PSSI Sebut Keamanan di Liga 1 Seharusnya Dibuat Minimal Tiga Lapis

19 Mei 2019 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kericuhan suporter di laga PSS Sleman vs Arema. Foto: Andreas Fitri Atmoko/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Kericuhan suporter di laga PSS Sleman vs Arema. Foto: Andreas Fitri Atmoko/Antara
ADVERTISEMENT
Kericuhan pecah pada partai pembuka Liga 1 musim 2019 antara PSS Sleman vs Arema FC di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Rabu (15/5/2019) lalu. Kedua kelompok suporter terlibat saling lempar botol, pecahan beling, atau pecahan keramik.
ADVERTISEMENT
Laga pun sempat dihentikan wasit Yudi Nurcahya selama 55 menit. Padahal, pertandingan baru berjalan 32 menit. Partai tersebut memang bisa diselesaikan dengan kemenangan tuan rumah 3-1 atas 'Singo Edan'. Hanya saja, kerusuhan itu tetap menjadi sorotan.
Pihak PSSI yang diwakili Sekretaris Jenderal Ratu Tisha Destria menyebut ada provokator yang menjadi biang keladi insiden itu. Hal itu setali tiga uang dengan pernyataan Manajer Kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB), Asep Saputra.
Pernyataan keduanya didukung fakta bahwa kedua kelompok suporter tidak punya sejarah rivalitas. Bahkan, sebelum pertandingan pendukung PSS sempat menyambut kedatangan suporter Arema dan dilanjutkan dengan buka puasa bersama.
Kepala Departemen Infrastruktur, Keselamatan, dan Keamanan PSSI, Nugroho Setiawan, mengatakan banyak faktor yang membuat kerusuhan tersebut terjadi. Ia pun enggan membenarkan jika insiden itu murni karena adanya provokator.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, selama ini kesadaran akan keamanan sepak bola di Indonesia masih terlalu rendah. Tak heran jika keamanan diserahkan sepenuhnya kepada aparat kepolisian dan TNI. Alhasil, penanganannya pun berbeda.
“Saya melihat belum ada perubahan dari sikap manajemen, seperti operator dan klub. Keamanan sepak bola dari dulu dianggap barang baru. Persepsinya, keamanan sepak bola ini ialah cost center. Namun, ini masih prasangka saja, bukan kesimpulan umum. Yang jelas, apresiasi terhadap keamanan ini sangat rendah,” ujar Nugroho Setiawan kepada kumparanBOLA, Minggu (19/5/2019).
“Kita harus sadar, ada perbedaan persepsi antara keamanan sepak bola dan otoritas keamanan publik. Kalau keamanan sepak bola diserahkan ke aparat, mereka akan menggunakan prosedur operasi standarnya. Makanya, muncul polisi lengkap dengan tameng dan pentungan. Ada juga gas air mata. Padahal, senjata dan pakaian semacam itu tidak boleh berada di area field of play (FoP) sesuai FIFA Stadium Safety and Security Regulations,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Nugroho menjelaskan sepatutnya manajemen keamanan pertandingan sepak bola itu dibentuk minimal tiga perimeter. Perimeter terluar ialah wilayah hukum negara atau otoritas keamanan publik yang boleh berseragam dan bersenjata lengkap, bahkan bergerak sesuai prosedur operasi standar milik mereka.
Namun, jika sudah masuk kepada perimeter kedua dan pertama, lanjut Nugroho, tentu pendekatannya berbeda. Perimeter pertama khusus untuk orang yang sudah terakreditasi, misalnya jurnalis, broadcaster, panitia pelaksana, tenaga medis, steward, penonton dengan tiket, dan lain-lain.
“Jadi, yang masuk ke stadion sudah tersaring tiga lapis. Yang tidak punya tiket pasti tidak tembus di ring ketiga. Perimeter kedua itu area parkir di mana orang yang masuk sudah terakreditasi dan menuju tempatnya masing-masing di ring satu. Nah, ring satu ini distribusi masa sesuai akreditasinya. Penonton tempatnya di tribune, media di tribune khusus wartawan, panitia, dan sebagainya,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Aremania. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Nugroho menilai insiden di Sleman lahir berkat andil Security Officer (SO) klub yang tak mampu merancang keamanan. Jangankan merancang perimeter, Nugroho pun meragukan bila SO lokal mampu menentukan variabel pengamanan.
“Barangkali ada faktor politis. Ini bukan tuduhan. Namun, kemungkinan itu ada. PSSI tengah mengalami turbulensi atau disabilitas. Provokasi yang dimaksud tadi mungkin berkaitan dengan situasi politik itu. Bisa siapa saja yang melakukan. Arahnya bukan menuduh ke situ, tapi alangkah baiknya kemungkinan itu dimasukkan menjadi variabel dalam rencana pengamanan,” kata Nugroho.
Ada atau tidaknya provokator bersifat politis, menurut Nugroho, sebaiknya tetap dimasukkan sebagai faktor dalam penilaian risiko. Tak cuma itu, ia juga memasukkan fakta bahwa PSS Sleman baru pertama berlaga di Liga 1.
ADVERTISEMENT
“Belum ada bukti soal provokator. Intinya, PT LIB atau panitia pelaksana lokal harus membuat penilaian risiko. Itu laga perdana, situasi politik di PSSI seperti ini, lalu tuan rumah juga baru pertama main di Liga 1. Klub yang baru promosi standar pengamanan di kompetisi mungkin lebih rendah. Poin-poin itu ‘kan masuk dalam indikasi. Sesudah itu, variabelnya bisa dihitung dan deteksi. Indikasi saja sudah cukup untuk membuat mitigasi,” tutur Nugroho.
Ya, lagi-lagi ketidakmampuan dalam penilaian risiko serta manajemen keamanan menjadi masalah klasik di klub Tanah Air. Jabatan SO atau panpel sejatinya memiliki tugas berat, tetapi malah kerap dipandang sebelah mata.
Nugroho pun tak menampik bila sumber daya manusia di dua sektor itu masih kurang. Ia menilai bila mereka diberikan ujian sertifikasi, bahkan bisa saja tidak ada yang lulus.
ADVERTISEMENT
“Kalau lokakarya dilakukan dengan benar, misalnya saja ada ujiannya atau sertifikasi, tidak ada yang lulus semua. Memang, ini bukan cuma soal panpel atau SO saja. Kesadaran juga harus dibangun oleh manajemen klub dan operator. Low security awareness (kesadaran akan keamanan yang rendah) dan tidak ada penilaian risiko menjadi dua faktor yang dari dulu masih bermasalah. Pemangku kepentingan yang disebut tadi harus bertanggung jawab dalam keamanan, bukan salah satu saja,” kata Nugroho.
Terkait dengan kericuhan pada laga PSS Sleman vs Arema FC, PT LIB telah menemui Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) pada Jumat (17/5) lalu. Usai pertemuan, PT LIB menyatakan pihaknya meminta maaf atas kejadian tersebut serta menjamin kejadian serupa tak akan terulang.
ADVERTISEMENT