Saatnya Mencari Ekspatriat untuk Membenahi Kompetisi Indonesia

19 Februari 2019 19:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Persija Jakarta melakukan perayaan setelah menerima trofi Liga 1 dari Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Berlinton Siahaan, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Persija Jakarta melakukan perayaan setelah menerima trofi Liga 1 dari Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Berlinton Siahaan, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Untuk urusan penyelenggaraan kompetisi, sepak bola Indonesia sempat memercayakan posisi penting kepada mereka yang disebut 'Kamus Sepak Bola'. Ya, ada Joko Driyono (Jokdri) dan Ratu Tisha Destria.
ADVERTISEMENT
Jokdri yang amat menguasai ilmu serta dinamika sepak bola nasional karena keterlibatannya hampir tiga dekade, sempat menjabat sebagai Direktur Kompetisi Liga Indonesia pada 2005, kemudian CEO PT Liga Indonesia delapan tahun berselang.
Di sisi lain, Ratu Tisha dianggap memiliki wawasan dan pandangan cemerlang dalam hal sepak bola. Sebagai bukti, sosok yang menguasai lima bahasa ini sempat mengikuti program beasiswa bertajuk FIFA Master-Internasional Master in Management, Law and Humanities Asia pada 2013.
Tak heran jika karier Ratu Tisha melejit. Dia sempat menduduki kursi Direktur Kompetisi PT Gelora Trisula Semesta (GTS) dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) dari 2016 sampai 2017, sebelum akhirnya menemukan jalan menjadi Sekretaris Jenderal PSSI.
Kendati begitu, di antara dua nama 'hebat' itu, penyelenggaraan kompetisi di Indonesia nyatanya masih jalan di tempat sampai kini. Begitu banyak noda, mulai dari kerusuhan suporter berujung kematian, penunggakan dana distribusi, dan bentrokan jadwal Liga 1 dengan Timnas Indonesia. Indikasi dari jalan di tempat ialah karena masalah tersebut berulang tiap musim.
ADVERTISEMENT
Musim lalu, masalah setumpuk itu bertambah pelik dengan munculnya dugaan pengaturan skor. Penggeledahan Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Bola di Kantor Komisi Disiplin (Komdis) PSSI malah berujung kepada penetapan Jokdri sebagai tersangka pengrusakan, penghilangan, dan penghancuran barang bukti.
Selepas masalah-masalah tersebut, Berlinton Siahaan mundur sebagai Direktur Utama PT LIB. Diikuti pengunduran diri Glenn Sugita dari jajaran Komisaris. Lantas, jika memang belum ada orang Indonesia yang mampu mendongkrak kualitas kompetisi lokal, mengapa tak mengimpor ekspatriat?
Glenn Sugita, Direktur PT Persib Bandung Bermartabat saat ditemui kumparan, Senin (1/10). Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Gagasan tersebut bukan tanpa referensi. Kesuksesan Thailand via penyelenggaran empat level Thai League bisa menjadi pelajaran. Kini, Konfederasi Sepak Bola Asia alias AFC menempatkan Thailand sebagai negara dengan kompetisi terbaik nomor delapan di Asia, sementara Indonesia cuma menempati posisi ke-27.
ADVERTISEMENT
Nah, ada tangan asing di balik lonjakan kompetisi di Negeri Gajah Putih. Dialah Benjamin Tan, orang Singapura yang telah meniti karier panjang dalam dunia sepak bola Asia.
Sudah sejak Mei 2016, Federasi Sepak Bola Thailand (FAT) merekrut Benjamin. Lulusan Edith Cowan University, Australia ini, dipercaya mengemban dua posisi penting: Wakil CEO dan Direktur Lisensi Klub FAT.
Rekam jejak Benjamin dalam mengelola kompetisi menjadi pertimbangan FAT. Karena dia memang pakarnya, menilik curriculum vitae yang berhiaskan pengalaman menjadi Manajer Kompetisi Federasi Sepak Bola Singapura (2000-2006), Kepala Departemen Kompetisi AFC (2010-2014), serta Wakil Direktur Pengembangan dan Perencanaan Federasi Sepak Bola Singapura.
Lewat pengalaman panjang itulah, Benjamin pasti memahami bagaimana membentuk kompetisi lokal berkualitas. Dan di mata dia, kehadiran suporter merupakan aspek terpenting, tetapi masih kurang di Thailand.
ADVERTISEMENT
Benjamin meyakini, eksistensi suporter tak cuma menyoal menyaksikan pertandingan di televisi atau stadion. Lebih penting lagi bagaimana mereka memiliki kebangaan, antusiasme, dan fanatisme terhadap satu klub.
Untuk meningkatkan gairah suporter di Thailand, Benjamin lantas mendorong stasiun-stasiun televisi untuk menyajikan program talk shows khusus membicarakan Thai League. Sehingga, terpaan informasi kepada suporter terus terjaga. Dari situlah, cinta akan klub sepak bola bertumbuh.
Baru setelah suporter mencapai titik tertentu dan pemangku kepentingan melihat komoditas yang sangat menggiurkan untuk dijual, perputaran uang di Thai League bisa meningkat.
Sponsor berdatangan untuk menghiasi bagian dada kostum klub-klub Thailand. Bisa dilihat bagaimana Buriram United mengikat Chang, Yamaha, Thai AirEsia, serta King Power. Atau, kehadiran Suem Cement Group, Yamaha, Toshiba, AIA, serta Nikon dalam mendukung Muangthong United bisa menjadi bukti lain.
ADVERTISEMENT
Sementara, stasiun televisi berani membayar mahal untuk menayangkan Thai League. Adalah True TV yang rela mengucurkan 126 juta dolar Amerika Serikat untuk kontrak sampai 2020 atau melipatgandakan nominal kontrak sebelumnya.
Nah, kesepakatan dengan True TV ini tidak cuma berkat andil Benjamin. Ada kontribusi Sir Dave Richards yang merupakan Chairman English Premier League dalam kesuksesan tersebut. Berkat kedekatan Richards dengan sepak bola Thailand pula, almarhum Vichai Srivaddhanaprabha bisa menguasai Leicester City sejak Februari 2011.
Kembali lagi ke pembahasan tentang Benjamin. Sosok yang fasih berbahasa Thailand ini juga memanfaatkan jaringan luasnya di Asia untuk membangun kerja sama dengan negara-negara maju. Lantas, terpilihlah Jepang.
Perayaan gol dari Chanatip Songkrasin. Foto: AFP/Karim Sahib
Ketika Thailand dan Jepang bertemu di laga Kualifikasi Piala Dunia 2018, Maret 2017 lalu, kedua negara menjalin nota kesepakatan kerja sama untuk pertukaran ilmu. Fokusnya di beberapa area saja, yakni wasit, sepak bola wanita, level akar rumput, dan pendidikan pelatih.
ADVERTISEMENT
Lewat kerja sama itu pula, jalan pemain Thailand untuk merumput di Jepang terbuka. Kini, ada tiga wakil Negeri Gajah Putih di sana, di antaranya bek Theerathon Bunmathan (Vissel Kobe), gelandang Chanathip Songkrasin (Hokkaido Consadole Sapporo), serta penyerang Teerasil Dangda (Sanfrecce Hiroshima).
===
Berkat Benjamin Tan, sepak bola Thailand tak cuma menghadirkan kompetisi dengan fanatisme suporter yang layak dijual ke sponsor, tetapi juga pemain-pemain berbakat untuk diorbitkan ke negara maju.
Adapun, Indonesia sudah memiliki kekuatan dalam hal keriuhan penggemar. Hanya kepercayaan mereka dan sponsor tergerus akibat isu pengaturan skor yang beredar belakangan.
Selain pengaturan skor, problem yang terjadi setiap musim di kompetisi Tanah Air seperti itu-itu saja, siapa pun orang hebat di belakangnya. Lantas, inikah saatnya mencari Benjamin Tan untuk sepak bola Indonesia?
ADVERTISEMENT