news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tiang Gawang dan Bagaimana Keberuntungan (Seharusnya) Diupayakan

15 Maret 2018 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ruediger usai sundulannya membentur tiang. (Foto: Reuters/Albert Gea)
zoom-in-whitePerbesar
Ruediger usai sundulannya membentur tiang. (Foto: Reuters/Albert Gea)
ADVERTISEMENT
Ole Gunnar Solskjaer suatu kali pernah berucap bahwa sesungguhnya tidak ada penyelamatan yang gemilang. Yang ada, lanjut Solskjaer, adalah penyelesaian akhir yang buruk.
ADVERTISEMENT
Bicara soal penyelesaian akhir, Solskjaer memang jagonya. Raihan golnya mungkin tidaklah sespektakuler penyerang-penyerang papan atas lain. Akan tetapi, bagi pria Norwegia itu, yang terpenting adalah soal efektivitas.
Seringkali Solskjaer tidak mendapat banyak kesempatan untuk mencetak gol. Dalam artian, menit yang bermain yang dia dapatkan tidak sebanyak pemain lain. Akan tetapi, di waktu yang tidak banyak itu, dia tetap mampu melaksanakan tugasnya sebagai penggedor jala lawan.
Dari apa yang ditunjukkannya di lapangan hijau, Solskjaer pun dijuluki The Babyface Assassin alias Si Pembunuh Berwajah Bayi. Ketika pemain dengan julukan demikian sudah berbicara soal mencetak gol, tak ada yang boleh meragukannya.
Namun, apa yang dikatakan Solskjaer itu tidak mencakup semua aspek dalam mencetak gol. Meski dalam proses penciptaan gol selalu ada si pencetak dan si pencegah --entah itu kiper maupun pemain lain--, ada satu sosok lain yang bermain di sana. Dia adalah Dewi Fortuna alias Dewi Keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Terkadang, ada hal-hal tak masuk di akal dalam proses penciptaan gol. Stan Collymore, misalnya, ketika memperkuat Liverpool pernah mencetak gol lewat tendangan pelan mendatar dari jarak jauh ke gawang Blackburn Rovers yang dikawal Tim Flowers. Logikanya, bola itu bakal mudah sekali diamankan Flowers yang merupakan kiper langganan Tim Nasional (Timnas) Inggris.
Faktanya, sebuah gundukan kecil di lapangan kemudian mengubah arah bola. Flowers pun hanya bisa terpana kala bola memantul dengan liar dan luput dari tangkapannya.
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, giliran Liverpool yang jadi korban keberadaan objek yang tidak seharusnya ada di lapangan. Sebuah bola pantai yang dilempar pendukung Sunderland di Stadium of Lights membuat tendangan Darren Bent berbelok arah. Padahal, sama seperti gol Collymore itu, kiper Liverpool, Pepe Reina, sudah bersiap mengantisipasinya. Namun, Dewi Fortuna berkata lain.
ADVERTISEMENT
Bicara soal Dewi Fortuna, berarti bicara soal mistar dan tiang gawang. Ada sebuah cerita menarik dari Edwin van der Sar soal ini. Kiper legendaris Timnas Belanda itu, pada Euro 2000 silam, pernah bersumpah bahwa dirinya melihat sesosok malaikat duduk di atas mistarnya. Entah yang dilihat Van der Sar itu Dewi Fortuna atau bukan, yang jelas rekoleksi sang kiper semakin menambah bumbu takhayul soal mistar gawang.
Sudah banyak cerita yang menyebutkan bagaimana mistar dan tiang gawang kerap menjadi altar ritual para pesepak bola, khususnya penjaga gawang. Di Indonesia, ada sebuah mitos mengenai praktik klenik yang dilakukan kala Timnas Indonesia berhadapan dengan Korea Selatan di Pra-Piala Dunia 1986.
Dalam laga leg pertama di Korea Selatan, anak-anak asuh Sinyo Aliandoe kalah 0-2 dari Taeguk Warriors. Pada pertemuan kedua di Jakarta, segala upaya pun coba dilakukan untuk memetik kemenangan atas Korsel, termasuk meletakkan pelbagai benda mistis di sekitaran gawang Hermansyah.
ADVERTISEMENT
Entah benar atau tidak cerita itu, yang jelas Indonesia gagal menang. Di Stadion Utama Senayan, Bambang Nurdiansyah cs. kalah 1-4. Akhirnya, meski tinggal selangkah lagi masuk Piala Dunia, pada akhirnya Meksiko '86 cuma tinggal di angan-angan saja bagi 'Skuat Garuda'.
Kisah Timnas Indonesia itu menunjukkan bahwa sebenarnya, tiang dan mistar gawang itu sebenarnya cuma benda mati yang tidak bisa mengubah nasib sebuah tim. Mau diapakan juga, ketika sebuah tim gagal mencegah lawan memasukkan bola ke gawangnya, mereka akan kalah. Maka dari itu, seharusnya bukan tiang dan mistar gawanglah yang diakali, melainkan permainan tim itu sendiri.
Namun, di sisi lain kisah itu juga menunjukkan bagaimana signifikansi tiang dan mistar gawang dalam sebuah pertandingan sepak bola. Meski cuma benda mati, mereka adalah sebuah garis batas yang menentukan apakah sebuah tim bisa mencapai tujuannya atau tidak. Gol, atau goal dalam bahasa Inggris, secara harfiah berarti tujuan. Ketika mencetak gol, sebuah tim berarti sudah mencapai tujuannya dalam bermain sepak bola.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, itulah pula mengapa tiang dan mistar gawang bisa menjadi 'aktor' antagonis yang begitu menyebalkan. Tanya saja Antonio Conte yang harus rela menyaksikan timnya, Chelsea, membobol gawang Barcelona sebanyak lima kali karena empat peluang yang didapatkan timnya digagalkan tiang dan mistar gawang.
Ketika sebuah peluang mengenai tiang dan mistar gawang, artinya dari peluang tersebut sebuah tim sudah berhasil menaklukkan penjaga gawang. Namun, karena satu dan lain hal, gol tidak tercipta lantaran digagalkan garis batas itu tadi. Ketika hal itu terjadi, sebuah gol jadi terasa dekat, meski sebenarnya jauh sekali.
Itulah mengapa, dalam kamus istilah orang Inggris, ada istilah agonizingly close. Saking dekatnya dengan tujuan, sebuah kegagalan bisa jadi begitu menyakitkan (agonizing). Rasa sakit itulah yang dialami oleh Conte, Willian Borges, Marcos Alonso, Antonio Ruediger, dan jiwa-jiwa lain sebelum serta sesudah mereka kelak.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam kasus-kasus lain, bola yang membentur tiang bisa punya arti berbeda. Untuk Lionel Messi, misalnya, tiang gawang justru sebenarnya bisa dilihat sebagai bukti bahwa dia jauh lebih hebat dari apa yang statistiknya kini katakan.
Di kompetisi resmi, Messi saat ini tercatat sudah mengemas 34 gol. Namun, pemain berjuluk La Pulga ini juga cukup akrab berkawan dengan tiang dan mistar gawang. Total sudah 13 kali upayanya digagalkan garis batas keberhasilan itu. Apabila memang Dewi Fortuna lebih berpihak lagi kepadanya, raihan golnya sudah mencapai hampir kepala lima.
Namun, itu semua tetap harus dikembalikan ke pernyataan Solskjaer tadi. Tidak ada penyelamatan baik, yang ada penyelesaian akhir yang buruk. Dalam kasus Messi, catatan 13 kali upayanya membentur tiang/mistar itu bisa diartikan bahwa dalam 13 kesempatan itu, Messi melakukan penyelesaian akhir dengan buruk. Tidak kurang dan tidak lebih.
ADVERTISEMENT
Tendangan bebas Marcos Alonso membentur tiang. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Tendangan bebas Marcos Alonso membentur tiang. (Foto: Reuters/Lee Smith)
Di sisi lain, angka milik Messi itu juga menunjukkan hal lain. Yakni, bahwa sesungguhnya Dewi Fortuna bisa diajak berkompromi. Dengan kata lain, keberuntungan itu bisa diusahakan. Kalau dengan 13 penyelesaian buruk saja Messi masih bisa mencetak 34 gol --terbanyak di Eropa--, berarti sebenarnya Messi sudah mampu merangkul Dewi Fortuna.
Pada akhirnya, keberuntungan bukanlah perkara takdir semata. Ada hal-hal lain yang harus diupayakan supaya keberuntungan itu bisa dibelokkan. Ada hal-hal lain, seperti determinasi, ketenangan, dan lain sebagainya, yang bisa membuat tiang/mistar gawang tak lagi menjadi musuh, melainkan semata-mata sebagai pembatas antara mereka yang menang dan mereka yang jadi pecundang. Dan hal-hal itu, tentu saja, harus diusahakan sendiri.