Satu Dekade sejak Sir Bobby Robson Pergi

1 Agustus 2019 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sir Bobby Robson saat menangani Newcastle United. Foto: Dok. Newcastle United F.C.
zoom-in-whitePerbesar
Sir Bobby Robson saat menangani Newcastle United. Foto: Dok. Newcastle United F.C.
ADVERTISEMENT
"Cepat atau lambat aku akan mati, tetapi semua orang memang harus pergi suatu hari nanti dan aku sudah menikmati setiap menit dalam hidup ini."
ADVERTISEMENT
Bagaikan anak haram, Stadio delle Alpi di Turin tidak pernah benar-benar diinginkan kehadirannya. Desain stadion itu memang megah untuk masanya dan biaya pembangunannya juga begitu mahal. Akan tetapi, arena itu sepertinya memang cuma dibangun untuk pamer kekayaan.
Sepak bola, yang semestinya jadi atraksi utama di sana, tidak pernah bisa betul-betul dinikmati karena buruknya kualitas pandangan dari tribune. Alhasil, stadion ini pun tidak pernah menjadi rumah yang nyaman bagi pendukung Juventus maupun Torino. Pada 2009, stadion ini dirobohkan dan di atas tanahnya kini berdirilah Allianz Stadium kebanggaan 'Si Nyonya Tua'.
Namun, di saat warga Turin tidak pernah benar-benar menerima keberadaannya, stadion ini justru menjadi tempat bersejarah bagi orang-orang Inggris. Di Stadio delle Alpi, pada Piala Dunia 1990, pahit-manis kehidupan dirasakan betul oleh Timnas Inggris dalam pertandingan menghadapi Jerman Barat.
ADVERTISEMENT
Inggris tampil hebat pada pertandingan semifinal itu, tetapi akhirnya harus mengakui kekalahan lewat adu penalti. Kekalahan tersebut begitu menyakitkan dan menjadi momok menakutkan bagi Inggris dalam tahun-tahun mendatang. Hampir tiga dekade berselang mereka baru bisa kembali menjejak semifinal Piala Dunia di bawah besutan Gareth Southgate.
Namun, kekalahan adu penalti itu bukanlah momen paling dikenang dari sana. Sebelum adu penalti digelar, ada sebuah kejadian yang sampai kini masih begitu terasa pilunya. Orang-orang Inggris menyebut kejadian itu sebagai Gazza's Tears alias Air Mata Gazza.
Gazza adalah sapaan karib bagi bintang muda Inggris kala itu, Paul Gascoigne. Usianya kala itu baru 23 tahun tetapi Gazza sudah menjadi tumpuan bagi 'Tiga Singa'. Di Piala Dunia 1990 itu dia tampil begitu cemerlang, salah satunya ketika memberi assist bagi David Platt lewat tendangan bebas untuk memenangkan Inggris atas Belgia di perdelapan final.
ADVERTISEMENT
Ketika bersua Jerman Barat di semifinal, Gazza pun kembali menjadi motor serangan. Tanpa lelah dia menjelajah lapangan tengah untuk memberi sokongan bagi trio Gary Lineker-Chris Waddle-John Barnes di lini depan. Pertandingan itu sendiri berakhir 1-1 di waktu normal dan perpanjangan waktu pun kemudian digelar untuk mencari pemenang.
Di masa perpanjangan waktu itulah air mata Gazza tumpah. Usai melakukan kontrol dengan tidak sempurna, dia berusaha menjangkau bola dengan menjulurkan kaki. Sayangnya, kaki Gazza tidak mengenai bola, melainkan Thomas Bertold. Pemain Jerman Barat itu tersungkur dan wasit pun memberi kartu kuning kepada Gazza.
Gazza pun menangis. Mukanya memerah dan bibirnya bergetar. Lineker yang berada di dekatnya langsung memberi instruksi ke arah bangku cadangan dan berkata, "Awasi dia." Momen itu adalah awal dari kehancuran Inggris pada pertandingan tersebut. Setelah Inggris dipastikan tersingkir lewat adu penalti, tangis Gazza semakin kencang. Dia merasa kekalahan ini adalah kesalahannya.
ADVERTISEMENT
Kartu kuning untuk Gazza itu memang mengubah jalannya pertandingan. Sanksi itu adalah ketok palu yang membuat Gazza dipastikan tidak akan bisa tampil di final jika Inggris berhasil lolos. Hati si pemain hancur dan penampilannya tidak lagi sama. Agresivitas yang sebelumnya dia tunjukkan tanpa kenal lelah mendadak lenyap.
Gazza sedih bukan kepalang. Dia juga merasa sangat takut menghadap pelatihnya yang sudah menaruh kepercayaan pada dirinya sejak masih remaja. Namun, sang pelatih sama sekali tidak menunjukkan rasa marah. Bagaikan seorang ayah yang melihat anaknya terpukul, sang pelatih dengan lembut berkata, "Kamu sudah berbuat yang terbaik. Kamu sudah membuat keluargamu bangga, kamu sudah membuat negaramu bangga. Kamu harus bangga pada dirimu sendiri."
Nama pelatih itu adalah Sir Bobby Robson.
ADVERTISEMENT
***
Sir Bobby Robson saat menjadi pelatih Timnas Inggris. Foto: Dok. Timnas Inggris
Momen bersama Gazza di Piala Dunia 1990 adalah salah satu momen paling masyhur dalam perjalanan hidup Sir Bobby. Di situlah dia mencapai puncak keberhasilan sebagai seorang pelatih. Tak cuma membawa timnya tampil brilian, Sir Bobby juga menunjukkan kehebatannya dalam menangani sosok pemain yang dikenal sulit ditangani seperti Gazza.
Sir Bobby dan Gazza memang sudah lama saling kenal sebelum kejadian itu. Kebetulan pula mereka berasal dari daerah yang letaknya berdekatan. Gazza lahir di Gateshead, Sir Bobby lahir di Durham. Dua kota ini sama-sama berada tak jauh dari Newcastle upon Tyne.
Mudah saja sebenarnya untuk mengira bahwa perlakuan Sir Bobby kepada Gazza itu didasari atas kedekatan emosional karena berasal dari daerah yang berdekatan tadi. Akan tetapi, kasusnya tidak seperti itu. Sir Bobby tahu caranya menangani Gazza bukan karena dia orang Durham. Dia tahu caranya menangani Gazza karena dia memang sosok pelatih hebat.
ADVERTISEMENT
Dalam film dokumenter 'Bobby Robson: More Than a Manager' rilisan 2018, Jose Mourinho mendeskripsikan Sir Bobby sebagai sosok yang selalu tahu caranya menempatkan diri di situasi apa pun. Kata Mourinho, ketika Sir Bobby melatih Barcelona dulu, dia berperilaku laiknya seorang Catalan.
Sir Bobby sebenarnya tidak bisa dibilang berhasil di Barcelona. Dipercaya menjadi pelatih pada 1996, Sir Bobby pergi hanya setahun berikutnya. Namun, kegagalan di Barcelona itu tidak disebabkan oleh inkompetensinya sebagai seorang pelatih, melainkan oleh intrik politik yang memang begitu pelik.
Sir Bobby sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih sukses dan bertahan lama di Barcelona. Salah satu caranya adalah dengan merekrut Mourinho sebagai penerjemah. Dalam diri Mourinho ada sosok pemuda yang bisa mengambil hati para pemain dan lewat sinilah Sir Bobby mampu membuat Josep Guardiola, kapten Barcelona saat itu, tunduk.
ADVERTISEMENT
Di Barcelona saat itu ada empat pemain yang menjadi penguasa ruang ganti. Bersama Guardiola, ada pula Abelardo Fernandez, Sergi Barjuan, serta Luis Enrique Martinez. Di antara keempat nama itu Guardiola adalah pemain yang paling berpengaruh karena dia sebelumnya merupakan orang kepercayaan Johan Cruijff.
Sir Bobby Robson (kiri) bersama Jose Mourinho di Barcelona. Foto: Twitter/@blackstonejk
Sir Bobby datang ke Barcelona sebagai pengganti Cruijff dan dia dihadapkan pada kultur sepak bola yang benar-benar berbeda dari apa yang sebelumnya sudah pernah dia temui. Maka, langkah logis untuk meraih keberhasilan di Barcelona adalah dengan cara mengambil hati para pemimpin di dalam tim. Itulah yang dilakukannya kepada Guardiola.
Cara Sir Bobby itu akhirnya memang berhasil, tetapi tidak ada artinya. Sedari awal Sir Bobby memang cuma direncanakan untuk menjadi pelatih transisi dari Cruijff ke Louis van Gaal. Setelah Barcelona merekrut Van Gaal, rencananya Sir Bobby akan dijadikan direktur teknik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, Sir Bobby mengetahui kalau Barcelona sudah mengontrak Van Gaal sebelum musim 1996/97 berakhir dan itulah yang membuatnya mengundurkan diri. Padahal, Sir Bobby pada musim perdananya itu mampu mempersembahkan tiga gelar, yaitu Copa del Rey, Supercopa de Espana, dan Piala Winners.
Bagi Sir Bobby, melatih Barcelona boleh dibilang sebagai puncak kariernya di level klub. Meski demikian, pencapaian fenomenal tidak dia raih di sini. Jauh sebelum menjadi pelatih Barcelona, pria kelahiran 1933 itu sudah mampu menaklukkan Eropa bersama klub gurem Inggris, Ipswich Town.
Hampir 13 tahun lamanya Sir Bobby membesut Ipswich. Awalnya, setelah pensiun sebagai pemain pada 1968, dia dipercaya untuk menangani klub tempatnya memulai karier, Fulham. Namun, kiprah Sir Bobby bersama The Cottagers tak bertahan lama. Tak sampai setahun dia sudah dipecat. Dua bulan setalah diberhentikan Fulham barulah Sir Bobby dipercaya melatih Ipswich.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai kesuksesan bersama Ipswich, Sir Bobby butuh waktu tidak sebentar. Sembilan tahun sesudah ditunjuk barulah dia sanggup memberi gelar bergengsi, Piala FA. Arsenal, ketika itu, berhasil mereka kalahkan di final dengan skor tipis 1-0.
Keberhasilan di Piala FA itu ternyata beriringan dengan prestasi apik di liga Divisi Satu. Pada 1980/81, Ipswich dibawa Sir Bobby lolos ke Piala UEFA yang kala itu gengsinya tak jauh berbeda dari European Cup yang merupakan cikal bakal Liga Champions. Setelah melewati adangan Aris Salonika, Bohemians, Widzew Lodz, Saint-Etienne, dan Koeln, Ipswich pun mencapai final untuk berhadapan dengan AZ Alkmaar.
Sir Bobby Robson (kanan) mengecup trofi Piala UEFA. Foto: Dok. Ipswich Town F.C.
Ketika itu babak final Piala UEFA masih digelar dalam dua leg. Dalam laga leg pertama di Portman Road, Ipswich menang 3-0. Hasil ini rupanya sangat membantu mereka dalam menghadapi leg kedua. Meski kalah 2-4, Ipswich akhirnya tetap berhak atas gelar juara karena masih unggul secara agregat. Capaian ini membuat Sir Bobby diabadikan lewat sebuah patung di Portman Road sana.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan bersama Ipswich inilah yang membawa Sir Bobby ke kursi kepelatihan Timnas Inggris. Sebenarnya, bersama The Three Lions pun dia tidak selamanya berhasil. Bahkan, dia pernah mengajukan surat pengunduran diri sampai dua kali. Akan tetapi, karena FA tak mau merekrut Brian Clough untuk menjadi pengganti, Sir Bobby pun dipertahankan.
Piala Dunia 1990 tadi jadi turnamen terakhir Sir Bobby bersama Timnas Inggris. Setelahnya barulah dia berkelana ke daratan Eropa. PSV, Porto, dan Sporting CP jadi tiga klub yang dilatih Sir Bobby sebelum dipercaya membesut Barcelona. Dari sana, dia berhasil meraih tujuh gelar dalam enam musim bersama PSV dan Porto. Lalu, setelah dipecat Barcelona, Sir Bobby kembali ke PSV dan sukses mempersembahkan satu trofi lagi.
ADVERTISEMENT
Pada 1999 Sir Bobby akhirnya pulang ke Inggris untuk menangani Newcastle United. Boleh dibilang, bagi Sir Bobby, ini adalah sesuatu yang sudah tertunda selama puluhan tahun. Pasalnya, di masa muda dulu dia pernah menolak pinangan Newcastle karena klub berjuluk The Magpies itu dianggapnya tak serius dalam mengajukan tawaran.
Ketika sudah menangani Newcastle inilah Sir Bobby dihadapkan pada penyakit yang kelak akan merenggut nyawanya: kanker. Sampai meninggal dunia pada 2009, lima kali sudah Sir Bobby berusaha memerangi kanker yang selalu datang kembali meski sudah diusir. Sir Bobby menang 4-1 tetapi satu 'gol' yang dia derita itulah yang kemudian menjadi akhir dari segalanya.
Meski demikian, Sir Bobby tidak pernah menganggap kekalahan itu sebagai sebuah kekalahan. Setahun sebelum wafat, dia berkata bahwa cepat atau lambat dia akan meninggal tetapi itu bukan masalah karena selama 76 tahun hidup dia telah menikmati segalanya. Kata-kata itulah yang kini menjadi simbol dari perjalanan hidup Sir Bobby yang panjang.
ADVERTISEMENT
***
Menikmati hidup memang sudah identik dengan sosok Sir Bobby. Sepak bola adalah hidupnya dan dia mencintainya sepenuh hati. Rasa cinta yang dia berikan ke sepak bola itulah yang membuatnya juga begitu dicintai, baik oleh para kolega maupun anak-anak asuhnya.
Sir Bobby Robson saat menerima gelar kesatria dari Kerajaan Inggris. Foto: AFP/Michael Stephens
Guardiola, misalnya, menganggap masa-masa kepelatihan Sir Bobby di Barcelona sebagai pengalaman yang luar biasa. Kehangatannya sebagai seorang manusia itu dia aplikasikan pula dalam pekerjaannya sebagai pelatih sepak bola. Hal serupa juga diungkapkan sosok-sosok macam Bryan Robson, Ronaldo, serta Michel Platini.
Selain itu, ada pula Craig Bellamy yang meskipun tak jarang dimarahi oleh Sir Bobby tetap menaruh respek setinggi-tingginya. Menurut Bellamy, perlakuan Sir Bobby membuat dirinya punya kepercayaan diri tinggi di lapangan. "Meskipun badanku kecil, seusai mendengar kata-kata Sir Bobby, aku merasa seperti Didier Drogba," katanya.
ADVERTISEMENT
Alan Shearer pun memiliki kesaksian serupa. Sebagai salah satu striker terbaik dunia di akhir dekade 1990-an, Shearer mampu menarik banyak minat dari klub yang lebih besar dibandingkan Newcastle United. Namun, karena Sir Bobby datang pada 1999, Shearer urung pergi dan akhirnya pensiun di klub tersebut.
Itulah mengapa, menurut Mourinho, Sir Bobby adalah sosok yang takkan pernah mati. Kemurahan hatinya, kesabarannya, kehangatannya, dan kesempatan-kesempatan yang pernah dia berikan membuat Sir Bobby mampu meninggalkan warisan yang tak lekang dimakan waktu.
Bahkan, warisan Sir Bobby ini tidak cuma ada di sepak bola. Lewat Yayasan Sir Bobby Robson yang didirikan 16 bulan sebelum dia meninggal, Sir Bobby juga meninggalkan warisan di dunia kesehatan. Lewat dana lebih dari 12 juta poundsterling yang terkumpul dari sana, riset pengobatan kanker di Rumah Sakit Freeman, Newcastle upon Tyne, pun jadi salah satu yang terbaik di dunia.
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun silam Sir Bobby pamit undur diri. Akan tetapi, dia tidak pernah benar-benar pergi. Terlalu banyak yang sudah dia lakukan untuk menyebut dirinya sudah tiada. Selama sepak bola masih ada, selama rasa cinta itu belum hilang, selama itulah kenangan akan Sir Bobby akan terus terjaga.