. Beban itu tak lagi sekadar gol yang harus ia cetak, tapi ekspektasi dari segenap pencinta sepak bola Inggris.
ADVERTISEMENT
Lewat sepak-terjang dan pencapaiannya sebagai pesepak bola muda Inggris, Owen sedang ada dalam momen-momen awal saat ia dapat berbicara. Ia berbicara lewat gol-golnya, lewat sejumlah pengakuan internasional, dan lewat keberhasilannya menembus pertahanan lawan sebelum mencetak gol solo run yang brilian.
Anak muda, di mana pun ia ditempatkan, akrab dengan anggapan remeh. Karena itulah, lewat gol solo run-nya, lewat manuver tunggalnya, Owen seolah ingin menegaskan: Jangan coba-coba untuk menganggap remeh hanya karena saya masih muda, hanya karena belum genap 19 tahun. Jangan sekali-kali memandang dengan sebelah mata hanya karena ini menjadi turnamen pertama saya bersama Timnas.
Bila Owen memutuskan untuk mengirim umpan kepada Scholes, yang situasinya lebih masuk akal ketimbang Owen saat itu, bisa jadi ia tak akan diperhitungkan sebagai talenta muda kelas dunia. Mungkin nama besarnya hanya akan menggaung di seantero Inggris. Atau, bukannya mustahil bila nama besar tadi justru melekat pada Scholes karena berhasil mencetak gol penting di laga itu.
ADVERTISEMENT
Owen mempertaruhkan apa-apa yang baru dibangunnya lewat keputusannya untuk mencetak gol solo run. Bila perhitungannya meleset sedikit saja dan gagal berbuah gol, tidak berlebihan bila ia hanya akan dipandang sebagai anak muda keras kepala yang haus popularitas. Atau, cukup masuk akal bila kenekatan tanpa hasil itu akan membungkam 'suaranya' di hadapan dunia, bahkan lingkup yang lebih sempit seperti publik Inggris.
Yang ada dalam benak Owen saat itu, ia terlanjur melangkah. Maka, ia menanggung risiko sekuat-kuatnya yang ia mampu.
Jangan salah, pertaruhan Owen tak berakhir buntung. Seketika, namanya diperdengarkan di mana-mana. Momen luar biasa bagi masa muda Michael Owen, seperti itu seruan komentator yang mengawal jalannya pertandingan. Pemain-pemain yang duduk di bangku cadangan seketika ikut bangkit, tertawa girang menyambut keberhasilan si adik menjebol gawang Argentina.
ADVERTISEMENT
Owen berlari mengitari lapangan. Bukan lari panjang dengan jarak yang jauh. Salah satu jarinya terangkat, mengacung walaupun tanggung. Setelahnya, dunia tahu langkah Inggris terhenti. Elegi babak adu penalti menutup perjalanan Inggris di Prancis. Apa boleh buat, kekalahan 3-4 di duel satu lawan satu tak bisa dihindari.
***
Karier Owen tak serta-merta tamat setelah gelaran Piala Dunia 1998 itu. Nama besarnya tak menguap seketika karena ia berhasil menjadi tulang punggung Liverpool dalam berkompetisi.
Selama delapan musim membela Liverpool, Owen mencatatkan 306 penampilan di semua ajang dan membukukan 179 gol. Owen juga mempersembahkan enam gelar juara: Liga Europa (2000/2001), Piala Super Eropa (2001), Piala FA (2000/2001), Piala Liga Inggris (2000/2001 dan 2002/2003), serta Community Shield (2001).
ADVERTISEMENT
Namun, selalu ada hal yang menyadarkan setiap orang tentang musim buruk yang panjang. Untuk Owen, pengingat itu muncul dalam wujud kepindahannya ke Real Madrid.
Setelahnya, ia seperti manusia nomaden yang tak punya tempat tetap. Pemberitaan tentang eksploitasi Liverpool di masa muda yang menjadi pangkal nestapa Owen di usia matang menyeruak gencar, menggebah angan-angannya untuk menyandang status legenda Liverpool sepanjang hayat.
Suara Owen tetap terdengar. Namun, bunyinya tak seperti saat ia bersuara lewat torehan gol dan gelar juara di masa mudanya. Kali ini, bunyinya sumbang. Ia menjadi komentator pertandingan yang kerap dicecar dengan omongan tak sedap.