Raphael Varane dan Biduan di Lini Belakang

25 Juli 2018 19:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raphael Varane saat berkostum Timnas Prancis. (Foto: Grigory Drukor/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Raphael Varane saat berkostum Timnas Prancis. (Foto: Grigory Drukor/Reuters)
ADVERTISEMENT
Paolo Maldini melebarkan senyumnya menerima gelar pesepak bola terbaik dunia 1994 versi World Soccer. Selang tiga detik kemudian, ia mengucapkan satu kalimat yang masih bisa diingat dengan cukup jelas oleh banyak orang, bahkan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
“Rata-rata, pemain belakang menerima lebih sedikit perhatian dari penonton dan media daripada pemain yang biasa mencetak gol. (Bagi banyak orang, red) pemain belakang lebih banyak diasosiasikan dengan mesin ketimbang sosok membantu meraih gelar.”
Orang-orang yang duduk di bangku penonton secara bersamaan memberikan aplaus atas pidato yang dikisahkan oleh Maldini. Entah apa yang ada di benak mereka, merasa tersindir atau membenarkan ucapan bek AC Milan tersebut.
Pernyataan Maldini memang benar adanya. Melihat penghargaan untuk pemain terbaik dunia, cukup jarang ada pemain belakang yang masuk di dalamnya. Melihat gala bikinan World Soccer, hanya Fabio Cannavaro, yang bisa mendobrak dominasi.
Pun dengan penghargaan ‘Pemain Pria Terbaik Dunia 2018’ versi FIFA. Dalam penghargaan tersebut, selain Cannavaro dan Maldini, hanya ada nama bek asal Brasil, Roberto Carlos, dalam daftar tiga besar.
ADVERTISEMENT
Hampir 12 tahun absen, pemain belakang kini kembali masuk ke daftar Pemain Pria Terbaik Dunia 2018’ versi FIFA. Namanya Raphael Varane, masih berusia 25 tahun, dan punya peluang yang tak kecil untuk memenangi trofi tersebut.
Raphael Varane dengan trofi Piala Dunia. (Foto: REUTERS/Michael Dalder)
zoom-in-whitePerbesar
Raphael Varane dengan trofi Piala Dunia. (Foto: REUTERS/Michael Dalder)
***
“Ia bak mutiara. Ia adalah satu pemain belakang yang pintar dan rajin mendengarkan masukan. Ia tampak seperti Cristiano Ronaldo, tapi dalam versi pemain belakang,” begitulah ucapan eks pelatih RC Lens, Laszlo Boloni, terhadap anak asuhnya, Raphael Varane.
Varane lahir dan besar di pinggiran Lille, Prancis. Ia mengenal sepak bola sejak kanak-kanak. Bakat sepak bola Varane dikembangkan oleh klub lokal bernama AS Hellemmes. Dua tahun di sana, ia hengkang ke Lens.
Kepandaian Varane tak datang dengan sendirinya. Kepandaian tersebut lahir dari turunan genetik seorang pria bernama Gaston yang bekerja sebagai perawat dan wanita bernama Annie yang sehari-harinya mengajar bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Hidup di kalangan menengah ke atas membuat Varane harus mencuri-curi waktu bermain sepak bola. Bahkan, di masa lalu, ayah dan ibunya melarangnya untuk menjalani karier sebagai pesepak bola.
“Kakak laki-lakiku sedang menjalani pendidikan di sekolah hukum. Sementara itu, satu dari saudara perempuanku sudah bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Alasan tersebut membuat kedua orang tuaku menginginkanku memiliki hidup selurus mereka,” terang Varane.
Semua berubah saat Lens menawarani Varane beasiswa. Dalam seminggu, Varane tidak hanya menjalani pendidikan formal, tapi juga melakoni beberapa jam di hari normal dengan berlatih dan menghabiskan akhir pekan dengan bertanding di kelompok umur.
Bersama rekan seangkatannya, seperti Gael Kakuta dan Timothee Kolodziejczak, Varane membawa Lens menjuarai beberapa kompetisi usia remaja di Prancis. Hingga suatu saat, datang sebuah panggilan dari direktur olahraga Real Madrid, Zinedine Zidane.
ADVERTISEMENT
“Saat itu, aku sedang di rumah,” kata Varane. “Saat itu, sekitar jam 18.30 malam, telepon genggamku bergetar. Awalnya, aku tak berniat untuk mengangkat telepon tersebut. Hingga akhirnya aku memilih untuk menjawabnya.”
Zinedine Zidane berbincang dengan Raphael Varane. (Foto: Javier Soriano/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Zinedine Zidane berbincang dengan Raphael Varane. (Foto: Javier Soriano/AFP)
“Orang di ujung telepon adalah Zidane. Aku berkata kepadanya bahwa tak akan jawaban hingga beberapa hari karena aku sedang menjalani ujian. Namun, pikiranku berubah saat saudaraku bahwa aku gila dan harus segera meneleponnya kembali,” terang Varane.
“Aku menerima tawaran Real Madrid satu hari sebelum aku menjalani ujian filosofi. Sesudah itu, orang-orang memanggilku ‘Si Intelektual’ dan muncul guyonan di Madrid yang menyebutkan bahwa ujian level A lebih penting ketimbang tandang tangan kontrak,” pungkasnya.
Pada 27 Juni 2011, Varane menandatangani kontrak profesional bersama Madrid. Pilihan tersebut tak salah. Di Madrid, bakat Varane makin terasah. Keberadaan Zidane membuatnya langsung masuk ke tim utama, di usia yang bahkan belum mencapai 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Debut Varane ditandai dengan penampilan saat melawan Racing Santander, 21 September 2011. Meski gagal membawa Madrid menang, pujian banyak datang atas penampilannya penuh ketenangan.
Debut di usia muda ternyata tidak membuat Varane mendapatkan status pemain inti dengan mudah. Setelah memenangi persaingan dengan Ricardo Carvalho, ia diharuskan untuk melakoni kompetisi dengan Pepe.
Varane baru mendapatkan tempat di tim utama Madrid pada musim 2014/15. Dimainkan bersama Sergio Ramos, mereka menunjukkan penampilan yang begitu solid dan kokoh untuk ditaklukkan.
Gaya bermain menjadi alasan mengapa Varane diberi kesempatan bermain secara reguler. Apabila Ramos dikenal karena begitu agresif, Varane termasuk ke dalam bek tengah yang gayanya begitu elegan.
Postur tinggi besar membuat Varane tangguh untuk memotong bola. Per musim lalu, ia memenangi 2,3 dari 3,4 duel udara per pertandingan yang dilakoni. Ia juga memiliki rata-rata 1,2 intersep dan satu tekel per pertandingan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Varane juga dikenal pandai melakukan distribusi bola. Pada musim lalu, ia membukukan rata-rata 48,9 umpan dengan tingkat kesuksesan yang mencapai 90,8% per pertandingan.
***
Keberadaan Raphael Varane di daftar Pemain Pria Terbaik Dunia 2018’ versi FIFA membuktikan bahwa pemain belakang juga punya peran penting untuk sebuah tim. Tanpa adanya pemain belakang yang mumpuni, mustahil sebuah tim bisa memenangi pertandingan.
Sukses Varane saat ini mengingatkannya pada Fabio Cannavaro, orang terakhir yang memenangi gelar Pemain Pria Terbaik Dunia. Keduanya bahkan memiliki tipikal yang amat mirip, baik secara gaya bermain maupun kemampuan teknis.
Varane jauh lebih baik ketimbang Cannavaro jika menjadikan gelar sebagai patokan. Di usia yang baru menginjak 25 tahun, ia telah mendapatkan 16 gelar, sementara Cannavaro baru mendapatkan dua gelar, yang mana bahkan hanya menjadi juara Piala Eropa U-21.
ADVERTISEMENT
Cannavaro memenangi gelar Pemain Pria Terbaik Dunia 2006 usai membawa Italia menjuarai Piala Dunia 2006. Dengan pencapaian serupa, apakah tahun ini gelar Pemain Pria Terbaik Dunia 2006 jatuh ke tangan Varane?