Rumah Galatasaray Adalah Neraka bagi Lawan

1 Oktober 2019 18:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Galatasaray. Foto: Yasin AKGUL / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Galatasaray. Foto: Yasin AKGUL / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang penulis bicara begini. Neraka adalah tempat bagi iblis. Namun, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di sana.
ADVERTISEMENT
Kita tidak tahu apakah ia meronta dan berteriak karena menderita. Jangan-jangan ia malah tertawa bahagia menikmati hidup di neraka. Kita bahkan tidak tahu pasti, seharusnya kita memanggil iblis dengan sebutan mereka atau ia.
Yang jelas, 'Iblis Merah' jengah ketika berlaga di nerakanya sepak bola, Stadion Ali Sami Yen. Itu adalah nama bagi markas Galatasaray.
Mari memutar ingatan hingga 3 November 1993. Manchester United tersingkir dari Liga Champions 1993/94 akibat menutup laga leg kedua di preliminary round melawan Galatasaray dengan kedudukan 0-0. Di laga kandang pada leg pertama, United dan Galatasaray bermain imbang 3-3.
Tersingkir dari Liga Champions hanya satu dari sekian banyak hal menyebalkan yang dibawa pulang United dari Turki. Bahkan sejak menginjakkan kaki ke bandara, intimidasi itu sudah datang.
ADVERTISEMENT
Suporter tuan rumah menyambut skuat besutan Sir Alex Ferguson dengan spanduk bertuliskan ‘RIP Manchester’ dan ‘Welcome to the Hell’. Itu belum ditambah dengan seruan salah seorang suporter Galatasaray yang menyebut bahwa ini akan menjadi 48 jam terakhir kehidupan seluruh penggawa United yang dibawa ke laga itu.
UltrAslan di laga Galatasaray vs FC Astana. Foto: OZAN KOSE / AFP
Intimidasi itu tentu belum seberapa. Puncaknya adalah apa yang terjadi di laga.
Berhitung mundur, Gary Pallister bahkan menyebut suporter Galatasaray melahirkan atmosfer luara biasa pada leg pertama di Old Trafford. “Rasanya seperti bertanding sambil dikelilingi hinaan-hinaan yang begitu hidup. Kondisi itu membuat laga tidak berjalan menyenangkan bagi kami."
Masalahnya begini. Luar biasa di sini adalah luar biasa yang berpihak. Keluarbiasaan itu membikin United jengah, terlebih begitu mereka sampai di kandang Galatasaray. Atmosfer itu barangkali memaksa Sir Alex berlagak tegar mendampingi timnya di pinggir lapangan.
ADVERTISEMENT
“Ada begitu banyak suar. Asapnya tebal betul. Seantero stadion tampak terbakar,” Gary Neville menambahkan.
Suporter sudah panas, tentu pertandingan tidak bisa tidak panas. Persoalannya laga malah memanas dengan buruk. Tingginya tensi laga dimanifestasikan dengan kerasnya pertandingan.
Alih-alih gol, yang berulang kali muncul adalah pelanggaran dan diving. Galatasaray melawan dengan cara kotor. United bertahan tanpa gaya.
Ini bukan jenis laga yang ditutup dengan standing ovation para penonton kepada siapa pun yang berlaga. Pertandingan ini akan terus dikenang sebagai salah satu laga level Eropa terburuk yang pernah ada.
“Mereka melakukan segala cara untuk menyingkirkan kami dengan aturan gol tandang. Seisi neraka tumpah,” seperti itu Roy Keane menggambarkan laga melawan Galatasaray tadi.
ADVERTISEMENT
Ali Sami Yen yang lama sudah 'hilang' sejak 2008. Galatasaray membutuhkan rumah baru yang lebih besar untuk menampung suporter mereka yang bisingnya minta ampun.
Markas mereka kini dikenal dengan sebutan Turk Telekom Stadium, yang masih ada dalam kawasan Kompleks Ali Sami Yen. Nama itu nama komersial, biasalah. Sejak 2011, kapasitasnya bertambah menjadi 52.223 penonton.
Apa pun nama dan sebutannya tak masalah. Serupa yang sudah-sudah, rumah Galatasaray tetap menjadi neraka bagi tim lawan. Serupa surga yang harus tetap ada, neraka juga harus kekal.
***
Turki adalah persimpangan bagi dua unsur yang kelewat berbeda: Asia dan Eropa, timur dan barat, tradisional dan modern.
Orhan Pamuk menggambarkan dengan cerdik seperti apa Turki, khususnya Istanbul, dalam memoar yang berjudul 'Istanbul: Memories and the City'. Buku ini bicara tentang melankolia kolektif yang datang dari keruntuhan Kekaisaran Ottoman.
ADVERTISEMENT
Lewat nostalgia demi nostalgia, Pamuk ingin berkata bahwa ke mana pun seseorang melemparkan pandangannya di Istanbul, yang terlihat hanya sisa-sisa kejayaan Kekaisaran Ottoman.
Sepak bola Istanbul memiliki dua raksasa: Galatasaray dan Fenerbahce. Karena Turki adalah irisan antara Asia dan Eropa, Galatasaray dan ultrasnya--UltrAslan--menempati wilayah Eropa.
Meski sama-sama Eropa jika dibandingkan dengan lawan-lawan mereka seperti United, PSG, Chelsea, Liverpool, Real Madrid--sepak bola Eropa yang Galatasaray tampilkan berbeda.
Kualitas Galatasaray di laga-laga Eropa bisa disangsikan. Buktinya hingga kini mereka belum sanggup merengkuh gelar juara Liga Champions, padahal itu merupakan turnamen paling bergengsi jika kita bicara soal level Eropa.
Kiprah Galatasaray di Liga Europa juga belum seberapa. Satu-satunya gelar juara direngkuh pada 1999/2000, itu pun ketika Liga Europa masih bernama Piala UEFA.
ADVERTISEMENT
Salah besar jika mengira ‘neraka’ sebagai metafora jurnalistik belaka. Stadion Galatasaray benar-benar mendapatkan julukan cehennem--itu adalah kata neraka dalam Bahasa Turki. Faktor utama munculnya julukan itu tentu saja intimidasi konstan para suporter.
Seantero stadion pekat jika Galatasaray berlaga, terutama di kompetisi level Eropa. Asap dari suar berwarna kuning-merah ditambah kebisingan yang tak habis-habisnya membikin orang-orang membayangkan bahwa inilah gambaran terdekat untuk neraka.
Turk Telekom Arena bahkan tercatat sebagai stadion paling berisik di dunia. Tingkat kebisingannya mencapai 131,76 desibel. Bandingkan konser musik rock yang rata-rata mencapai 120 desibel. Bagaimana lawan tidak pening menghadapi intimidasi yang demikian?
UltrAslan disebut-sebut sebagai kelompok yang mewakili orang-orang miskin di Istanbul. Namun, jangan lupakan pula sekitar satu dekade lalu mereka berhasil menyelamatkan klub dari kebangkrutan dengan dana patungan sekitar 3 juta poundsterling.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besarnya muncul: Bagaimana bisa mereka mengumpulkan uang sampai 3 juta poundsterling padahal 80% penduduk Istanbul hidup miskin?
Ini masih di airport, gaes~~ Foto: REUTERS/Kemal Aslan
Jawabannya sederhana. Suporter ini begitu mencintai klub. Tak heran jika mereka bersedia menyerahkan aset atau uang demi menopang klub agar tidak roboh. Bagi orang-orang Istanbul, teras stadion menjadi satu-satunya tempat bagi mereka untuk berteriak lantang, menyerukan cinta dan gairah kepada klub.
Para suporter Galatasaray mempersetankan prestasi mereka di hadapan tim-tim raksasa Eropa. Keteguhan seperti ini menjadikan seluruh stadion Galatasaray sebagai salah satu ‘kuali’ terpanas di ranah sepak bola.
Kita kembali lagi ke laga pada 3 November 1993 itu. Eric Cantona yang tangguh itu pun kehilangan kewarasannya di hadapan suporter Galatasaray.
ADVERTISEMENT
Insiden ini terjadi di pengujung laga, sesaat setelah pelanggaran yang dilakukan Denis Irwin kepada Reinhard Stumpf. Cantona kesal karena menganggap Stumpf mengulur waktu dengan berguling-guling dan berbaring lama di lapangan.
Kalau Cantona marah, semua bisa kena semprot. Wasit yang memimpin laga, Kurt Rothlisberger, tak luput dari amukannya. Ganjaran kartu merah langsung datang kepada Cantona. Tak lama setelah ia berjalan meninggalkan lapangan, peluit akhir dibunyikan.
Hanya karena laga tuntas, bukan berarti semuanya bakal baik-baik saja. Para pemain United mesti dikawal untuk masuk ruang ganti. Cantona lagi-lagi mendapat alasan untuk jengkel setengah mati. Ia merasa dipukul dari belakang.
Keane bahkan menjelaskan Cantona seperti orang sinting di ruang ganti. Butuh bantuan manajer, hingga pemain-pemain muda untuk menenangkan Cantona yang kalap.
ADVERTISEMENT
“Eric menjadi sinting di ruang ganti. Pemain lain ingin secepat mungkin keluar dari stadion. Namun, Cantona ingin kembali ke lapangan untuk mencari polisi yang mengusiknya dengan pentungan sialan itu. Ia berkeras membunuh siapa pun polisi itu," kenang Keane.
Lain United 1993, lain pula Jose Mourinho. Pada April 2013, Mourinho mesti memimpin Real Madrid asuhannya melakoni laga perempat final Liga Champions 2012/13 di kandang Galatasaray.
Pertandingan sepertinya berpihak pada Madrid. Toh, mereka menutup leg pertama dengan kemenangan 3-0. Namun, lain cerita di leg kedua.
Entah siapa yang kesetanan: Para pemain Galatasaray atau para suporter. Yang jelas, laga itu selesai dengan kemenangan 3-2 untuk Galatasaray. Beruntunglah Madrid karena dengan hasil itu pun mereka masih menang 5-3 secara agregat.
ADVERTISEMENT
Di hadapan para reporter Mourinho menjelaskan segila apa pengalaman kali ini. Meski demikian, ia berusaha sedapat mungkin supaya tidak gugup mendampingi tim yang tidak cuma diteror serangan lawan, tetapi juga intimidasi para suporter.
“Saya paham betul mengapa Galatasaray bisa sekuat itu. Mereka tidak bermain dengan 11 orang pemain hari ini. Mereka bertanding dengan 50.000 suporter yang luar biasa,” jelas Mourinho.
Suporter Galatasaray di laga melawan Club Brugge. Foto: REUTERS/Johanna Geron
Stadion serupa bakal menjadi arena tempat Paris Saint-Germain (PSG) berlaga di matchday kedua Liga Champions 2019/20.
Neymar memang pemain hebat, tetapi jangan merasa sok bintang di kandang Galatasaray. Thomas Tuchel memang pelatih cerdik, tetapi bukan tidak mungkin hitung-hitungan taktik dalam kepalanya ambyar seketika begitu mendengar intimidasi suporter lawan.
ADVERTISEMENT
Thiago Silva yang terkenal sebagai salah satu bek paling tangguh itu pun tidak dapat menutup mata akan keberadaan para suporter sebagai tonggak utama Galatasaray di laga genting.
"Kami tahu sehebat apa Galatasaray dan sejarah mereka. Suporter mereka sangat gila dan kami tahu mereka akan seperti itu di laga nanti," ujar Silva.
Pada akhirnya, PSG tetap diunggulkan. Toh, Galatasaray bukan tim terbaik di Eropa. Namun, bagaimana jika suporter mereka tidak peduli-peduli amat dengan gelar Raja Eropa?
Bagaimana kalau yang mereka inginkan cuma menjadikan stadion mereka sebagai 'Istanbul-nya' sepak bola, Istanbul yang mempertemukan para raksasa Eropa dengan sesuatu yang asing?
Hal-hal asing itu membuat para lawan merasa gusar, lalu dengan seketika melahirkan rindu akan tanah, stadion, sepak bola, atau dunia yang begitu mereka kenali. Seperti apa pun dunia itu, yang jelas berbeda dengan kandang Galatasaray.
ADVERTISEMENT
***
Laga kedua Grup A Liga Champions 2019/20 antara Galatasaray dan Paris Saint-Germain akan digelar di Turk Telekom Stadium pada Rabu (2/10/2019). Sepak mula berlangsung pada 02.00 WIB.