Tidak Sekali ini Saja Tifosi Cagliari Lakukan Pelecehan Rasial

4 April 2019 15:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Giorgio Chiellini menenangkan Blaise Matuidi yang marah karena Moise Kean dilecehkan. Foto: AFP/Marco Bertorello
zoom-in-whitePerbesar
Giorgio Chiellini menenangkan Blaise Matuidi yang marah karena Moise Kean dilecehkan. Foto: AFP/Marco Bertorello
ADVERTISEMENT
Moise Kean datang ke Sardinia dengan satu tujuan. Yakni, membuktikan bahwa dia memang layak dipercaya di lini depan Juventus. Pertandingan melawan Cagliari di Sardegna Arena, Rabu (3/4/2019) dini hari WIB, merupakan kesempatan kedua pemuda 19 tahun tersebut tampil sebagai starter di Serie A musim ini. Pada kesempatan sebelumnya, pada pertandingan kontra Udinese, Kean sukses membayar kepercayaan itu dengan mencetak dua gol.
ADVERTISEMENT
Laga melawan Udinese itu dihelat di Allianz Stadium, Turin. Melawan Cagliari, Kean membuktikan bahwa dia tak cuma jago kandang karena satu gol berhasil dia ciptakan di situ. Makin sah saja untuk menyebut Kean sebagai salah satu prospek sepak bola terbaik Italia.
Namun, yang akhirnya jadi cerita justru bukan keganasan Kean di depan gawang lawan, melainkan cemoohan rasial yang dia terima sepanjang laga. Kean akhirnya membalas perilaku itu dengan melakukan selebrasi konfrontatif di depan para tifosi tuan rumah.
Pada pertandingan Serie A pekan ke-30 itu Kean menjadi korban aksi kejahatan dari para bandit kambuhan. Bukan kali ini saja suporter Cagliari melakukan pelecehan rasial terhadap pemain lawan yang berkulit hitam. Blaise Matuidi, yang sepanjang laga juga disama-samakan dengan monyet, tahun lalu sudah mengalami kejadian serupa.
ADVERTISEMENT
"Manusia-manusia cemen mencoba mengintimidasiku dengan kebencian. Aku bukan seorang pembenci dan aku merasa kasihan kepada mereka yang memberi contoh buruk," tulis Matuidi di Facebook-nya usai laga melawan Cagliari, Januari 2018.
Apa yang terjadi pada Matuidi tersebut sebenarnya sudah menarik perhatian secara masif. Cagliari pun akhirnya meminta maaf atas peristiwa tersebut. Akan tetapi, pada kejadian yang menimpa Kean, Cagliari justru menunjukkan sikap berbeda. Presiden klub, Tommaso Giulini, menyanggah telah ada aksi pelecehan rasial terhadap pemain Timnas Italia tersebut. Dia mengaku cuma mendengar cemoohan dan siulan biasa.
"Kalau Bernardeschi melakukan selebrasi seperti itu, dia juga akan dihina," kata Giulini kepada Sky Italia.
Inkonsistensi Cagliari ini menunjukkan bahwa sebenarnya belum ada itikad baik dari mereka. Buktinya, kasus Kean dan Matuidi ini cuma kisah lawas yang disampaikan kepada orang baru. Pada 2017 gelandang Pescara, Sulley Ali Muntari, memilih minggat dari lapangan usai menjadi korban cemoohan rasial suporter Cagliari.
ADVERTISEMENT
Soal ini, Giulini yang menjadi presiden Cagliari sejak 2014 itu menolak anggapan bahwa suporter Gli Isolani adalah orang-orang rasis. "Kami bukan rasis. Kupikir aku tidak seharusnya mengingatkan soal hal itu lagi. Aku meminta maaf atas apa yang terjadi pada Muntari meskipun itu hanya dilakukan oleh belasan orang," kata Giulini kepada Mediaset Premium ketika itu.
Tujuh tahun sebelum kejadian Muntari, suporter Cagliari juga sudah pernah mendapat sorotan tajam dengan pelecehan rasial yang mereka tujukan kepada pemain Internazionale, Samuel Eto'o. Sepanjang laga Eto'o dilecehkan dan dia membalas perlakuan itu dengan mencetak gol solo run. Cagliari sendiri didenda 25 ribu euro atas insiden tersebut.
Maraknya rasialisme di Cagliari ini sebenarnya antara aneh dan wajar. Menjadi wajar karena Sardinia, pulau tempat kota itu berada, merupakan wilayah yang begitu mengagungkan keberhasilan membantai orang-orang Magribi. Sardinia dulu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Aragon dan pada masa itu mereka kerap terlibat perang dengan orang-orang Afrika Utara. Kemenangan Raja Pietro I di Alcoraz pada 1096 diabadikan lewat bendera Sardinia yang menggambarkan penggalan kepala empat bangsawan Magribi.
ADVERTISEMENT
Bendera Sardinia dengan gambar penggalan kepala empat bangsawan Magribi. Foto: Wikipedia
Namun, maraknya rasialisme di Sardinia juga menjadi aneh karena di pulau itu salah satu festival anti-rasialisme terbesar diselenggarakan. Menyusul merebaknya gerakan White Christmas —yang bertujuan untuk menyingkirkan imigran dari Italia, kota Sassari menyelenggarakan selebrasi kebinekaan bertajuk Black and White Christmas. Di situ mereka berpesta dengan iringan lagu religius Eropa dan Afrika.
Meski demikian, masalah rasialisme ini bukan cuma masalah Cagliari. Juventus pun, yang seharusnya berempati kepada Kean, justru ikut-ikutan menjadi pihak antagonis lewat Leonardo Bonucci. Mantan wakil kapten Juventus itu melakukan victim blaming dengan berkata Kean seharusnya tidak memprovokasi suporter Cagliari.
Ini artinya, pekerjaan mengenyahkan rasialisme masih membutuhkan kerja ekstra keras. Borussia Dortmund, dengan edukasi suporter yang dilakukan bersama kelompok ultras-nya, bisa menjadi contoh dalam memerangi penyakit tersebut. Pertanyaannya, maukah orang-orang di Italia meneladani itu?
ADVERTISEMENT