Pleidoi Hari Natal Menyoal Gennaro Gattuso

25 Desember 2017 11:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Natal. (Foto: Unsplash )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Natal. (Foto: Unsplash )
ADVERTISEMENT
Yang memuakkan dari Natal adalah analogi yang tak lengkap tentang kelahiran.
ADVERTISEMENT
Malaikat datang mengabarkan kehamilan Maria, atau Miriam, atau siapa pun ia disebut. Kehamilan yang tak masuk akal karena tanpa hubungan badan. Katanya, ini anugerah. Rahimnya dipilih untuk mempersiapkan kelahiran Juruselamat. Tapi, menghidupi anugerah tak beda-beda amat dengan perkara sinting. Ia sama dengan menyangkal diri. Dan apa yang nikmat dari menyangkal diri?
Natal memang bicara tentang kelahiran. Tapi, baik kelahiran natural atau supernatural macam cerita Natal, tak ada kelahiran yang sekejap. Tidak ada fragmen hari ini diberitakan hamil besok langsung melahirkan.
Maria tetap mengandung sembilan bulan atau sewajarnya durasi kehamilan. Ia hamil tua saat menempuh perjalanan bersama suaminya dalam rangka sensus. Di tengah jalan, janinnya meronta minta keluar. Tak ada penginapan yang menerima. Entah memang penuh atau malas berurusan dengan pasangan miskin dengan sang istri yang hendak melahirkan.
ADVERTISEMENT
Ditolak dari satu tempat ke tempat lain, yang didapat adalah kandang domba. Yesus yang sudah dinubuatkan para nabi sebagai Mesias entah berapa lama sebelumnya, lahir di palungan. Setelahnya pula, mereka bertiga —dengan si bayi, tentunya— harus melarikan diri dari raja yang mengamuk.
Penolakan, pelarian, pengungsian. Ketiganya menjadi teman kelahiran dalam kisah Natal. Jika menyoal mukjizat dan keajaiban lain yang mengikuti, mereka muncul setelah 30 tahunan kelahiran ini terjadi.
Lantas, menjadi tak masuk akal saat Gennaro Gattuso yang menjabat sebagai pelatih baru Milan dituntut untuk memberi kado Natal berupa kemenangan yang menerus. Karena Natal menyoal kelahiran, tuntutan akan momentum soal membalikkan keadaan bolak-balik dipeributkan.
Gattuso —mantan pesepak bola yang terkenal garang di lapangan bola— memang mengejutkan dunia karena ditunjuk sebagai pengganti Vincenzo Montella. Ia dipilih untuk melatih Milan.
ADVERTISEMENT
Ia kini berdiri di lapangan, bersetelan hitam-hitam menunjuk-nunjuk memberi perintah kepada anak-anaknya yang bertanding —jauh berbeda dengan pesepak bola garang yang membikin orang-orang ciut saat harus berebut bola dengannya.
Penunjukan Gattuso sebagai pelatih diambil setelah performa buruk Milan. Montella tak kunjung membawa hasil memuaskan pada masa kepelatihannya.
Di gelaran Serie A, Milan yang dilatih Gattuso menuai satu kemenangan, dua kali imbang, dan dua kekakalahan. Sementara di Piala Eropa, mereka berhasil meraih satu kemenangan melawan Hellas Verona.
Singkat kata, dengan torehan macam itu, kinerja Gattuso sebagai pelatih belum bisa dibilang baik sampai sekarang. Teranyar ini, Atalanta sukses memperpanjang luka Milan dengan menghajar mereka 2-0 di San Siro pada pekan ke-18. Hasil ini menjadi kekalahan kedua Milan secara beruntun.
ADVERTISEMENT
Sebelum dan dalam masa kepelatihannya, Gattuso hanya berbicara sekali menyoal taktik. Saat hendak melawan Hellas Verona di Serie A, ia menjelaskan di depan media bahwa ia tak menyukai formasi dengan menggunakan tiga bek. Montella mewariskan formasi 3-5-2. Menurut Gattuso, Milan harus bermain dengan empat bek. Lantas, ia mencoba menerapkan formasi 4-3-3. Namun, bukannya menuai kemenangan, Milan justru kalah telak 0-3. Ironis, karena sebelumnya, mereka berhasil mengalahkan Verona 3-0 di gelaran Piala Eropa.
Pelatih Milan, Gennaro Gattuso. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Milan, Gennaro Gattuso. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
Yang kelewat sering disuarakan Gattuso adalah kepantasan untuk bermain sebagai pesepak bola Milan. Di mata Gattuso, ada yang salah dengan mentalitas pemain-pemain Milan saat ini. Di awal penunjukannya sebagai pelatih, Gennaro mempermasalahkan kelakuan pemain yang tidak malu dengan kekalahan. Ia membandingkan dengan apa yang dialaminya sebelum pensiun.
ADVERTISEMENT
Katanya, walaupun kalah, pemain sekarang tak malu untuk berswafoto ria di ruang ganti. Sementara di zamannya dulu, pemain-pemain bakal “frustrasi” setengah mati saat menanggung kekalahan. Hasil buruk membikin mereka dirundung duka. Sederhananya, kemenangan menjadi kebutuhan yang paling utama.
Yang mengomentari mentalitas pemain Milan belakangan, bukan hanya Gattuso. Di musim kedua Massimiliano Allegri menjadi pelatih Milan, Zvonimir Boban juga pernah mengeluhkan hal yang sama. Melihat permainan Milan waktu itu, mantan pesepak bola asal Kroasia ini menilai bahwa mereka tak pantas berkostum Milan.
Baik Boban maupun Gattuso, keduanya dikenal sebagai pemain yang garang di lapangan. Mereka adalah tipe pemain yang tak akan berhenti berlari sampai peluit panjang dibunyikan. Keduanya adalah pesepak bola yang tak berhenti merebut bola sampai pertandingan berakhir.
ADVERTISEMENT
Selain Milan era Arrigo Sacchi, Milan era Carlo Ancelotti juga dinilai sebagai tahun-tahun keemasan Milan. Don Carlo pertama kali melatih Milan di musim 2001/2002. Namun di musim pertamanya, Ancelotti gagal. Ia tak bisa menyumbang scudetto untuk Milan. Meskipun gagal, Berlusconi masih memberikan kewenangan kepada Ancelotti untuk mencari formula yang paling tepat bagi skuatnya.
Berlusconi paham dengan segala konsekuensi dari ambisinya untuk meraih gelar juara Italia dan Eropa. Makanya, formula rumusan Ancelotti juga didukung oleh kesediaannya membeli pemain-pemain berkualitas. Milan tak meraih scudetto di musim 2002/2003, namun mereka berhasil menjadi juara Eropa. Old Trafford jadi saksi dimulainya Milan era Ancelotti.
Total, Milan di masa kepelatihan Ancelotti -terhitung sejak 2001 sampai 2009- meraih: satu scudetto (2003/2004), satu Copa Italia (2003), satu Super Italia (2004), dua Liga Champions (2002/2003, 2006/2007), dua Super UEFA (2003, 2007), dan satu Piala Dunia Antarklub FIFA (2007). Semuanya belum termasuk Kejuaraan Dubai dan Trofeo Berlusconi.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, mengapa disebut era Ancelotti? Secara terminologi (dari KBBI), era diartikan sebagai kurun waktu dalam sejarah atau sejumlah tahun dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa penting dalam sejarah. Bila melihat kata kurun dan sejumlah, keduanya mengacu pada hitungan waktu yang lebih dari satu tahun.
Gennaro Gattuso yang kini menukangi Milan. (Foto:  REUTERS/Antonio Bronic)
zoom-in-whitePerbesar
Gennaro Gattuso yang kini menukangi Milan. (Foto: REUTERS/Antonio Bronic)
Selain masalah kecerdasan taktikal pelatih Italia, Ancelotti yang memahami kultur Milan jadi penyebab mengapa Berlusconi mengangkatnya jadi pelatih. Di mata Berlusconi (dan manajemen), supaya bisa menciptakan Milan era baru, dibutuhkan pelatih yang paham caranya menciptakan pemain Milan.
Belakangan terdengar kabar bila Gattuso menginisiasi pemain dan manajemen untuk melakukan retret menyoal penampilan buruk mereka. Detailnya, entah apa yang mereka lakukan di sana. Tapi, kemungkinan besar retret, waktu khusus untuk menyepi ini, juga dilakukan perkara mencari apa yang menjadi akar masalah. Kalau itu memang dilakukan dengan benar.
ADVERTISEMENT
Gattuso adalah bagian dari era Ancelotti. Ia adalah bagian pemain yang dibentuk oleh seorang pelatih yang paham seperti apa kultur Milan. Barangkali, ini jadi salah satu alasan mengapa ia ditunjuk sebagai suksesor. Kalau ditanya mengapa Inzaghi dan Seedorf juga gagal, salah duanya barangkali karena tak diberi keleluasaan dan singkatnya periode kepercayaan. Sementara menyoal pengalaman dan kemampuan taktikal, itu perkara lain -walau bukan berarti tak jadi penyebab.
Pasca-kekalahan Milan, seruan mundur dari para suporter menjadi hal yang wajar dan janggal sekaligus. Wajar karena dalam rentang waktu yang lama, Milan jadi tim yang pesakitan. Janggal karena menuntut perubahan masif dan signifikan dalam waktu sebulan.
Melatih klub sepak bola, apalagi yang dihantui sejarah keemasan macam Milan memang bukan perkara mudah. Ia tak semudah mencomot seorang pelatih yang pernah jadi bagian dari era kejayaannya. Logikanya, belum tentu ia ambil bagian menyoal pemikiran taktikal. Tapi, menuntut seorang pelatih memberikan klub hadiah Natal (dan Tahun Baru) berupa perubahan signifikan dalam hitungan singkat, itu sama dengan menyuruh pelatih menjadi Santa Claus.
ADVERTISEMENT
Dan Santa Claus, ia tidak pernah ada dalam kehidupan nyata.