Rival Utama Liverpool di Era Digital: Bukan United, Tetapi Fortnite

18 Maret 2019 8:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fortnite, gim 'Battle Royale' yang fenomenal itu. Foto: BARTOSZ SIEDLIK / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Fortnite, gim 'Battle Royale' yang fenomenal itu. Foto: BARTOSZ SIEDLIK / AFP
ADVERTISEMENT
Manchester United memang masih rival terhebat Liverpool di atas lapangan. Mengingat baik United dan Liverpool sejauh ini masih menjadi dua tim dengan perolehan trofi terbanyak di Inggris. Namun, ketika konteksnya di ranah digital, CEO Liverpol, Peter Moore, tak memandang United sebagai ancaman utama.
ADVERTISEMENT
Ketika menjadi pembicara di SXSW – festival tahunan yang membahas film, media, dan musik di Texas, Amerika Serikat, pada Jumat (15/3/2019) silam, Moore malah menyebut gim battle royale populer seperti Fortnite dan Apex Legends sebagai rival terkuat ‘Si Merah’ di internet. Utamanya dalam urusan menjaring fan baru.
Tentu saja sosok berusia 59 tahun ini tak asal bunyi ketika bertutur demikian. Di acara tersebut, Moore secara fasih menjabarkan hasil analisisnya mengenai perbedaan fenomena fan dulu dan sekarang sebagai dasar pandangannya.
Dahulu di berbagai negara termasuk Inggris, mendukung suatu tim sepak bola menjadi suatu tradisi. Sang ayah meneruskan kecintaannya terhadap suatu klub kepada anaknya, dan anaknya akan meneruskannya ke generasi selanjutnya. Adapun, keluarga Moore sempat merasakan tradisi seperti itu.
ADVERTISEMENT
Moore masih berusia empat tahun di tahun 1959, dan sang ayah membawanya menyaksikan Liverpool langsung di Anfield untuk pertama kalinya. Moore menjadi fan Liverpool dan meneruskan kecintaannya ini terhadap anaknya. Namun, perkembangan teknologi membuat Moore meyakini anaknya merupakan generasi terakhir dari tradisi penggemar seperti itu.
CEO Liverpool, Peter Moore, ketika menuturkan gagasan briliannya. Foto: REUTERS/Satish Kumar
Semua gara-gara melejitnya pasar eSports dalam beberapa tahun terakhir. Melalui platform berbasis video seperti Twitch dan YouTube, gamer profesional bisa mempertontonkan kepiawaiannya memencet tuts dan tetikus dalam gim first person shooter kepada calon penggemar tanpa harus keluar kamar.
Selain itu, kelihaian dalam menggunakan Twitter dan Reddit sebagai medium komunikasi dua arah juga membantu membangun kedekatan dengan audiensnya. Dalam prosesnya, pesona gamer juga membantu gim itu sendiri supaya bisa menjangkau calon fan yang lebih luas lagi.
ADVERTISEMENT
Fortnite, misalnya, sempat menjadi sensasi seluruh dunia seiring dengan melejitnya popularitas Richard Blevins, yang dikenal dengan nickname Ninja. Kasus yang sama juga berlaku dengan Michael Grzesiek alias Shroud, yang membantu pemasaran Apex Legends melalui aksinya di dunia maya.
Persamaan Ninja dan Shroud, keduanya dilansir MediaKIX sebagai dua gamer dengan penghasilan dan jumlah pengikut di sosial media secara organik terbesar pada 2018 silam.
Moore menyadari ada potensi pasar eSports kian membesar di masa mendatang, dan hal ini bisa menjadi ancaman bagi klub global seperti Liverpool. Dari situ, dia pun sadar Liverpool perlu mengubah pendekatannya.
“Generasi selanjutnya dari fenomena fan adalah mereka yang menggandrungi Fortnite atau Apex Legends. Kadang saya bertanya-tanya, apakah mereka bahkan pernah keluar kamar? Karena itulah tantangan yang harus kami hadapi,” kata Moore kepada Reuters.
ADVERTISEMENT
“Mendekati mereka (calon fan) adalah cara kami untuk bersaing. Saya merasa kami harus ke kamar mereka dan menemukan mereka. Kami harus bicara dengan mereka dengan cara yang paling nyaman untuk mereka,” lanjutnya.
Para pemain Liverpool rayakan kemenangan dengan fans. Foto: REUTERS/Phil Noble
Menarik, dan juga bukan tanpa sebab Moore bisa berpikir sejauh ini. Dalam curriculum vitae-nya, tertulis bahwa Moore pernah menghabiskan satu dekade sejak 2007 sebagai kepala di EA Sports – yang merupakan anak perusahaan dari raksasa gim asal Amerika Serikat, Electronic Arts.
Sebelumnya, Moore juga pernah bekerja untuk Microsoft dan SEGA. Pengalaman nan kaya, plus faktor orang asli Liverpool, membuat Fenway Sports Group -- pemilik saham mayoritas Liverpool -- pada akhirnya tak ragu menunjuk Moore sebagai CEO pada Februari 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Untuk memikat calon fan di berbagai belahan dunia, Moore menerapkan sejumlah langkah konkret dengan berbagai jenama (brand) teknologi kelas dunia. Liverpool berkolaborasi dengan Intel untuk pemasangan kamera 360 derajat di Anfield. Juga membangun hubungan bilateral dengan IBM untuk pengembangan teknologi.
Selain itu, Moore juga mencoba menerapkan pola komunikasi santai antara Liverpool sebagai sebuah jenama dengan fans melalui sosial media. Selayaknya yang dilakukan pengembang gim melalui gamer untuk menyapa audiensnya. Semua demi mendukung visi Moore agar Liverpool lebih terasa 'video gim' sebagai sebuah jenama.
“Semua tergantung saya, CEO dari klub dengan skala global, untuk berpikir cara baru, untuk lebih akrab dengan mereka. Jika tidak begitu, kami akan kehilangan fans dari satu generasi ke generasi lainnya. Intinya sederhana: Kami berevolusi, atau mati dalam tumpukan sejarah,” tegasnya.
ADVERTISEMENT