Selhurst Park, Stadion Palace Itu, Menjadi 'Rumah' bagi Tunawisma

21 Januari 2019 9:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gerbang Selhurst Park Stadium. (Foto: REUTERS/Toby Melville)
zoom-in-whitePerbesar
Gerbang Selhurst Park Stadium. (Foto: REUTERS/Toby Melville)
ADVERTISEMENT
Keputusan Crystal Palace untuk menjadikan stadionnya, Selhurst Park, sebagai rumah singgah bagi para tunawisma mengingatkan orang-orang tentang apa artinya menjadi manusia.
ADVERTISEMENT
Albert Camus pernah menulis ini, judulnya 'La Peste'. Dalam terjemahan Bahasa Inggris plastisnya biasa disebut 'The Plague', sedangkan dalam Bahasa Indonesia orang-orang senang menyebutnya sebagai 'Sampar'. Novel yang rilis pada 1947 ini berkisah tentang Kota Oran, wilayah pesisir Aljazair, yang diserang bencana wabah penyakit.
Oran seketika berubah menjadi neraka karena satu per satu penduduknya terjangkit penyakit ini. Situasi makin mencekam karena belum ditemukan obat penyembuh dan penangkalnya. Khawatir dengan keadaan ini, pemerintah mengisolasi Oran. Artinya, tak ada satu orang pun yang bisa keluar dari Oran. Mereka terputus dari dunia luar.
Dari sini kita bisa memahami bahwa keterasingan yang lahir karena bencana atau penyakit menjadi kisah yang ingin diperdengarkan Camus. Maka, datanglah si penulis memperkenalkan salah tiga tokohnya: dokter Rieux, Rambert, Tarrou. Walaupun memiliki perbedaan profesi, ideologi, dan pengertian berbeda, pada akhirnya mereka bersepakat untuk bahu-membahu menyelamatkan orang-orang di Kota Oran. Mulai dari mencari serum untuk melawan penyakit hingga mengubah stadion menjadi rumah sakit darurat--semua dilakukan.
ADVERTISEMENT
Lewat penokohannya, Camus ingin berkata bahwa kehidupan mesti dihargai, bahwa segala ideologi dan etika yang membenarkan pembiaran kematian mesti ditolak. Bahwa sedapat-dapatnya hidup harus diupayakan.
Salah satu bagian Selhurst Park yang dijadikan 'shelter' saat cuaca buruk. (Foto: BEN STANSALL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu bagian Selhurst Park yang dijadikan 'shelter' saat cuaca buruk. (Foto: BEN STANSALL / AFP)
Ingatan akan 'Sampar', termasuk fragmen stadion sebagai tempat karantina orang-orang sakit, menyeruak begitu kabar soal keputusan Palace untuk menyediakan rumah singgah bagi para tunawisma terdengar.
Bila diperlakukan sebagai kata benda, maka diksi ‘rumah’ lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia bisa berarti penerimaan, kenyamanan, keamanan, kehangatan, cita-cita, harapan--apa pun yang membuat manusia hidup sebagai manusia. Barangkali berangkat dari pengertian inilah Palace setuju untuk membukakan pintu rumahnya bagi mereka yang tak punya tempat tinggal.
Selain tiga tokoh tadi, novel 'Sampar' menghadirkan tokoh Gonzales, seorang pemain sepak bola. Gonzales berubah rupa menjadi manusia paling kurang ajar di awal-awal penyakit tadi mewabah. Ia mencari keuntungan dari mereka yang takut dilahap kematian akibat penyakit. Namun, Gonzales memutuskan untuk menjadi relawan dan memilih stadion yang berubah fungsi sebagai karantina para pesakitan menjadi area operasinya.
ADVERTISEMENT
Di dalam stadion, Gonzales menemukan kemanusiaannya kembali. Dari dalam stadion, Gonzales bekerja sebisa mungkin untuk menjaga agar orang-orang tak berpisah dari kehidupan mereka.
Palace berubah menjadi Gonzales. Jika penyakit membuat Kota Oran terasing dari dunia luar, maka keterpisahan dari tempat tinggal membuat tunawisma terasing dari kemanusiaannya sendiri. Dengan membukakan pintu 'rumahnya', Palace mempertemukan sejumlah tunawisma dengan apa-apa yang membuat mereka tetap dapat hidup sebagai manusia.
Tindakan ini pada akhirnya membuktikan bahwa Palace bukan sekadar klub sepak bola yang sibuk memperjuangkan asa merengkuh kemenangan, bukan tentang orang-orang yang bertanding dari satu laga ke laga lain melulu.
"Kami gembira dapat berkolaborasi dengan Croydon Council dan rekan mereka untuk meyakinkan bahwa para tunawisma dapat menemukan rumah singgah darurat saat cuaca sedang tidak bersahabat, terutama bila kelewat dingin," seperti itu pernyataan CEO Palace, Phill Alexander.
ADVERTISEMENT
Lapangan di Selhurst Park Stadium. (Foto: GLYN KIRK / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Lapangan di Selhurst Park Stadium. (Foto: GLYN KIRK / AFP)
Aksi rumah singgah ini juga mendapat dukungan dari Croydon Council (semacam dewan kota administratif) karena Selhurst Park memang termasuk dalam wilayah administratifnya. Salah satu bentuk dukungannya terlihat saat stadion mesti digunakan untuk laga kandang. Bila situasinya seperti ini, maka untuk sementara tunawisma itu akan dipindahkan ke rumah singgah di area Croydon sehingga sepak bola bukan alasan untuk bersikap peduli setan dengan kehidupan orang lain.
"Suhu udara yang dingin, bahkan hampir membeku, menjadi salah satu penyebab kematian para tunawisma. Apa yang dilakukan Crystal Palace merupakan tindakan nyata yang dapat membantu mengurangi risiko kematian tersebut," jelas petinggi Croydon Coucil, Alison Butler, dilansir BBC.
Menurut laporan BBC, Selhurst Park dipakai sebagai tempat istirahat bagi 10 orang tunawisma. Tak cuma tempat tidur, klub juga memberikan makanan dan fasilitas MCK gratis kepada mereka. Pada Kamis (17/1/2019), ada delapan tunawisma yang menggunakan fasilitas gratis ini.
ADVERTISEMENT
Riset yang dilakukan lembaga yang berfokus pada penyediaan data tunawisma (Combined Homelessness and Information Network atau disingkat CHAIN) menyebut bahwa dalam kurun waktu Juli hingga November 2018, ada 3.103 tunawisma yang tidur di jalanan London.
Di atas kertas, jumlah yang 10 itu memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan 3.103 orang. Namun, memberikan tempat berlindung sama dengan menyelamatkan 10 orang dari risiko kematian akibat cuaca ekstrem. Dan bukankah nyawa manusia lebih dari hitung-hitungan matematis dan statistik?
Barangkali bagi Gonzales stadion tidak akan lagi bercerita tentang kemenangan, elu-elu, dan kegembiraan lainnya. Stadion menjadi tempat yang mendekatkannya dengan orang-orang yang meregang nyawa, yang tidak dapat bertahan hidup karena penyakit itu.
Suporter Crystal Palace jelang laga melawan Chelsea. (Foto:  Reuters/Paul Childs)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Crystal Palace jelang laga melawan Chelsea. (Foto: Reuters/Paul Childs)
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan Selhurst Park. Tempat itu tidak akan lagi hanya berkisah tentang kebanggaan dan aksi para pahlawan lapangan hijaunya. Sudut-sudutnya akan menampilkan fragmen kehidupan lain, barangkali dalam bentuknya yang paling miris.
Namun, itu bagi kita yang baik-baik saja. Untuk 10 tunawisma tadi, Selhurst Park adalah penanda bahwa masih ada orang lain yang mau merawat kehidupan mereka. Selhurst Park adalah bukti bahwa sepak bola tak pernah berjauh-jauhan dari manusia karena di stadion sepak bolalah mereka bertemu kembali dengan kemanusiaannya masing-masing.