Piala Dunia 2010: Iniesta dan Hukum Newton Lambungkan Spanyol

21 Mei 2018 15:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Iniesta cetak gol bersejarah di Piala Dunia 2010. (Foto: MIGUEL RIOPA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Iniesta cetak gol bersejarah di Piala Dunia 2010. (Foto: MIGUEL RIOPA / AFP)
ADVERTISEMENT
"Saya membiarkan hukum gravitasi melakukan pekerjaannya. Setelahnya, saya mencetak gol. Itu (Hukum -red) Newton!" seperti itu Andres Iniesta menjelaskan gol yang dicetaknya dalam laga final Piala Dunia 2010.
ADVERTISEMENT
Afrika Selatan menjadi karib bagi sepak bola Spanyol pada tahun 2010. Itu menjadi pertama kalinya Spanyol menjadi raja di jagat sepak bola. Berlaga melawan Belanda di pertandingan pamungkas, Spanyol mengunci kemenangan 1-0. Spanyol tak butuh banyak gol, satu-satunya gol di laga tersebut diciptakan oleh Iniesta di menit ke-116.
Gol tadi dimulai dengan umpan Fernando Torres yang sebenarnya sempat dicoba dihalau oleh Rafael van der Vaart. Sayangnya, sapuan Van der Vaart justru berakhir dengan kepindahan bola ke kaki Cesc Fabregas.
Fragmen horor terjadi di kotak penalti. Fabregas mengirim umpan terobosan kepada Iniesta yang saat itu ada di sisi luar area kiri pertahanan Belanda. Malangnya bagi sang lawan, Iniesta lolos dari jebakan offside. Sebabnya, Van der Vaart terlambat naik akibat terjatuh saat menghalau umpan Torres.
ADVERTISEMENT
Vaart bukannya tanpa tindakan. Ini laga final. Kesalahan harus dibayar lunas sesegera mungkin berapa pun harganya. Van der Vaart berusaha mengejar Iniesta dan mencoba peruntungannya dengan blockshot.
Namun, ia kalah cepat. Iniesta justru berhasil mengeksekusi peluang tersebut lewat tembakan kaki kanan. Horor mencapai puncaknya saat kiper Belanda, Maarten Stekelenburg, gagal menghalau tembakan.
Dalam prosesnya, Iniesta pada dasarnya melakukan dua sentuhan. Yang pertama, saat ia mencoba mengontrol umpan Fabregas. Ajaibnya, di sentuhan pertama ini bola sempat melambung cukup tinggi.
Bila diperhatikan, ia mencapai leher Iniesta. Alih-alih panik, Iniesta terlihat membiarkan bola memantul ke tanah lebih dulu. Saat bola kembali turun, Van der Vaart berusaha mematikan langkah Iniesta.
Proses gol Iniesta di final Piala Dunia 2010. (Foto: GABRIEL BOUYS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Proses gol Iniesta di final Piala Dunia 2010. (Foto: GABRIEL BOUYS / AFP)
ADVERTISEMENT
Momentum menjadi kunci karena ia memang tak datang dua kali. Begitu bola ada di ketinggian lutut Iniesta, ia melakukan sentuhan kedua yang bersejarah: melepaskan tembakan tepat ke arah gawang Belanda.
Kematangan perhitungan Iniesta digambarkannya dengan jelas dalam wawancara seusai pertandingan. Katanya, bola itu sempat memantul ke tanah bukan karena ia tak bisa menggapai, tapi karena ia sengaja membiarkan bola memantul dulu ke tanah.
“Sebelum menendang bola, saya menunggu agar bola turun sedikit. Jika saya tidak menunggu, saya akan gagal mencetak gol.”
Celoteh Iniesta tentang Hukum Newton bukan omong kosong. Bukan pula berkaitan dengan upayanya agar tampak brilian di mata publik. Entahlah dia memang mengerti dengan baik atau tidak menyoal Hukum Newton dalam gol tersebut. Namun, bila merenungkan kembali seperti apa Hukum Newton tersebut, ucapan yang disampaikan Iniesta tak sekadar isapan jempol.
ADVERTISEMENT
Menurut ilmu fisika, ada tiga jenis Hukum Newton: Hukum Newton I, Hukum Newton II, dan Hukum Newton III. Bila Hukum Newton I mengungkit soal kecepatan konstan, maka Hukum Newton II berkisar pada percepatan. Lantas, Hukum Newton III menjelaskan tentang hubungan antara gaya aksi dan reaksi.
Saat bola memantul ke tanah (juga berlaku pada drible dalam olahraga basket), bola akan bertumbukan dengan tanah. Saat tumbukan ini terjadi, bola memberikan gaya pada tanah. Artinya, saat bola yang dibiarkan Iniesta itu memantul tanah, di situlah bola memberikan gaya aksi kepada tanah atau permukaan lapangan.
Lewat hukumnya yang ketiga ini, Sir Isaac Newton ingin menjelaskan bahwa selalu ada interaksi gaya antara dua benda yang berbeda. Karena bola dan tanah adalah dua benda yang berbeda, maka tumbukan keduanya juga akan menghasilkan interaksi gaya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, tanah memberikan reaksi untuk melawan gaya aksi yang diberikan bola tadi. Nah, gaya reaksi inilah yang sebenarnya menyebabkan bola Iniesta memantul ke atas.
Namun, ada satu pertanyaan. Bila bola dan tanah sama-sama memberikan gaya, mengapa pantulan tadi tidak membikin bola mencapai ketinggian semula, yaitu sampai kira-kira seleher Iniesta?
Jawabannya sederhana, karena sebagian energi bola terserap oleh tanah. Di sinilah kecerdasan dan naluri Iniesta memainkan peranannya dengan piawai.
Begitu bola mencapai ketinggian puncaknya, bola akan menjadi lebih jinak. Dan saat itulah, Iniesta melepaskan tembakan yang sadar atau tidak sadar menggantikan energi yang telah terserap tadi. Iniesta disebut cerdas karena ia sadar kapan ia melepaskan tembakan, yaitu saat bola mencapai ketinggian lututnya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pemahamannya menyoal Hukum Newton tadi, Iniesta mengaku bangga. Gol semata wayangnya di laga final itu mengantarkan Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010.
Iniesta tak berlebihan. Sejak diadakan pertama kali tahun 1930, Piala Dunia tidak menjadi arena yang tepat untuk membuktikan martabat Spanyol di ranah sepak bola. Pasalnya, sebelum gelaran Piala Dunia di Afrika Selatan tersebut, pencapaian terbaik Spanyol lahir di Piala Dunia 1950.
Saat itu, Spanyol ada di tempat keempat. Dalam pertandingan perebutan tempat ketiga, mereka kalah dari Swedia dengan skor 1-3. Setelahnya, sepak-terjang La Furia Roja hanya menyoal babak perempat final dan fase grup.
Menilik rekam jejak Spanyol, tahun 2004 menjadi penanda awal dimulainya era baru. Ini menjadi kali pertama Luis Aragones menukangi tim Negeri Matador. Segala hal tentang Timnas Spanyol di bawah kepelatihan Aragones akan mengarah pada tiga hal: tiki-taka, Euro 2008, dan warisan skuat yang berujung pada gelar Piala Dunia 2010.
ADVERTISEMENT
Aragones disebut-sebut sebagai sosok yang memasyhurkan paham tiki-taka dalam sepak bola. Sebuah frasa tak masuk akal yang pada dasarnya menggambarkan kesabaran, umpan-umpan pendek, dan pemujaan pada possesion.
Yang dibawa Aragones pada Timnas Spanyol dalam misi merebut gelar juara bukan hanya tiki-taka, tapi kegigihannya untuk menyatukan tim, memberikan kepercayaan kepada pemain muda, dan menjadikan pemain minim pengalaman yakin bahwa mereka pun bagian penting dari skuat.
Spanyol adalah negeri yang direpotkan dengan permasalahan politik, konflik dengan Catalunya menjadi kesumat yang mendarah-daging. Celakanya, permasalahan ini merambat ke urusan sepak-menyepak bola.
Yang dilakukan Aragones di awal-awal kepelatihannya adalah membongkar sekat-sekat politis macam ini. Ia membuktikan bahwa penggawa Real Madrid macam Iker Casillas dan Torres juga bisa menjadi padu di atas lapangan bersama Carles Puyol dan Xavi yang jadi kebanggaan Catalunya.
ADVERTISEMENT
Keputusannya ini terbilang berani. Pasalnya, Piala Dunia 2002 juga gencar berbicara tentang perselisihan di ruang ganti yang melibatkan pemain Barcelona dan Madrid.
Bahkan, Aragones juga tak sungkan untuk memanggil pemain kulit hitam seperti Marcos Senna ke dalam timnya. Sebelum era Aragones, tak satu pemain kulit hitam pun yang masuk dalam skuat Timnas Spanyol.
Mendiang Aragones, di Euro 2008. (Foto: YURI KADOBNOV / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mendiang Aragones, di Euro 2008. (Foto: YURI KADOBNOV / AFP)
Senna juga berhasil membuktikan bahwa Aragones mengambil keputusan yang tepat. Bersama timnya, ia mampu menanggung tugas sebagai pemotong serangan lawan dan mengatur permainan timnya ketika menyerang.
Walau kegagalan di Piala Dunia 2006 membuktikan bahwa kerja dan inovasi Aragones tak langsung membuahkan hasil gemilang, setidaknya, Spanyol benar-benar berbenah.
Kegagalan Raul Gonzales dan Fernando Morientes di Piala Dunia 2006 lantas membidani kelahiran duet Torres dan David Villa di lini serang. Di gelaran ini pulalah dunia sadar bahwa Carlos Marchena layak buat masuk hitungan.
ADVERTISEMENT
Dan setelahnya, Spanyol merajai sepak bola. Pada 2008 mereka memenangi Euro, pada 2010 mereka menjuarai Piala Dunia. Dan nama Iniesta ada di dalamnya sejak 2006. Sedangkan Aragones, ia memutuskan hengkang dari jabatannya sebagai juru taktik Spanyol setelah gelaran Euro 2008 itu.
Dalam wawancaranya jauh setelah pertandingan final Piala Dunia 2010 itu, Iniesta menjelaskan bahwa ia pun berkali-kali menyaksikan tayangan ulang golnya di menit 116 itu. Bila gol Iniesta tadi menjadi gaya aksi, maka kebahagiaan rakyat Spanyol menjadi gaya reaksi yang mengikuti.
Lantas, kembali pada Hukum Newton III, gaya aksi tak muncul begitu saja tanpa tumbukan. Bila melihat perjalanan Timnas Spanyol, maka gol yang berarti sejarah itu tak akan mungkin lahir tanpa keberanian Aragones 'melesakkan' keputusan kontroversialnya pada ranah sepak bola Spanyol dengan segala kemelutnya.
ADVERTISEMENT
Karier Iniesta sebagai pesepak bola berakhir. Ia memainkan laga terakhirnya saat Barcelona melawan Real Sociedad di Camp Nou, Senin (21/5/2018) dini hari WIB.
Namun, segala cerita tentang gol yang lahir di Soccer City Stadium, Johannesburg, pada 11 Juli 2010 itu tak akan berakhir begitu saja. Gol yang berujung sejarah yang digambarkan Iniesta sebagai gabungan semua diksi positif yang ada dalam kamus. Ah, alegoris.