Piala Dunia Wanita dan Jalan Rumit Mewujudkan Kesetaraan

11 Juni 2019 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas Inggris merayakan gol di laga melawan Timnas Skotlandia di Piala Dunia Wanita 2019. Foto: Valery HACHE / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Inggris merayakan gol di laga melawan Timnas Skotlandia di Piala Dunia Wanita 2019. Foto: Valery HACHE / AFP
ADVERTISEMENT
Billie Jean King tidak akan pernah lupa seperti apa hari-harinya ketika memboikot Asosiasi Tenis Profesional (ATP). Bersama The Original IX dan pendiri majalah World Tennis, Gladys Heldman, ia menciptakan turnamen sendiri yang bernama Virginia Slims.
ADVERTISEMENT
Legenda tenis Amerika Serikat ini tak akan mungkin melupakan segala upanya untuk merengkuh kemenangan 6-4, 6-3, 6-3 atas Booby Riggs di pertandingan berjuluk Battle of the Sexes.
Venus Williams tidak bertanding dalam generasi yang sama dengan Billie Jean. Tapi, ia tak akan mungkin melupakan esai yang ditulisnya untuk The London Times yang tayang pada 26 Juni 2006.
Esai yang berjudul ‘Wimbledon has Sent Me a Message: I’m Only a Second Class Champion' itulah yang pada akhirnya mendorong Wimbledon untuk menyamakan uang hadiah nomor wanita dengan nomor pria.
Billie Jean dan Venus barangkali dikenal sebagai dua orang paling degil yang pernah muncul di atas lapangan tenis. Namun, kedegilan itu bukan tanpa alasan. Yang mereka upayakan adalah kesetaraan pria dan wanita. Bagi para atlet profesional, kesetaraan diwujudkan dalam bentuk kesamaan uang hadiah.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh Wimbledon 1968. Billie Jean yang menutup kompetisi itu sebagai kampiun nomor tunggal putri hanya menerima uang hadiah sebesar 750 poundsterling.
Sementara, Rod Laver yang menjuarai nomor tunggal putra mengantongi uang hadiah sebesar 2.000 poundsterling. Jumlah uang hadiah untuk juara tunggal putri itu sama dengan hadiah petenis tunggal putra yang langkahnya terhenti di semifinal.
Upaya Billie Jean dan Venus tak sia-sia. Kini, keempat seri Grand Slam sudah menyamakan uang hadiah nomor putra dan putri. Wimbledon menjadi seri terakhir yang mengambil keputusan serupa, tepatnya pada 2007. Sementara, Amerika Serikat Terbuka menjadi seri terdepan yang memberlakukannya pada 1998.
Namun, bukan berarti semua lapangan olahraga sudah melakukan hal yang serupa. Sepak bola, nyatanya, belum demikian.
ADVERTISEMENT
***
Pesta di lapangan bola belum usai. Lampu-lampu di Rusia memang sudah padam, trofi sudah diangkat dan dibawa pulang ke rumah kampiun. Tapi, kini giliran Prancis yang bersorak, sibuk dalam gempita ala Piala Dunia.
Ini waktunya bagi wanita-wanita lapangan hijau menghidupkan pesta. Ini pesta buat mereka, perayaan bagi segala upaya yang mereka kerjakan di atas lapangan bola. Ini Piala Dunia Wanita.
Prancis menjadi ditunjuk sebagai tuan rumah untuk Piala Dunia Wanita edisi kedelapan ini. Turnamen ini digelar selama sebulan penuh, tepatnya sejak 7 Juni hingga 7 Juli 2019. Ke-24 negara yang bertanding terbagi dalam enam grup.
Bek Timnas Kamerun, Claudine Meffometou, di laga Kanada vs Kamerun Piala Dunia Wanita 2019. Foto: Pascal GUYOT / AFP
Per 11 Juni 2019, babak grup sudah menggelar sembilan laga. Timnas Prancis, Norwegia, Jerman, Spanyol, Italia, Brasil, Inggris, dan Kanada menutup laga perdana mereka dengan kemenangan. Sementara, laga Argentina melawan Jepang menjadi satu-satunya duel yang berakhir dengan skor imbang, tepatnya 0-0.
ADVERTISEMENT
Korea Selatan, Nigeria, China, Afrika Selatan, Australia, Jamaika, Skotlandia, dan Kamerun adalah tim yang menuntaskan laga dengan kekalahan di partai pertama.
Tapi, Piala Dunia Wanita 2019 tidak cuma berbicara tentang siapa menang atas siapa. Yang datang berbarengan dengan pesta sepak bola adalah seruan tentang kesetaraan. Persis dengan yang disuarakan The Original IX dan Venus di lapangan tenis: Kesetaraan gender.
Timnas Wanita Australia menjadi salah satu pihak yang bersuara paling lantang. Tapi, mereka tidak bersuara sendirian. Tim berjuluk The Matildas ini mengambil langkah strategis dengan melibatkan Asosiasi Sepak Bola Profesional dalam mengampanyekan apa yang mereka perjuangkan lewat Our Goal is Now. Yang mereka suarakan adalah kesetaraan uang hadiah.
FIFA sebenarnya sudah menaikkan jumlah uang hadiah Piala Dunia Wanita. Pada 2019, total hadiahnya mencapai 30 juta dolar AS. Dibandingkan dengan edisi sebelumnya pada 2015, uang hadiah mengalami peningkatan hingga 100%. Kala itu, total uang hadiah hanya 15 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Tapi, mari bandingkan dengan jumlah uang hadiah yang diterima di Piala Dunia 2018. Pesta sepak bola sejagat itu ditopang oleh uang hadiah sebesar 400 juta dolar AS. Itu berarti, jumlah uang hadiah Piala Dunia wanita tahun ini hanya 7,5% dari Piala Dunia pada 2018.
Benar bahwa FIFA juga memberikan uang persiapan dan club benefits sebesar 20 juta dolar AS untuk Piala Dunia Wanita 2019. Tapi, jumlahnya juga kalah masif dengan Piala Dunia di Rusia yang mencapai 257 juta dolar AS. Jadi, dua ajang ini dipisahkan oleh jurang selebar 607 juta dolar AS.
Bila dihitung-hitung, peningkatan uang hadiah di Piala Dunia Wanita lebih besar ketimbang Piala Dunia yang diikuti tim-tim pria. Jika peningkatan Piala Dunia mencapai 38%, peningkatan total uang hadiah di Piala Dunia Wanita bisa sampai 233%. Tapi, yang perlu diperhatikan peningkatan di sepak bola wanita dimulai dari angka basis yang jauh lebih rendah, 15 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Tak pelak peningkatan ini tak membuat The Matildas diam. Suara mereka bertambah lantang, bahkan tak ragu menyebut FIFA bertindak diskriminatif.
Hope Solo, mantan penjaga gawang Timnas Wanita Amerika Serikat yang menjuarai Piala Dunia 2015, ikut angkat bicara. Baginya, keputusan FIFA untuk memberlakukan peningkatan tapi jumlahnya tak setara itu membuktikan bahwa federasi adalah kumpulan chauvinist belaka.
“Permainan yang indah adalah dasar sepak bola karena olahraga ini ditopang oleh para talentanya dan ada banyak pendanaan yang masuk ke jagat ini. Tapi, FIFA tetap bersikap chauvinistic ketika harus menempatkan uang ke sepak bola wanita. Seharusnya semua bisa lebih baik,” jelas Solo.
Timnas AS berlatih jelang laga Piala Dunia Wanita 2019. Foto: FRANCOIS NASCIMBENI / AFP
Kesetaraan uang hadiah juga mendorong Timnas Wanita AS mengambil langkah hukum dengan menuntut federasi mereka sendiri, tepatnya pada Maret 2019. Mengutip laporan ESPN, ada 41 tuntutan yang dilayangkan skuat juara 2015 ke Pengadilan Distrik Amerika Serikat di Los Angeles.
ADVERTISEMENT
Salah satu isu yang mereka angkat adalah perbandingan uang yang diterima dalam pertandingan persahabatan. Timnas Wanita akan diganjar uang sebesar 99.000 dolar AS jika mereka menang dalam 20 laga persahabatan. Sementara, untuk ukuran yang sama, Timnas Pria akan mendapat 263.320 dolar AS.
Kalaupun Timnas Pria kalah di seluruh pertandingan tersebut, mereka akan tetap mendapat 100.000 dolar AS. Itu belum ditambah dengan uang tambahan jika Timnas Pria melakoni lebih dari 20 laga persahabatan.
Uang yang mereka dapat per pertandingan tambahan itu kisaran 5.000 hingga 17.625 dolar AS per pertandingan. Sementara, Timnas Wanita tidak mendapat uang tambahan meski mereka melakoni lebih dari 20 laga persahabatan.
Pun demikian dengan jumlah uang hadiah. Berhitung mundur hingga 2015, Tim Wanita AS menjadi juara dunia usai menundukkan Jepang 5-2. Atas keberhasilan tersebut, mereka mendapat hadiah 2 juta dolar AS. Sementara, Timnas Pria yang tergusur di babak 16 besar Piala Dunia 2014 mendapat uang hadiah sebesar 9 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Timnas Prancis berlatih jelang laga babak grup Piala Dunia Wanita 2019. Foto: VALERY HACHE / AFP
“Setiap individu di tim ini begitu bangga bisa bertanding dengan jersi Timnas AS. Kami pun benar-benar serius saat mengemban tanggung jawab tersebut. Di sisi lain kami percaya, mengupayakan kesetaraan gender adalah bagian dari tanggung jawab tersebut. Sebagai pemain, kami pantas dibayar setara dengan apa yang kami kerjakan--terlepas dari apa pun gender kami,” ujar Alex Morgan soal tuntutan Timnas Wanita.
Anggapan miring tentu menjadi salah satu respons yang lahir dari tuntutan Timnas Wanita AS. Namun, tuntutan itu bukan hal berlebihan jika kita bicara prestasi. Timnas Wanita AS jauh lebih sukses ketimbang Timnas Pria. Buktinya, Timnas Wanita AS sudah mempersembahkan tiga gelar juara Piala Dunia dan empat medali emas Olimpiade.
ADVERTISEMENT
Presiden FIFA, Gianni Infantino, mengklaim bahwa peningkatan uang hadiah ini sebagai langkah besar yang ditempuh federasi untuk mendongkrak kualitas dan nilai sepak bola wanita. Tapi, tetap saja gap-nya tak mengecil. Perbedaan uang hadiah antara Piala Dunia Pria (2014) dan Piala Dunia Wanita 2015 mencapai 343 juta dolar AS. Sementara, di edisi terbaru perbedaannya mencapai 370 dolar AS.
Oke, jumlah tim pria yang berlaga di Rusia memang lebih banyak ketimbang timnas wanita di Prancis. Ada 32 tim yang memperebutkan trofi di Rusia, sementara Piala Dunia Wanita 2019 diikuti oleh 24 tim. Jadi, jika jumlah uang hadiah untuk posisi 25 hingga 32 harus dihilangkan, sah-sah saja.
Sebagai catatan, jumlah uang hadiah untuk tim yang mengakhiri Piala Dunia 2018 di posisi 25 hingga 32 mencapai 64 juta dolar AS alias 8 juta dolar AS per tim. Meski komponen ini dihilangkan, tetap saja perbedaannya masih besar: 336 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Laga Timnas Argentina vs Timnas Jepang di Piala Dunia Wanita 2019. Foto: Lionel BONAVENTURE / AFP
Menurut Infantino, jumlah penonton di Piala Dunia Pria bisa lebih besar empat kali lipat dibandingkan dengan Piala Dunia Wanita. Kalau jumlah ini yang menjadi pertimbangan, mengapa total uang hadiah pria lebih besar 13 kali lipat dibandingkan wanita?
Toh, Sekretaris Jenderal FIFA, Fatma Samoura, sendiri yang berkata bahwa sepak bola wanita menjadi prioritas utama federasi. Kalau memang prioritas utama, mengapa mengeluarkan kebijakan yang justru membuat sepak bola wanita terlihat sebagai prioritas entah keberapa?
Pada Juli 2018, penggawa Timnas Wanita Venezuela, Deyna Castellanos, mendapat kesempatan untuk mewawancarai Infantino. Yang dibahas keduanya adalah pertumbuhan sepak bola wanita.
Dalam wawancara tersebut Infantino bicara begini: “Tahun depan di Prancis, kita akan menyaksikan Piala Dunia Wanita terhebat dan terbesar yang pernah ada. Kita akan tampil di negara yang merayakan keberadaan sepak bola wanita. Perayaan ini akan menyebar dari Prancis hingga ke seluruh dunia seperti virus.”
ADVERTISEMENT
Berkebalikan dari pernyataan itu, FIFA menjadwalkan laga final Piala Dunia 2019 di hari yang sama dengan final Copa America di Brasil dan Piala Emas di Amerika Serikat--tepatnya pada 7 Juli 2019.
***
Segala macam ketidakidealan pada akhirnya tidak menghentikan langkah wanita-wanita tadi untuk berlaga di Prancis. Suara mereka tidak akan mereda sampai kesetaraan yang diperjuangkan itu terwujud, tapi kaki mereka pun tidak akan berhenti menggiring bola sampai trofi diangkat.
Ketimpangan dan tuntutan sudah pasti melahirkan respons beragam. Tabik untuk suara yang tetap lantang adalah salah satunya. Sementara, anggapan yang meragukan bahwa wanita-wanita itu terlampau banyak berhitung saat membela negara di kompetisi seakbar Piala Dunia menjadi respons lain yang tak dapat dicegah.
ADVERTISEMENT
Respons kedua pun pernah dihadapi oleh Billie Jean dan tenisnya. Bahkan, jelang bertanding di Battle of the Sexes tadi, Billie Jean berhadapan dengan seorang wartawan yang bertanya tentang siapa yang lebih baik antara pria dan wanita.
Atas pertanyaan tersebut, Billie Jean menjawab bahwa pria memang lebih baik daripada wanita dalam sejumlah hal. Tapi sebaliknya, wanita juga lebih baik daripada pria dalam sejumlah hal.
Namun, Billie Jean menegaskan, yang terpenting bukan siapa yang lebih baik. Baginya, memperdebatkan pria lebih baik daripada wanita atau wanita lebih baik daripada pria justru memperlebar jurang pemisah tadi.
"Pesan yang saya bawa bukan siapa yang lebih baik, bukan pula tentang uang, tapi tentang kesetaraan pria dan wanita.”
ADVERTISEMENT
Pesan serupalah yang diutarakan oleh wanita-wanita yang menuntut kesetaraan di atas lapangan bola itu.