Piala Dunia 2018: Beiranvand, Kiper Iran yang Ditempa Kehidupan Nomad

2 Juni 2018 3:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beiranvand merayakan lolosnya Iran ke PD 2018. (Foto: ATTA KENARE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Beiranvand merayakan lolosnya Iran ke PD 2018. (Foto: ATTA KENARE / AFP)
ADVERTISEMENT
Pada mulanya adalah penolakan, lalu tepuk tangan tanda penghormatan. Di Piala 2018 nanti, Alireza Beiranvand akan berdiri di depan gawang Iran. Menepis semua sangkaan bahwa mereka bukan siapa-siapa, menghalau semua argumen yang berkeras meyakinkan bahwa mereka tak lebih dari sekadar negara yang babak-belur digempur peperangan.
ADVERTISEMENT
Nama Beiranvand belum setenar Alisson Becker ataupun David de Gea. Tidak pula seharum Gianluigi Buffon ataupun Oliver Kahn. Ia orang Iran, negara yang tak diperhitungkan dalam urusan sepak bola.
Cerita Beinranvand dimulai dari kehidupan nomad sejak kanak. Karena orang tuanya berprofesi sebagai gembala domba, Beiranvand terbiasa hidup berpindah-pindah. Dalam keluarganya, ia tercatat sebagai anak sulung. Maka, sejak kecil ia memang sudah terbiasa untuk bekerja untuk menggembalakan domba-domba yang jadi sumber keuangan keluarganya.
Serupa bocah Iran pada umumnya, waktu luangnya akan digunakan untuk bermain dal paran dan sepak bola. Dal paran merupakan permainan tradisional Iran yang membuat pesertanya harus bisa melempar batu dalam jarak jauh.
Masa depan memang tak tertebak, tapi bukan berarti ia tak memberikan petunjuk. Hari ini, Beiranvand pun tak menyangka bahwa permainan zaman kanaknya itu membantunya untuk menjalani hidup sebagai seorang penjaga gawang.
ADVERTISEMENT
Saat menginjak usia 12 tahun, Beiranvand bergabung dengan klub sepak bola anak-anak di Lorestan yang menjadi wilayah tempat tinggalnya. Ia memulai cerita sepak bolanya sebagai seorang penyerang.
Sekali waktu, ia ditunjuk begitu saja untuk menggantikan kiper timnya yang didera cedera. Beiranvand yang semula tak punya cita-cita menjadi seorang kiper, berubah pikiran: Ia harus menjadi penjaga gawang.
Bagi sebagian orang, sepak bola tak lebih dari sekadar permainan. Orang-orang ini akan menganggap siapa pun yang memutuskan untuk menggantungkan hidupnya pada sepak bola, apa pun bentuknya, sebagai orang tolol dan naif. Itu pula yang terjadi pada Beiranvand.
Ayahnya tak sepakat dengan keinginannya untuk menjalani profesi sebagai seorang pesepak bola. Yang ada di benak ayahnya saat itu, pesepak bola bukan profesi. Ia berkeras meminta Beiranvand untuk meninggalkan lapangan bola dan mulai mencari pekerjaan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancaranya bersama Behnam Jafarzadeh untuk The Guardian dalam esai 'Alireza Beiranvand: From Sleeping Rough to the World Cup with Iran', Beiranvand menjelaskan, penolakan yang diterima dari ayahnya itu benar-benar perkara serius. Ayahnya marah besar begitu tahu bahwa sang anak tetap teguh memegang keyakinannya menjadi seorang kiper.
Beiranvand di laga vs Korsel. (Foto: JUNG Yeon-Je / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Beiranvand di laga vs Korsel. (Foto: JUNG Yeon-Je / AFP)
"Ayah saya itu seperti kebanyakan ayah di Iran. Mereka tidak mengizinkan saya untuk menjadi pesepak bola. Ia meminta saya untuk bekerja (selain menjadi atlet -red). Saking marahnya, ia sampai merobek jersi dan sarung tangan kiper saya. Akibatnya, saya beberapa kali harus bertanding dengan tangan telanjang (tanpa mengenakan sarung tangan -red)."
Amukan sang ayah memang menakutkan, tapi bagi Beiranvand, tak semengerikan kegagalan mewujudkan cita-citanya sebagai penjaga gawang. Bermodalkan renjana yang berapi-api, ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan merantau ke Tehran. Bila dihitung-hitung, jarak antara Lorestan dan Tehran tidak kepalang jauh, lima jam berkendaraan darat. Namun, bagi seorang remaja, itu bukan perjalanan mudah.
ADVERTISEMENT
Karena masih remaja, penghasilan Beiranvand saat itu tidak cukup besar. Akibatnya, mau tak mau ia harus meminjam uang kepada salah satu keluarganya. Uang itu dipakainya untuk membeli tiket bis ke Tehran.
Keberuntungan datang kepada Beiranvand dalam rupanya yang paling ajaib. Di dalam bus itu, secara tidak sengaja, ia malah berjumpa dengan seorang pelatih sepak bola lokal yang bernama Hossein Feiz.
Pria ini memberikan penawaran yang menarik. Ia akan membiarkan Beiranvand untuk berlatih bersama klubnya asalkan bersedia membayar sebesar 200.000 toman (satu toman setara dengan 10 rial iran, satu rial setara dengan 0,33 rupiah -red). Namun, jangankan uang, tempat untuk tidur pun Beiranvand tak punya.
Alireza Beiranvand di laga vs Uzbekistan. (Foto: ATTA KENARE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Alireza Beiranvand di laga vs Uzbekistan. (Foto: ATTA KENARE / AFP)
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tidur di depan pintu klub. Paginya, ia menyadari bahwa ada banyak orang yang memberinya uang koin. Mereka pikir, Beiranvand seorang pengemis.
ADVERTISEMENT
"Orang-orang itu pikir saya pengemis. Tapi, tak masalah. Saya malah bersyukur. Seketika saya punya uang yang cukup untuk membeli sarapan. Saya pikir, itu menjadi sarapan ternikmat setelah sekian lama."
Feiz yang menyadari tekad Beiranvand akhirnya mengizinkannya untuk berlatih tanpa membayar sedikit pun. Feiz malah meminta kapten klubnya untuk membantu Beiranvand menyesuaikan diri. Satu persoalan beres.
Singkat cerita, ia diizinkan untuk tinggal di salah satu pabrik garmen kepunyaan orang tua temannya. Karena tak punya uang, Beiranvand juga bekerja di pabrik itu. Pabrik memberikan tempat tinggal, Beiranvand memberikan tenaga. Untuk sementara, ini menjadi kesepakatan yang adil.
Pekerjaan Beiranvand selanjutnya adalah menjadi seorang karyawan di pusat pencucian mobil. Karena tubuhnya tergolong tinggi, ia pun sering diberikan tugas untuk mencuci mobil-mobil besar. Di tempat pencucian mobil inilah plot baru kehidupan Beiranvand dimulai.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika, tempat pencucian mobil Beiranvand didatangi tamu spesial. Ia adalah Ali Daei, mantan pemain timnas Iran yang juga pernah bermain di Bayern Muenchen pada tahun 1998. Teman-temannya yang mengetahui kedatangan Daei langsung mendesak Beiranvand untuk berbicara dengan sang legenda.
Sebagian besar orang yang ada di posisi ini, pasti akan mengikuti saran itu. Namun, kiper yang satu ini berbeda. Ia menolak untuk berbicara dengan Daei. Katanya, selain malu, ia juga lebih suka untuk mewujudkan cita-citanya dengan caranya sendiri, bukan bergantung pada kesuksesan orang lain.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, Beiranvand bertemu dengan pelatih klub lokal Naft-e-Tehran dan memutuskan untuk hengkang ke klub itu. Di kota ini, ia mendapatkan pekerjaan yang baru. Ia bekerja sebagai karyawan di restoran pizza. Sebabnya, restoran itu mengizinkan tinggal di sana selepas jam kerja.
ADVERTISEMENT
Yang jadi masalah, pelatihnya tidak tahu tentang situasi ini. Tanpa disangka-sangka, sang pelatih datang dan membeli pizza di restoran itu. Beirenvand panik, ia berusaha untuk bersembunyi. Sayangnya, bos tempatnya bekerja memintanya untuk segera melayani tamu yang satu ini. Situasi jadi rumit, sampai-sampai, beberapa hari setelahnya, Beiranvand memutuskan untuk pindah dari restoran itu dan mencari pekerjaan baru.
Alireza Beiranvand di laga vs Tunisia. (Foto: SALAH HABIBI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Alireza Beiranvand di laga vs Tunisia. (Foto: SALAH HABIBI / AFP)
Pekerjaan apa pun rela diambil oleh Beiranvand, yang penting ia bisa menyambung hidup. Setelah berhenti dari restoran pizza, ia mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu jalanan. Pekerjaan ini, menurutnya, menuntut fisik yang kuat. Tak jarang, ia harus membersihkan jalan raya sendirian pada malam hari. Akibatnya, tak jarang pula ia bertanding dalam kondisi yang tak fit.
ADVERTISEMENT
Cedera pada akhirnya membuatnya terdepak dari Naft. Beiranvand belum menyerah. Ia mencoba untuk bermain di klub lokal lainnya, Homa. Namun, klub itu menolaknya. Seketika, Beiranvand merasa hidupnya hancur berantakan. Ia pikir saat itu, mimpi tinggal mimpi, ia tak akan mungkin menjadi seorang penjaga gawang profesional.
Anehnya, manajemen tim Naft U-23 menghubunginya. Mereka menegaskan, selama Beiranvand belum terikat kontrak dengan klub lain, mereka bersedia untuk menerimanya. Tanpa pikir panjang, Beiranvand menerima tawaran ini.
"Saya memang didepak di tim junior. Namun, pada akhirnya, saya bisa menjadi kiper utama di tim senior. Dan permainan dal paran yang saya mainkan sejak kecil benar-benar membantu saya."
Beiranvand lantas dikenal sebagai kiper utama tim. Ia bermain bersama Naft sejak 2010 hingga 2016. Begitu kontraknya selesai, ia memutuskan untuk hengkang ke klub papan atas Iran, Persepolis FC pada 2016.
Timnas Iran. (Foto: JOE KLAMAR / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Iran. (Foto: JOE KLAMAR / AFP)
Di bawah mistar gawang Persepolis, Beiranvand ikut mengantarkan gelar juara liga dua musim berturut-turut, pada 2016/2017 dan 2017/2018. Tak cuma juara liga, pada tahun 2017, ia ikut membantu timnya memenangi Iranian Super Cup.
ADVERTISEMENT
Pada 2015, Beiranvand menjadi penjaga gawang utama Timnas Iran dengan raihan 21 caps. Di babak kualifikasi Piala Dunia 2018, Beiranvand yang kini berusia 25 tahun berhasil membukukan 12 nirbobol dan mengantarkan Iran sebagai salah satu negara yang bakal berlaga di Rusia.
"Saya tahu, ada banyak kesulitan yang saya alami demi mewujudkan mimpi saya sebagai penjaga gawang. Namun, saya tidak akan melupakan kesulitan-kesulitan itu. Masa-masa seperti itulah yang membentuk saya. Sekarang, saya siap untuk bertanding di Piala Dunia. Pesepak bola mana pun pasti punya mimpi untuk berlaga di Piala Dunia."