Piala Dunia 2006: Kisah Blunder Tiga Kartu Kuning Wasit Graham Poll

7 Juni 2018 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Graham Poll di laga Kroasia vs Australia. (Foto: TORSTEN BLACKWOOD / FILES / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Graham Poll di laga Kroasia vs Australia. (Foto: TORSTEN BLACKWOOD / FILES / AFP)
ADVERTISEMENT
Piala Dunia 2006 membuktikan bahwa di atas lapangan bola, blunder tak hanya bisa dilakukan oleh para pemain, tetapi juga wasit. Pertandingan babak Grup F yang mempertemukan Kroasia dengan Australia, menjadi laga krusial. Kroasia butuh menang demi lolos fase grup, sementara hasil seri sudah cukup bagi Australia.
ADVERTISEMENT
Laga yang digelar di Stuttgart, Jerman, ini berlangsung ketat. Ketika baru berjalan dua menit, Dario Srna berhasil membukukan keunggulan pertama untuk Kroasia. Namun, Australia belum kehilangan tajinya. Pada menit 38, Craig Moore menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Di babak kedua, Kroasia membalikkan keadaan berkat gol Niko Kovac di menit 56. Namun, tekad Australia untuk setidaknya menutup laga dengan hasil seri dipegang dengan begitu teguh oleh para penggawanya. Pada menit 79, kedudukan kembali seri. Harry Kewell berhasil membobol gawang Kroasia.
Cerita laga ini tidak hanya tentang keberhasilan Australia menemani Brasil melaju ke putaran kedua, tapi juga tentang blunder kontroversial wasit di pengujung laga. Di menit 90, wasit Graham Poll mengganjar bek Kroasia, Josip Simunic, dengan kartu kuning.
ADVERTISEMENT
Yang bikin heran, itu adalah kartu kuning kedua untuk Simunic, tetapi Poll tidak langsung memberinya kartu merah dan mengusirnya dari lapangan. Poll baru memberinya kartu merah ketika Simunic melakukan protes pada injury time babak kedua. Artinya, Simunic baru diusir setelah menerima kartu kuning ketiga.
Apa yang dilakukan oleh Poll ini mendapat perhatian serius dari Komisi Wasit FIFA. Mereka pun mengakui bahwa Poll sudah melakukan kesalahan fatal di laga sekelas Piala Dunia. Sebagai hukuman, wasit asal Inggris itu tidak lagi memimpin pertandingan hingga pesta sepak bola sejagat yang menelurkan Italia sebagai juara itu selesai dihelat.
Belakangan, Poll mengakui kekeliruannya. Ia menjelaskan mengapa bisa sampai memberikan tiga kartu kuning pada satu orang yang sama. Permasalahannya ternyata ada kaitannya dengan nama dan nomor punggung pemain di kartu kuning tersebut.
ADVERTISEMENT
"Pada menit 89 waktu saya mengeluarkan kartu kuning, saya menulis nomor punggung dengan benar, tapi dengan nama yang salah. Tadinya, nomor punggung yang saya maksud itu adalah untuk pemain Australia (seharusnya Craig Moore, malah ditulis Simunic -red). Kesalahan seperti ini baru terjadi dalam 26 tahun karier saya sebagai wasit."
Poll yang waktu Piala Dunia 2006 itu berusia 42 tahun memang pernah menyebutkan bahwa ia akan gantung peluit pada usia 45 tahun. Usia tersebut merupakan usia kebanyakan para wasit pensiun dari laga internasional. Namun, menilik kesalahan fatal yang dilakukannya di laga tersebut, banyak pihak yang berspekulasi bahwa ia akan mempercepat keputusannya untuk pensiun sebagai wasit.
Walau dinyatakan bersalah, FIFA juga 'membagi' kesalahan tersebut kepada asisten-asisten wasit. Yang dipermasalahkan FIFA, yang waktu itu diwakili Sepp Blatter, mengapa saat kartu kuning kedua itu diangkat, tak satu asisten wasit pun yang bertindak dan menegur Poll untuk segera mengubah keputusannya. Bagaimanapun, hal-hal seperti itu juga menjadi tugas seorang asisten wasit di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
"Pada dasarnya, wasit adalah manusia, dan manusia membuat kekeliruan (kesalahan teknis -red). Pekerjaan kami di sini adalah untuk mengurangi kuota eror tersebut, tapi kesempurnaan yang total tidak pernah ada dalam sepak bola. Tapi, saya pikir ini hal yang bagus. Kalau kesempurnaan itu memang benar-benar ada, maka kita semua tidak akan memiliki ruang yang cukup untuk berdiskusi."
Graham Poll saat memimpin laga. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Graham Poll saat memimpin laga. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
"Saya harus mengatakan, saya tidak terkejut dengan reaksi yang muncul akibat eror tersebut. Di atas lapangan, ada empat ofisial, dan saya tidak paham mengapa tak ada satu orang pun yang mengambil tindakan. Rasanya di atas lapangan itu orang-orang seperti mengalami black-out, ya manusia memang seperti itu. Satu saja dari mereka seharusnya berlari ke arah Poll dan langsung berteriak: Hei, salah salah," jelas Blatter.
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah kejadian tersebut, FIFA menegaskan bahwa komite wasit akan segera menganalisis apa yang sebenarnya terjadi sebelum mengambil tindakan terhadap Poll. Namun, tanpa investigasi lebih lanjut pun, posisi Poll sudah jelas. Ia tidak akan lagi mendapat tempat di Piala Dunia.
Kevin Lynch, mantan wasit Liga Inggris, turut bicara soal Poll; "Seperti halnya Timnas Inggris, seorang wasit Inggris yang bertugas di Piala Dunia mewakili orang-orang Inggris. Siapa pun berharap, ia akan melakukan pekerjaannya dengan sempurna di laga tersebut."
Pada kenyataannya, Poll tak membutuhkan waktu lama untuk memutuskan pensiun dari pertandingan internasional. Tiga hari setelah pertandingan itu, Poll mengumumkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan memimpin pertandingan domestik.
Dalam konferensi pers terkait pengunduran dirinya dari pertandingan internasional tersebut, Poll menegaskan kesalahan itu murni karena ia lalai. Masih menurut Poll, tidak ada orang lain yang perlu dikambinghitamkan dalam kejadian tersebut, karena ia menjadi satu-satunya orang yang bersalah. "
ADVERTISEMENT
"Apa yang saya lakukan adalah kesalahan. Tidak akan ada perdebatan dari saya. Itu bukan karena FIFA, itu bukan karena saya disuruh untuk memimpin pertandingan yang berbeda dengan pertandingan yang bisa saya pimpin di Premier League."
"Law of the game dalam sepak bola itu benar-benar spesifik. Seorang wasit bertanggung jawab atas tindakannya di atas lapangan. Sayalah yang menjadi wasit di laga malam itu. Itu murni kesalahan saya dan tugas saya di sana langsung berakhir."
"Dua tiga hari ini saya memang memikirkan pensiun sepenuhnya. Namun, akhirnya saya mengambil keputusan, saya akan mengambil libur lima minggu, karena itu sudah cukup bagi saya untuk memulai musim dengan kondisi fit. Jadi, ini menjadi saat yang paling tepat bagi saya untuk berpisah dengan laga internasional. Tidak ada yang terluka dan tidak ada yang mati karena keputusan saya. Ini hanya pertandingan sepak bola, walau saya tahu ini pertandingan penting."
ADVERTISEMENT
Graham Poll di Piala Dunia 2006. (Foto: VINCENZO PINTO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Graham Poll di Piala Dunia 2006. (Foto: VINCENZO PINTO / AFP)
Berpisah dengan laga internasional, Poll tetap tak memotong jarak dengan laga panas. Pada November 2006, ia diserahi tugas untuk memimpin laga panas antara Chelsea dan Tottenham Hotspur. Yang ditanggung oleh Chelsea di laga ini tak cuma kekalahan 1-2 dari Spurs, tapi juga kartu merah untuk kapten mereka, John Terry. Ini menjadi pengusiran pertama Terry di level klub.
Saat pertandingan sudah berjalan 72 menit, Terry dinilai menarik badan Ledley King secara tidak perlu. Padahal, beberapa menit sebelumnya ia sudah diganjar kartu kuning oleh Poll akibat melanggar Dimitar Berbatov.
Cerita tentang kartu merah Terry ini berbuntut panjang karena Terry dinilai mengucapkan kata-kata tak pantas tentang kepemimpinan Poll dalam wawancara seusai laga. Katanya, apa Poll memberikan penjelasan yang berbeda menyoal mengapa ia diganjar kartu kuning kedua.
ADVERTISEMENT
Tudingan Terry ini berujung dengan ribut-ribut Poll dengan salah satu petinggi FA saat itu, Brian Barwick. Dalam sebuah wawancara, Poll menyebut Barwick sebagai pengkhianat karena tidak berani melindungi para wasit yang ditekan oleh manajer dan pemain.
Komentarnya ini berawal dari pertandingan antara Chelsea dan Spurs yang dipimpinnya itu.
Pertandingan final playoff Championship 2007 yang mempertemukan Derby County dan West Bromwich Albion menjadi laga terakhir yang dipimpin oleh Poll. Pertandingan itu berlangsung panas, Poll sampai harus mengeluarkan delapan kartu kuning selama laga berlangsung.
Di akhir-akhir masa baktinya sebagai wasit, sejumlah wasit angkat bicara menyoal pengenalan mereka terhadap Poll. Ada banyak pendapat, tapi kebanyakan mengakui bahwa Poll memang pribadi yang unik dalam ranah perwasitan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Arthur Smith, yang pada 2007 menjabat sebagai Kepala Operasional Asosiasi Wasit (The RA) menyebutkan, kepergian Poll adalah kehilangan besar bagi sepak bola Inggris. Ia tahu bahwa kepemimpinan Poll menuai banyak komentar dan kritik, tapi masih menurut Smith, kehidupan para wasit memang seperti itu.
Poll di laga Everton vs Arsenal. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Poll di laga Everton vs Arsenal. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
Smith pun mengisahkan, bahwa karier Poll memang dimulai dari bawah. Tadinya, ia bekerja sebagai seorang sales marketing. Namun, ia tak dapat membohongi diri sendiri bahwa pekerjaan ayahnya sebagai wasit begitu memengaruhinya. Pada usia 16 tahun, ia memutuskan untuk belajar menjadi wasit dengan memimpin pertandingan di lapangan-lapangan dekat tempat tinggalnya.
"Kepergiannya tentu menjadi kehilangan menyedihkan bagi sepak bola. Ia bekerja dari bawah, memulai dari pertandingan (tidak resmi di) taman hingga laga resmi di kompetisi tertinggi. Ia pantas mendapatkan penghormatan. Apa pun yang dipikirkan orang-orang tentang gaya kepemimpinannya, dan tentangnya secara personal, ia selalu mendedikasikan hidupnya pada sepak bola sejak hari pertama ia memulai."
ADVERTISEMENT
Wasit Premiership, Jeff Winter, juga mengakui bahwa Poll memang wasit yang akrab dengan kontroversi. Sepintas, ia terlihat sebagai pribadi yang arogan. Tapi, menurut Winter, kepribadian semacam itu perlu dimiliki oleh wasit. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi karena menjadi wasit itu bukan pekerjaan mudah. Seorang wasit perlu membentengi diri. Dan di mata Winter, Poll melakukannya dengan benar.
"Orang-orang boleh mencintai atau membencinya. Namun, yang harus digarisbawahi, Graham Poll adalah wasit yang benar-benar baik. Sombong dan narsis, itu benar. Dia memang seperti itu. Namun, karakter macam itulah yang harus dimiliki oleh seorang wasit. Itu membuatmu kuat."
"Wasit harus menjadi pribadi yang kuat dan tangguh walah dihajar kritik. Kamu tidak bisa berlemah-lembut saat berhadapan dengan sosok seperti Roy Keane. Orang seperti ini akan menelanmu dan membuatmu tak ada bedanya dengan cipratan ludah."
ADVERTISEMENT