Red Bull Salzburg dan Piala Sucinya

2 Oktober 2019 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
RB Salzburg saat menang atas Genk di Liga Champions. Foto: AFP/Joe Klamar
zoom-in-whitePerbesar
RB Salzburg saat menang atas Genk di Liga Champions. Foto: AFP/Joe Klamar
ADVERTISEMENT
Spanduk raksasa itu dipajang persis di dekat gawang dan semua orang bisa dengan jelas melihat kata-kata yang tertulis di sana. Dengan cat semprot hitam, kata-kata 'Nein zu Marsch' tertulis di spanduk berwarna putih itu. 'Tolak Marsch', begitu artinya dalam bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemandangan itu terlihat pada awal Maret lalu di Stadion Wals-Siezenheim—yang karena alasan sponsor disebut Red Bull Arena. Ketika itu musim 2018/19 belum kelar dan Red Bull Salzburg masih dikendalikan oleh Marco Rose.
Akan tetapi, semua orang sudah tahu bahwa Rose tidak akan lama lagi berada di sana. Panggilan dari Jerman sudah datang. Raksasa yang tertidur, Borussia Moenchengladbach, membutuhkan jasanya dan Rose pun sudah menyanggupi tantangan tersebut.
Hari itu, 10 Maret 2019, RB Salzburg menjamu jagoan lawas Austria, Sturm Graz, di markasnya. Laga itu sesungguhnya sudah tak menentukan lagi karena gelar juara sudah dipastikan sebelumnya. Namun, di situlah masa depan klub dituliskan.
Manajemen RB Salzburg sebenarnya belum menentukan siapa yang akan menjadi suksesor Rose. Akan tetapi, satu nama sudah mencuat: Jesse Marsch dari Amerika Serikat. Marsch saat itu menjabat sebagai asisten pelatih Ralf Rangnick di RasenBallsport Leipzig.
ADVERTISEMENT
Jesse Marsch, pelatih Red Bull Salzburg. Foto: AFP/Lindsay Parnaby
Rangnick adalah peletak dasar filosofi sepak bola di RB Salzburg dan RB Leipzig. Semua yang terlihat di Salzburg dan Leipzig, bagaimana mereka memilih pemain dan pelatih, ditentukan oleh Rangnick pada 2012. Saat itu dia menjabat sebagai direktur teknik kedua klub tersebut.
Rangnick akhirnya memang tak bertahan lama di Salzburg karena ingin berkonsentrasi ke Leipzig. Posisinya kemudian digantikan Christoph Freund. Menurut Freund dalam penuturannya kepada New York Times, Rangnick menginginkan sepak bola yang 'agresif, cepat, vertikal, bukan tiki-taka'.
Sampai sekarang, itulah yang terlihat dalam permainan RB Salzburg dan RB Leipzig. Ini bisa terjadi karena mereka benar-benar mengupayakannya. Kedua klub itu sama-sama mencari dan membentuk pemain dengan kriteria demikian. Dalam mencari pelatih pun, filosofi tersebut benar-benar dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
Atas alasan itulah Marsch terpilih. Sebagai asisten, dia tahu persis seperti apa sepak bola ala Rangnick semestinya dimainkan. Sebelum itu, pelatih-pelatih macam Roger Schmidt, Adolf Huetter, sampai Rose pun punya kaitan erat dengan sang guru.
Schmidt, Huetter, dan Rose semuanya ditemukan oleh Rangnick. Schmidt ditemukan di Paderborn. Huetter didapat dari SV Groedig, dan Rose ditemukan di Lokomotiv Leipzig. Mereka akhirnya ditunjuk karena memiliki kesamaan visi dengan Rangnick. Semuanya pun mengecap kesukesan di Salzburg.
Namun, begitu nama Marsch disebut sebagai calon suksesor Rose, penolakan tadi muncul. Kecemburuan adalah sumbernya. Para suporter RB Salzburg menilai kepergian Rangnick adalah bukti bahwa proyek Red Bull di Leipzig lebih diistimewakan, meski Rangnick sejatinya masih memantau Salzburg dan proyek-proyek di negara lain.
ADVERTISEMENT
Ralf Rangnick saat melatih RB Leipzig. Foto: AFP/Odd Andersen
Para suporter sadar bahwa filosofi Rangnick adalah sumber kesuksesan mereka. Di saat yang bersamaan, mereka tidak mau ada unsur-unsur Rangnick lagi yang masuk. Marsch, sebagai asisten, adalah perwujudan keberadaan Rangnick di Salzburg.
Marsch lebih dari sekadar tangan kanan Rangnick. Pria 45 tahun itu punya kisah hidup yang jauh lebih berwarna daripada itu. Dia pernah menjadi asisten pelatih Timnas Putra Amerika Serikat dan tim Universitas Princeton sebelum bersentuhan dengan proyek Red Bull.
Pada 2015 Marsch dipercaya untuk melatih New York Red Bull. Tiga tahun berada di sana, dia sukses mempersembahkan satu gelar MLS Supporters' Shield pada 2015. Setelah pergi dari New York Red Bull, dia bergabung bersama Rangnick di RB Leipzig sebagai asisten.
ADVERTISEMENT
Marsch tahu betapa berat bebannya di RB Salzburg. Dia juga tak tutup mata terhadap protes suporter. Akan tetapi, pelatih kelahiran negara bagian Wisconsin itu tetap tenang. Sejak awal ia menunjukkan kepeduliannya.
Kepedulian itu dia tunjukkan di konferensi pers pertama sebagai pelatih. Di situ dia bicara dengan bahasa Jerman. Ia juga ingin mengatakan kepada khalayak bahwa dia bukan manusia sempurna, tetapi tak mau berhenti berkembang.
Singkat cerita, Marsch sejauh ini berhasil membungkam semua kritik yang pernah dialamatkan kepadanya. Selepas pertandingan Liga Champions menghadapi Genk, saat RB Salzburg menang 6-2, para suporter memberi selamat kepada Marsch saat mobilnya berhenti di lampu merah.
Bagi para suporter dan semua orang yang terlibat di RB Salzburg, Liga Champions bagaikan holy grail (harta karun berupa piala suci yang digunakan Yesus untuk minum, red). Turnamen itu adalah alasan utama di balik akuisisi Red Bull terhadap Austria Salzburg pada 2005 silam. Akan tetapi, sebelum musim 2019/20 ini mereka selalu gagal menjejak babak utama.
ADVERTISEMENT
RB Salzburg selalu terhenti di babak kualifikasi dalam 10 tahun terakhir. Dudelange, Hapoel Tel Aviv, Maccabi Haifa, Fenerbahce, Malmoe, Dinamo Zagreb, Rijeka, dan Crvena Zvezda adalah deretan klub yang pernah mengubur mimpi RB Salzburg.
Musim ini, mereka akhirnya berhasil menjejak fase grup untuk kali pertama sejak bermain dengan nama RB Salzburg. Namun, keberhasilan ini pun sedikit diwarnai keberuntungan. Dua finalis musim lalu, Liverpool dan Tottenham Hotspur, lolos lewat jalur liga. Akibatnya, satu spot di babak utama terbuka bagi wakil dari Bundesliga Austria.
Yang menarik, jatuhnya spot kepada Bundesliga Austria itu sendiri sama sekali bukan buah keberuntungan. Hal itu bisa didapat karena RB Salzburg tampil cemerlang di Liga Europa dalam dua musim terakhir. Saat dilatih Rose pada 2017/18 mereka sukses menembus babak semifinal.
ADVERTISEMENT
Prestasi RB Salzburg membuat koefisien Bundesliga Austria di rangking UEFA melonjak. Jika dinilai berdasarkan pencapaian klub di kompetisi Eropa, Bundesliga Austria saat ini ada di urutan 11. Sebagai gambaran, Eredivisie Belanda ada di urutan ke-14 koefisien UEFA.
Idealnya, Rose-lah yang berhak untuk menakhodai RB Salzburg di Liga Champions musim ini. Namun, tawaran dari Jerman memang lebih menggiurkan. Di situlah kemudian Marsch ketiban pulung. Kesempatan itu pun tidak dia sia-siakan sama sekali.
Marco Rose saat diresmikan sebagai pelatih Borussia Moenchengladbach. Foto: AFP/Ina Fassbender
Apa yang diraih RB Salzburg di pertandingan debut Liga Champions melawan Genk itu adalah bukti sejauh apa mereka berkembang. Hingga kini mereka bahkan nyaris tidak terhentikan di kompetisi liga. Mereka menang delapan kali dan dipaksa bermain imbang satu kali dalam sembilan laga.
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu tersebut RB Salzburg berhasil mencetak 40 gol dan hanya kemasukan 9 kali. Memang benar bahwa mereka hanya bermain di Bundesliga Austria, tetapi catatan tadi tidak bisa dinafikan begitu saja. Toh, nyatanya, penampilan itu bisa direplikasi di Liga Champions.
Keberhasilan Marsch itu bisa dibilang mengejutkan karena dia membuat perubahan dalam formasi tim. Jika Rose sebelumnya doyan menggunakan pakem 4-3-1-2, Marsch lebih fleksibel.
Formasi kesukaan Marsch sebenarnya sama persis dengan milik Rangnick, yaitu 4-2-2-2. Namun, ada kalanya dia mengubah formasi tim menjadi 3-1-4-2 seperti ketika menghadapi Austria Wien akhir pekan lalu. Terlepas dari apa formasinya, gaya bermain ala Rangnick yang agresif, cepat, dan vertikal itu tidak hilang.
Di depan, duet Hwang Hee-chan dan Erling Braut Haaland menjadi ujung tombak. Mereka disokong gelandang berbakat Hongaria, Dominik Szoboszlai, dari lini kedua. Di pusat permainan, RB Salzburg punya Zlatko Junuzovic dan di sentra pertahanan ada sosok Andre Ramalho serta Maximilian Woeber.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain itu sebagian besar masih muda. Haaland dan Szobszlai bahkan masih berusia remaja. Namun, mereka juga mendapat bimbingan dari para senior, seperti Junuzovic yang sempat lama berkiprah di Bundesliga Jerman.
Gelandang berbakat Hongaria, Dominik Szoboszlai. Foto: AFP/Joe Klamar
Pada Kamis (2/10/2019) dini hari WIB, RB Salzburg akan bertanding menghadapi Liverpool di Anfield. Tentu saja, pada laga itu Liverpool bakal diunggulkan. Mereka adalah juara bertahan dan bakal bermain di kandang sendiri pula. Akan tetapi, RB Salzburg bukannya tidak punya asa.
Meski akhirnya tersingkir, RB Salzburg sempat merepotkan Napoli di fase gugur Liga Europa musim lalu. Kondisi itu cukup ironis bagi Napoli karena mereka berhasil mengalahkan Liverpool di Liga Champions.
Dengan gaya bermain yang mereka miliki saat ini, rasanya RB Salzburg punya kans merepotkan siapa pun. Hanya, untuk memetik kemenangan, RB Salzburg memang bakal kesulitan. Bukan apa-apa, Liverpool saat ini sudah lebih tahu caranya menang bahkan ketika mereka main jelek sekalipun. Laga termutakhir melawan Sheffield United bisa jadi contoh konkret.
ADVERTISEMENT
Liverpool kewalahan menahan tekanan anak-anak asuh Chris Wilder. Sheffield United bahkan berhasil mencatatkan 12 tembakan walaupun hanya menguasai bola 29%. Artinya, performa Liverpool jauh dari maksimal ketika itu. Namun, ya, itu tadi. Mereka tetap bisa menang.
Pengalaman jelas akan menjadi keunggulan utama Liverpool. Namun, bukan RB Salzburg namanya kalau menyerah begitu saja. Mereka akrab sekali dengan kegagalan tetapi selalu berhasil bangkit. Mentalitas inilah yang akan jadi senjata pasukan Marsch di Merseyside nanti.
=====
Liverpool akan menjamu Red Bull Salzburg dalam pertandingan kedua Grup E Liga Champions 2019/20 pada Kamis (3/10/2019) di Anfield Stadium. Sepak mula berlangsung pada 02.00 WIB.