Tentang Tembang Liga Champions yang Tersohor Itu

13 September 2017 13:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Liga Champions bergaung lagi. (Foto: Michaela Rehle/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Liga Champions bergaung lagi. (Foto: Michaela Rehle/Reuters)
ADVERTISEMENT
"Die Meister
Die Besten
Les grandes équipes
The champions"
ADVERTISEMENT
***
Hampir tak ada penggemar sepak bola —terutama yang fanatik— merasa asing dengan suara koor dengan akhiran lirik seperti itu. Suara koor itu terdengar saban dini hari waktu Indonesia, menemani para penggemar bola lokal yang siap begadang untuk menyaksikan kesebelasan-kesebelasan top Eropa berlaga. Namun, koor itu tak hanya sekadar ikonik di telinga para pencinta sepak bola Indonesia (dan juga seluruh dunia), tapi juga bagi para pemain top.
Paul Pogba, misalnya, pernah mengatakan jika dirinya merindukan lagu itu. Sama halnya dengan Gareth Bale yang membuatnya selalu ingin tampil di ajang paling bergengsi bagi klub-klub Eropa itu. Ya, tak lain dan tak bukan, bait-bait itu kami ambil dari tembang resmi Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Bagi beberapa orang, lagu tersebut membangkitkan sederet imajinasi. Dengan mendengarnya, terbayanglah sebuah adegan: euforia yang membahana, pemain yang berjejer di sisi lapangan, malam di daratan Eropa yang dingin, dan pekik pendukung yang dilontarkan sampai tenggorokan kering. Inilah malam Liga Champions, malam yang oleh banyak penggemar bola dianggap malam yang sakral.
Tembang resmi Liga Champions memang unik. Rangkaian koor paduan suara dalam tembang tersebut, yang dibalut dengan aransemen string yang mewah, tidak hanya menimbulkan kesan megah, tetapi juga klasik dan elegan.
Untuk banyak orang di Indonesia, bolehlah tembang disebut sebagai alarm untuk bangun pagi-pagi buta demi menyaksikan laga Liga Champions. Bagi banyak orang lainnya di dunia, anthem itu adalah pengingat bahwa turnamen antarklub Eropa itu sudah dimulai kembali dan saatnya menyaksikan kesebelasan-kesebelasan besar —dengan deretan pemain mahal mereka— saling baku hantam untuk memperebutkan trofi “Si Kuping Besar”.
ADVERTISEMENT
Tembang resmi Liga Champions itu juga boleh dibilang ikonik. Ia tak lekang oleh waktu, kendati diputar setiap saat selama 25 tahun lamanya.
Secara komposisi lirik, lagu Liga Champions tergolong unik. Mereka mencampurkan tiga bahasa, yakni Inggris, Jerman, dan Prancis. Secara garis besar, liriknya memiliki arti pertemuan dari tim-tim terbaik dari yang terbaik. Persis melambangkan Liga Champions yang merupakan panggung pertarungan para kesebelasan raksasa Eropa.
Tapi siapa yang mengira jika komposer lagu itu bukankah seorang penggemar sepak bola, melainkan seorang penyuka rugby. Namanya Tony Britten, seorang komposer berkebangsaan Inggris.
Di tahun 1992, UEFA memberi amanat kepada Britten untuk menggarap lagu bagi Liga Champions. UEFA terinsipirasi dari kesuksesan The Three Tenors dalam Piala Dunia 1990, di mana Luciano Pavarotti dan kawan-kawan dianggap sukses memasukkan musik klasik ke dalam ajang empat tahunan itu. UEFA juga menilai, The Three Tenors telah membuat sepak bola terlihat lebih elegan.
ADVERTISEMENT
Maka tak ayal jika tembang resmi Liga Champions kerap dibawakan langsung oleh penyanyi-penyanyi sekelas Andrea Bocelli ataupun Juan Diego Flores pada saat babak final. Sementara suara yang kerap Anda dengar di televisi itu adalah hasil rekaman Royal Philharmonic Orchestra dan dinyanyikan oleh Academy of Saint Martin di Fields Chorus.
Zadok the Priest gubahan Handel, yang awalnya digunakan untuk penobatan Raja George II, jadi inspirasi Britten. Dari situ saja sudah terlihat betapa sakralnya lagu tersebut bukan?
Jadi jangan heran jika para pemain selalu tampak khidmat saat lagu dilantunkan sebelum pertandingan, seolah-olah tembang tersebut adalah lagu kebangsaan mereka.