Piala Dunia 1998: Saat Keberagaman Menjadi Kekuatan Prancis

30 Mei 2018 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Skuat Prancis di Piala Dunia 1998. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Skuat Prancis di Piala Dunia 1998. (Foto: DANIEL GARCIA / AFP)
ADVERTISEMENT
Keberagaman, jika dipelihara dan dikelola dengan baik, akan menjadi sebuah kekuatan yang besar. Inilah yang terlihat di skuat Tim Nasional (Timnas) Prancis di ajang Piala Dunia 1998.
ADVERTISEMENT
Isu mengenai keberagaman, yang dilandasi oleh isu mengenai banyaknya imigran berdatangan ke Prancis, menjadi sebuah bumbu tersendiri jelang perhelatan Piala Dunia 1998. Diembuskan oleh pemimpin Partai Front Nasional, Jean-Marie Le Pen, isu mengenai imigran muncul, lalu disambungkan dengan kondisi kemiskinan di Prancis. Bahkan, Le Pen tak ragu menyerang skuat Timnas Prancis saat itu.
Dengan target menjadi presiden pada 2002 kelak, Le Pen mengungkapkan bahwa imigran adalah kunci dari kebobrokan negara Prancis. Para imigran, yang kebanyakan datang dari negara-negara koloni, membuat situasi di Prancis kacau. Hal ini diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat yang memang sedang buruk saat itu.
Meski begitu, Piala Dunia 1998 tetap diadakan. Diiringi dengan slogan dan kampanye yang tetap membawa isu memburuknya kondisi di Prancis akibat imigran, Aime Jacquet, pelatih Prancis kala itu, tetap menampilkan skuat yang sangat berwarna di Piala Dunia 1998. Skuat yang menjadi tanda perubahan untuk menuju Prancis yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
***
Terlepas dari perjalanan Prancis. yang berdasarkan pengakuan Michel Platini, diatur oleh dirinya selaku ketua komite penyelenggara, skuat asuhan Jacquet ketika itu memang bukan skuat sembarangan. Berisikan pemain-pemain berbakat Prancis, mereka menjadi salah satu kandidat juara ketika itu.
Ada nama Zinedine Zidane yang sudah membela Juventus di Italia bersama dengan Didier Deschamps. Jangan lupakan pula Emmanuel Petit dan Patrick Vieira yang sudah matang bersama Arsenal. Ada juga si tangguh Lillian Thuram yang membela Parma serta Thierry Henry muda yang masih membela Monaco. Robert Pires muda di FC Metz juga masuk hitungan.
Intinya, selain segala hal di belakangnya yang membantu mereka juara, skuat Prancis ketika itu memang kuat. Jika tidak begitu, mana mungkin mereka bisa mengalahkan Paraguay, Italia, 'kuda hitam' bernama Kroasia, serta Brasil di partai final.
ADVERTISEMENT
Tetap saja, terlepas dari kekuatan skuat Prancis ketika itu, ada satu hal mencolok yang menjadi pembahasan masyarakat. Hal itu adalah perihal skuat Prancis yang berwarna. Skuat Prancis tidak hanya berisikan orang pribumi ketika itu.
Zidane, pemain andalan Prancis ketika itu, merupakan keturunan Aljazair. Thuram, pahlawan Prancis di laga semifinal melawan Kroasia, berasal dari Guadeloupe, sebuah daerah di Karibia yang merupakan wilayah koloni Prancis. Ada juga Marcel Desailly dan Patrick Vieira yang keduanya masing-masing memiliki darah Ghana dan Senegal.
Zinedine Zidane pada 1998. (Foto: GABRIEL BOUYS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Zinedine Zidane pada 1998. (Foto: GABRIEL BOUYS / AFP)
Berwarnanya skuat Prancis inilah yang begitu keras ditentang Le Pen. Dia bahkan sampai menyebut bahwa skuat Prancis untuk Piala Dunia 1998 ini adalah skuat buatan. Dia juga menganggap para pemain tersebut tak bisa menyanyikan 'La Marseillaise', lagu kebangsaan Prancis.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya turnamen, anggapan tersebut perlahan hilang dan memudar. Setelah melalui perjuangan panjang sampai mengalahkan Brasil di partai final, tak ada lagi yang bicara miring soal skuat Prancis ini. Masyarakat ikut hanyut dalam haru ketika Zidane tertangkap kamera mencium trofi Piala Dunia sambil menangis dan menyanyikan 'La Marseillaise'.
Le Pen sendiri, sepanjang Piala Dunia 1998 dihelat, tak muncul ke permukaan. Dia baru muncul lagi pada pemilihan presiden di tahun 2002 dan kalah dalam pemilihan tersebut. Hal yang benar-benar disyukuri oleh Thuram dan Desailly.
***
Memang dalam rentang waktu 1998 sampai 2002, isu mengenai imigran tetap rutin diembuskan Le Pen. Bahkan setelah Le Pen kalah dan turun gelanggang selaku ketua Partai Front Nasional, anak bungsunya, Marine Le Pen, meneruskan perjuangan ayahnya dengan mengembuskan tanpa henti efek negatif dari hadirnya para imigran di Prancis.
ADVERTISEMENT
Namun, momen Piala Dunia 1998 seolah menjadi momen lahirnya Prancis baru. Prancis yang tidak kelewat nasionalis, Prancis yang lebih mau menerima perbedaan. Dalam sebuah tulisan berjudul 'French Players and Migration', momen kemenangan Piala Dunia 1998 menjadi sebuah momen ketika etnis yang berbeda bukan lagi menjadi soal.
Keberagaman membawa Prancis menjadi juara dan keberagaman pula yang membuka mata masyarakat tentang berwarnanya masyarakat mereka. Sekarang, tak ada lagi imigran atau warga asli Prancis, karena semuanya berada di bawah satu bendera yang sama, yaitu bendera biru-putih-merah.