Sadio Mane: Dari Masjid Senegal ke Pentas Sepak Bola Eropa

10 April 2018 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyerang sayap Liverpool, Sadio Mane. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Penyerang sayap Liverpool, Sadio Mane. (Foto: Reuters/Lee Smith)
ADVERTISEMENT
Menjadi anak seorang imam masjid adalah perkara biasa di Senegal. Namun, menjadi anak seorang imam masjid yang 'kabur' ke Eropa untuk menjadi pesepak bola papan atas adalah perkara luar biasa di Senegal.
ADVERTISEMENT
Sadio Mane menghabiskan masa kecil dan sebagian masa mudanya di Bambali, Sedhiou. Wilayah ini dikenal sebagai kawasan gerakan separatis di Senegal. Walaupun pemberontakannya masih dalam skala kecil, apa yang terjadi di sana tetap saja membikin kondisi ekonomi Senegal kacau-balau.
Sepak bola memang perkara jamak di Afrika, termasuk Senegal. Tak heran bila Mane menyukai sepak bola sejak kanak.
Sepak bola dan gejolak berkawan karib. Di antara tumpukan cerita seram tentang perang, bencana, konflik, atau pemberontakan selalu ada sepak bola yang jadi penawar jamaknya lara.
Saat bencana, stadion jadi tempat pengungsian. Di bawah lindungan stadion mereka bertahan hidup.
Sewaktu perang, konflik, dan pemberontakan meletus, bocah-bocah membangun oasenya sendiri dengan bermain sepak bola. Di antara dentuman bom dan desing peluru, tetap ada gelak tawa yang lahir di lapangan-lapangan bola darurat.
ADVERTISEMENT
Bambali adalah desa kecil, miskin, direpotkan dengan urusan pemberontakan. Mereka terlalu sibuk untuk mengurusi persoalan renjana anak-anak dan remaja. Makanya, sepak bola berhenti menjadi satu kesukaan.
Namun, Mane berbeda. Bila teman-temannya memeram kecintaannya pada sepak bola, Mane membiarkannya tumbuh membesar dan menggila.
Saat berusia 15 tahun, Mane mengambil keputusan paling tidak masuk akal yang bisa diambilnya. Ia berhenti sekolah dan memfokuskan diri pada hasratnya untuk menjadi pesepak bola.
Keputusan itu akan menjadi hal yang wajar bila Mane tinggal di Brasil, Inggris, Italia, Spanyol, atau Portugal. Masalahnya, ia tinggal di Bambali. Di desanya itu tak ada klub sepak bola. Mengharap bantuan dari luar pun ibarat pungguk merindukan bulan, tak ada klub yang terlalu naif untuk melirik talenta-talenta muda di sana.
ADVERTISEMENT
Mane akhirnya berangkat ke Dakar, ibu kota Senegal demi mencari klub untuk berlatih. Karena mendapatkan selalu menjadi bagian dari orang yang mencari, Mane pun mendapatkan akademi sepak bola yang ia butuhkan, Generation Foot.
Akademi sepak bola ini ada di Dakar, dibangun pada tahun 2000. Bagusnya, mereka memiliki kerja sama dengan klub profesional asal Prancis, FC Metz, yang sekarang bermain di Ligue 2.
Mane menghabiskan waktu tiga tahun di akademi ini. Penampilannya mencuri perhatian pencari bakat Metz. Tahun 2011, Mane akhirnya berangkat ke Eropa. Ia menjejaki Prancis untuk melakoni serangkaian trial.
Prancis adalah negara parlente. Penampilan kumal dan butut akan menjadi bahan tertawaan, termasuk di lapangan bola. Itu pula yang didapati Mane saat melakoni uji coba di Metz.
ADVERTISEMENT
Namun, Mane tak pernah minta untuk diterima. Menjadi sesuai dengan sekitar tidak pernah menjadi urusan bagi Mane. Cerita Mane selalu tentang kemenangan. Ia pun menjadi pemenang dalam uji coba itu. Kemampuan olah bolanya memukau klub, kontrak profesional menjadi hal pertama yang ia menangi di Prancis.
“Jangankan soal kontrak, orang tua saya pun tak tahu bahwa saya berangkat ke Prancis. Yang mereka tahu, saya ada di Dakar. Saya hanya sekali memberi tahu paman saya.”
“Saya bahkan ingat cerita ini. Di hari pertama saya sampai di Prancis, saya pikir saya sudah harus langsung latihan. Ternyata, pelatih saya menyuruh saya istirahat di rumah dulu.”
Dua pemain Senegal, Mane dan Diame. (Foto: Cameron Spencer/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Dua pemain Senegal, Mane dan Diame. (Foto: Cameron Spencer/Getty Images)
“Waktu itu saya bahkan tidak punya pulsa untuk menelepon dan mengabari ibu saya. Besoknya, saya dan teman-teman membeli pulsa. Saya menelepon ibu dan menceritakan bahwa saya sudah ada di Prancis.”
ADVERTISEMENT
“Dia terkejut setengah mati. Saya bilang padanya, ‘Bu, saya ada di Prancis, di Eropa.’ Terus, dia jawab seperti ini, ‘Ngomong apa kamu?! Kamu tinggal di Senegal!’ Ya, saya bilang saja sekali lagi bahwa saya memang ada di Eropa,” tutur Mane dilansir Liverpool Echo.
Menyoal cita-citanya ini, Mane hanya bercerita kepada pamannya. Entah apa sebabnya. Namun, itu pun bukan tanpa kendala. Awalnya, pamannya ini malah meminta Mane untuk berhenti berambisi jadi pesepak bola. Menurutnya, itu tak mungkin, karena Senegal bukan Eropa.
Bila kebanyakan pemain muda mencari perhatian, maka Mane mencuri perhatian. Hukum yang berlaku dalam dunia kompetisi, siapa yang cepat, dia yang menang. Beruntung, sebagai orang baru di kompetisi sepak bola, Mane membawa pengertian ini dalam tahun pertamanya.
ADVERTISEMENT
Ia bergegas sejak musim pertama. Penampilannya di musim pertama bersama Metz langsung mencuri perhatian Timnas Senegal. Tak tanggung-tanggung, ia bergabung sebagai skuat Timnas di gelaran Olimpiade 2012.
Di perhelatan itu, Senegal ada dalam grup yang sama dengan Inggris (Britania Raya, tuan rumah, -red), Uruguay, dan Uni Emirat Arab. PErtandingan melawan tuan rumah menjadi panggung pertama Mane di level internasional. Keberhasilan Senegal menahan imbang Inggris adalah buah dari assist Mane kepada MOussa Konate di pengujung laga.
Langkah Senegal cukup jauh di kompetisi itu. Mereka terhenti di babak perempat final setelah dikalahkan Meksiko dengan skor 2-4. Namun, kekalahan tak menjadi satu-satunya hal yang dibawa pulang Mane.
Klub-klub Eropa mulai mengantri mendapatkan jasanya, termasuk Borussia Dortmund yang waktu itu masih dipimpin oleh Juergen Klopp. Mane belum tergiur dengan nama besar Dortmund. Alih-alih bergabung, ia justru memilih RB Salzburg dan berkompetisi di Austria.
ADVERTISEMENT
Mane tak bergegas hengkang ke klub yang lebih besar setelah melakoni musim pertama. Ia bertahan di Salzburg selama dua musim. Kesabarannya ini berbuah manis, Salzburg juara Liga Austria di musim 2014/2015.
Berhasil di Austria, Mane mulai mencicipi kompetisi sepak bola Inggris. Ia bergabung dengan Southampton yang kala itu ada di bawah kepelatihan Ronald Koeman.
Bila menyoal Mane dan Southampton, maka keberhasilannya menjadi pesepak bola yang membukukan hattrick tercepat tak dapat dipungkiri. Saat melawan Aston Villa, Southampton menang 6-2. Tiga dari gol lahir berkat Mane. Yang menakjubkan, ia mencetak hattrick dalam kurun waktu 2 menit 56 detik.
Sadio Mane Dipeluk Juergen Klopp (Foto: Reuters/Phil Noble)
zoom-in-whitePerbesar
Sadio Mane Dipeluk Juergen Klopp (Foto: Reuters/Phil Noble)
Penampilan gemilang Mane bersama Southampton membikinnya jadi incaran Manchester United dan Liverpool. Dan semua tahu, ia berangkat ke Anfield dan bekerja sama dengan Klopp pada 2016.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pembicaraan tentang Liverpool di musim 2016/2017 adalah tentang Mane. Di Premier League musim itu, ia mencetak 13 gol dari 27 penampilannya. Sementara, Roberto Firmino yang menjadi tandem mencetak 11 gol di musim dan kompetisi yang sama.
Catatan-catatan statistik menunjukkan bahwa Mane memang spesial bagi Liverpool. Secara peringkat di musim 2016/2017 itu, ia menjadi pemain ketiga dengan upaya tembakan terbanyak. Setiap pertandingan, ia melesakkan 2,2 tembakan. Peringkat kedua ditempat oleh Roberto Firmino dengan 3,2 tembakan per laga. Philippe Coutinho jadi yang pertama dengan 3,2 tembakan per pertandingan.
Yang membikin Mane jadi pembeda ia menjadi pemain yang unggul dalam kecepatan dan melewati lawan. Di musim tersebut ia, menorehkan 96 dribel, 53 di antaranya sukses. Keunggulan dribelnya ini berkorelasi positif dengan peluang yang ia ciptakan. 2,2 tembakan per laga itu berarti menciptakan 49 tembakan di sepanjang musim.
ADVERTISEMENT
Bila dirinci 87% tembakannya itu berasal dari kotak penalti. Mane menjadi spesial karena ia menjadi pemain yang efektif di kotak penalti. Kemampuannya melewati lawan itu membuatnya bisa memasuki kotak penalti dengan lebih baik dibanding pemain lain di timnya.
Catatan gemilang Mane di Liverpool itu memang harus diraihnya. Pasalnya, ia tak dibayar dengan harga murah. Penghasilan per pekannya mencapai 90 ribu poundsterling. Jumlah yang sedemikian besar lantas tak membuatnya lupa dengan Bambali, kampung halamannya.
Besar di tengah-tengah keluarga relijius membikin Mane menyadari sepenting apa keberadaan tempat ibadah bagi orang-orang di kampungnya. Ia pun mengambil tindakan untuk merenovasi masjid dan beberapa infrastruktur lainnya.
Musim 2017/2018 ini, lini serang Liverpool adalah mimpi buruk bagi lawan. Tak cuma Mane dan Firmino, kedatangan Mohamed Salah menjadi hantu yang kerap mengancam gawang lawan.
ADVERTISEMENT
Total, saat ini Salah sudah mengemas 40 gol di semua kompetisi. Firmino sudah mencetak 24 gol. Sementara, Mane ketinggalan jauh. Ia baru mencetak 16 gol di semua kompetisi. Catatan inilah yang membikin Mane kerap dinilai tenggelam. Kehadiran Salah dan keberadaan Firmino dinilai meredupkan cerlang Mane di skuat Liverpool.
Persamaan Salah dan Mane, keduanya merupakan pemain sayap yang kreatif. Keduanya juga unggul dalam kecepatan. Namun, bukan berarti tak ada perbedaan sama sekali.
Selebrasi gol Mane dan Salah. (Foto:  REUTERS/Peter Powell)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol Mane dan Salah. (Foto: REUTERS/Peter Powell)
Dibandingkan Mane, Salah lebih unggul perihal umpan kunci. Ia mencetak 1,8 umpan kunci per laga. Sedangkan Mane, 1,5 umpan kunci per pertandingan. Liverpool, pada dasarnya mendatangkan Salah untuk menambah kans mencetak gol.
Adalah benar jika jumlah gol yang dicetak Mane tidak sebanyak musim lalu. Benar juga bila menyebut bahwa Salah menjadi produsen gol utama bagi Liverpool saat ini. Namun, ada alasan mengapa keduanya (ditambah Firmino) hampir tak terpisahkan bila menyoal lini serang Liverpool.
ADVERTISEMENT
Walaupun posisinya di tengah, bukan berarti Firmino tidak dinamis. Tak jarang, ia berperan menjadi umpan yang bergerak lebih ke belakang sehingga bisa membingungkan pergerakan bek tengah lawan. Jika penjagaan sudah difokuskan pada Firmino, Salah bisa memberikan umpan panjang kepada Mane yang memang punya kemampuan pergerakan tanpa bola dan dribel yang mumpuni untuk dikonversikan menjadi gol.
Atau, skema serangan Liverpool memang difokuskan kepada Salah sebagai finisher. Hal ini bisa dilihat dari total tembakan Salah di Liverpool untuk kompetisi Premier League musim ini saja mencapai 97. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Firmino yang mencapai angka 52 dan Mane yang mencatatkan 47 tembakan. Hanya karena Salah yang berperan sebagai finisher, bukan berarti Mane tak punya peran. Toh, keran golnya juga masih terbuka.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi target Mane saat ini tak hanya Liverpool, tapi juga Timnas Senegal. Setelah terakhir kali tampil di Piala Dunia 2002, tahun ini, Senegal akhirnya kembali bertanding di Piala Dunia. Mereka tergabung di Grup H bersama Jepang, Kolombia, dan Polandia.
Target Senegal juga tak main-main: menembus semifinal. Di tahun 2002 dulu, Senegal juga tampil meyakinkan. Mereka berhasil mencapai babak perempat final, walaupun akhirnya harus pulang setelah kalah 0-1 dari Turki.
"Semifinal bukan target yang mustahil bagi Senegal. Sekarang, sepak bola bukan hanya tentang Eropa atau Amerika atau Afrika. Sepak bola itu global. Siapa pun bisa jadi juara. Lagipula, ada banyak pemain Senegal yang main di kompetisi top di Eropa. Jadi, kami bisa bertanding melawan siapa pun di Piala Dunia nanti."
ADVERTISEMENT
Memasang target tinggi memang menjadi beban tersendiri bagi pesepak bola. Mencapai babak semifinal Piala Dunia dan tetap bersinar di Liverpool adalah dua tugas yang memang tak ringan.
Namun, sepak bola Mane memang muncul dari satu perjalanan yang tak hanya menuntut pengorbanan, tapi juga ketangguhan fisik dan mental, serta daya tahan untuk terus bermimpi. Sebuah jalan yang panjang dan jelas tak nyaman. Dan sekarang, Mane sudah ada di tengah jalan -kelewat jauh untuk kembali ke awal, kelewat cepat untuk segera diakhiri.