Transisi Bermain, Pembeda 4-4-2 dan 3-4-3 Timnas Indonesia

18 Juni 2019 21:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi pemain timnas Indonesia usai mencetak gol ke gawang Vanuatu saat pertandingan persahabatan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (15/6). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi pemain timnas Indonesia usai mencetak gol ke gawang Vanuatu saat pertandingan persahabatan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (15/6). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Empat pemain di lini pertahanan, yakni Yustinus Pae, Yanto Basna, Hansamu Yama, dan Ricky Fajrin, berdiri di depan Andritany Ardhyasa yang mengawal gawang Timnas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di lini tengah, ada Andik Vermansah, Evan Dimas, Zulfiandi, serta Riko Simanjuntak. Lini depan diisi oleh duet Alberto 'Beto' Goncalves dan Irfan Bachdim.
Ya, itu skema 4-4-2 yang digunakan pelatih Simon McMenemy kala mengalahkan Vanuatu 6-0 pada uji tanding di Stadion Gelora Bung Karno, Sabtu (15/6/2019).
Menariknya, skema ini tidak menjadi pilihan McMenemy kala bertanding melawan Myanmar dan Yordania. McMenemy menurunkan pasukannya dalam formasi dasar 3-4-3.
Berkaca dari hasilnya, Timnas Indonesia tampak lebih efektif ketika bertanding dengan 4-4-2. Buktinya, saat melawan Myanmar, Timnas 'cuma' menang 2-0. Sementara, kekalahan 1-4 didapat dari Yordania.
Hanya, mengambil kesimpulan dari hasil akhir semata tidak bisa disebut relevan. Apalagi lawan yang dihadapi Indonesia kala menggunakan 4-4-2 adalah Vanuatu. Tim yang secara kualitas serta peringkat FIFA (163) berada di bawah Myanmar (138) dan Yordania (98).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, memang ada sejumlah perbedaan mendasar mengenai dua sistem tersebut saat digunakan Timnas. kumparanBOLA mengulasnya.
Transisi Permainan hingga Keberadaan Zulfiandi
Dari pendekatan bermain, tak ada perbedaan berarti yang ditunjukkan Timnas kala menggunakan skema 4-4-2 dan 3-4-3. Umpan pendek menjadi andalan dalam mengalirkan bola dengan sisi sayap sebagai kunci. Bahkan, jumlah pemain sayap juga sama, dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan.
Nah, yang membedakan adalah transisi bermain, terutama dari menyerang ke bertahan.
Sebetulnya, membandingkan hal ini pun kurang pas. Sekali lagi, kualitas tim-tim yang dihadapi berbeda. Namun, mesti diakui bahwa perbedaan transisi bermain memang menjadi hal yang paling menonjol dalam tiga laga tersebut.
Saat melawan Yordania saja, misalnya. kumparanBOLA mencatat ada tiga momen saat pertahanan Timnas berada dalam situasi berbahaya lantaran transisi dari menyerang ke bertahan yang buruk. Ambil contoh proses terjadinya gol kedua Yordania. Ketika itu, seorang pemain kehilangan bola di area lapangan Yordania karena pressing ketat lawan.
ADVERTISEMENT
Situasi ini pun dimanfaatkan oleh Hamdouni lewat solo run sederhana hingga, sialnya, tinggal berhadapan langsung dengan Yanto Basna di depan kotak penalti. Ia lantas mengelabui Yanto lewat sekali tekukan sebelum menaklukkan Andritany lewat sepakan terarah.
Saat melawan Myanmar, masalah transisi juga beberapa kali terjadi kendati tak sering. Pada pertengahan babak kedua, misalnya. Mereka mendapat kesempatan untuk menyerang balik melalui sisi sayap.
Saat itu, lini belakang Timnas hanya menyisakan dua pemain. Beruntung, kesempatan tersebut tak mampu dimanfaatkan lantaran dihalau oleh Manahati Lestusen. Gawang Timnas terselamatkan.
Salah satu penyebab banyaknya momen berbahaya yang berasal dari situasi tersebut adalah jarak antarlini, terutama dua gelandang dengan tiga bek tengah, yang tampak amat renggang. Alhasil, para pemain lawan bisa langsung berhadapan dengan bek tiap kali bertahan setelah baru saja menyerang.
ADVERTISEMENT
Pergerakan dua bek sayap yang sering kali terlalu maju juga menjadi penyebab situasi ini. Tiap kali mesti beralih dari situasi menyerang ke bertahan, mereka kerap telat mundur ke belakang.
Dalam skema tiga bek tengah, keadaan semacam ini memang menjadi kelemahan utama. Penyebabnya adalah dua wing-back yang perannya benar-benar harus seimbang antara bertahan dan menyerang sehingga fokus memang kerap terbelah. Terlebih jika pemain tersebut tak terbiasa dengan skema itu serta tak memiliki stamina yang baik.
Soal ini, Antonio Conte pada Piala Eropa 2012 pernah berujar serupa. Ia menyebut bahwa Timnas Italia tak akan mampu melaju ke babak final jika tak memiliki gelandang serupa Andrea Pirlo, serta dua bek sayap yang mampu dengan seimbang menyerang dan bertahan.
ADVERTISEMENT
Nah, pada laga melawan Vanuatu, hal semacam itu tak terjadi. Transisi bermain Indonesia, baik dari menyerang ke bertahan maupun sebaliknya terbilang baik.
Tentu saja, kualitas tim Vanuatu yang tak sebaik Myanmar dan Yordania menjadi dasarnya. Namun, di luar itu, pergerakan para pemain dalam pakem 4-4-2, terutama yang beroperasi di sisi sayap, turut memengaruhi.
Dalam skema itu, fokus utama dua bek sayap adalah bertahan. Mereka baru naik ke depan dalam keadaan-keadaan tertentu saja.
Itu pun sebagian besar dilakukan saat dua gelandang sayap berada di dekat mereka. Akibatnya, kalaupun kehilangan bola, ada yang siap mengover.
Apa yang terjadi pada menit ke-24 adalah salah satu contohnya. Saat itu, Ricky Fajrin kehilangan bola di sisi kiri permainan Timnas hingga berhasil dikuasai pemain Vanuatu.
ADVERTISEMENT
Andik yang berada di dekat kejadian tersebut langsung menutup ruang gerak pemain bersangkutan. Tak berhasil direbut kembali memang. Pemain Vanuatu bahkan mampu mengalirkan bola hingga ke depan kotak penalti.
Namun, usaha Andik menutup bola itu membuat Ricky Fajrin dan beberapa pemain lain memiliki waktu yang cukup untuk mundur ke belakang. Meski pemain Vanuatu pada akhirnya tetap mampu menembak ke gawang Andritany, jarak pandang dan ruang geraknya agak tertutup sehingga tak bisa menyepak dengan leluasa.
Hal lain yang menjadi pembeda adalah keberadaan Zulfiandi yang baru kali ini turun sejak menit awal. Tak seperti Rizky Pellu yang mobile dan agresif, Zulfiandi cenderung statis di lini tengah. Ia tak banyak bergerak.
Di satu sisi, tipe permainan itu sesekali membuat Timnas kekurangan pemain saat melancarkan serangan. Untungnya, Irfan Bachdim dan Andik cukup mobile sehingga ada banyak opsi bagi para pemain lain untuk memberikan operan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, model permainan seperti itu menjadi keuntungan saat bertahan. Statisnya posisi mantan pemain Sriwijaya FC tersebut kerap membantu pertahanan Timnas dalam situasi serangan balik. Serangan-serangan yang tadinya tampak berbahaya, berhasil dipatahkan atau setidaknya dinetralisasi.
Momen saat Ricky Fajrin kehilangan bola seperti yang diilustrasikan sebelumnya juga menjadi salah satu contoh pentingnya keberadaan Zulfiandi. Saat itu, ia adalah satu dari sedikit pemain Timnas yang posisinya tak melewati garis tengah lapangan.
***
Kendati ada perbedaan yang terlihat menyoal skema 3-4-3 dan 4-4-2, pada akhirnya kesimpulan tak bisa benar-benar diambil. Menilai apakah skema yang pertama lebih baik dari yang kedua atau pun sebaliknya juga demikian.
Penyebabnya, ya, itu tadi, jurang kualitas antara lawan-lawan yang dihadapi terbilang jauh. Terlebih, ini baru membandingkan salah satu aspek, yakni transisi bermain.
ADVERTISEMENT