Ujian CEO BPL: Diimingi Mobil Mewah demi Juara Settingan

4 Februari 2019 18:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO Bandung Premier League, Doni Setiabudi alias Jalu. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
CEO Bandung Premier League, Doni Setiabudi alias Jalu. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Remuk redam. Diksi yang sepertinya tepat dialamatkan kepada kondisi pesepak bolaan Indonesia saat ini. Terungkapnya kasus match fixing dan match setting di kompetisi Tanah Air menjadi musababnya. Sepak bola yang sejatinya menjunjung tinggi azas fair play, kini berubah bak panggung sandiwara. Yang tersisa adalah kecurigaan. Curiga bahwa setiap laga sudah ditentukan pemenangnya, bahkan telah diatur skornya. Celakanya, lobi-lobi di balik meja itu tak hanya merambah di liga profesional, melainkan sudah sampai ke tingkatan amatir. Pengalaman itu dirasakan langsung oleh CEO Bandung Premier League (BPL), Doni Setiabudi. Dalam perbincangan dengan kumparanBOLA di Jakarta, pria yang akrab disapa Jalu ini mengisahkan bahwa dirinya pernah coba disuap oleh sejumlah tim peserta BPL. Miris, bukan?
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, BPL yang merupakan kompetisi level komunitas, sudah disusupi oleh perilaku kotor tersebut. Tak tanggung-tanggung, Jalu mengaku sempat ditawari uang puluhan jutaan rupiah hingga mobil mewah. “Di BPL itu ada regulasi yang mengatakan setiap tim tidak boleh memainkan pemain eks profesional lebih dari 3 orang. Apabila ada tim yang memainkan lebih dari jumlah itu maka akan dikurangi 9 poin plus denda Rp 5 juta. Dan, ada tim yang ketahuan. Kejadiannya di musim pertama BPL,” ujar Jalu membuka perbincangan. Terkait hal itu, operator BPL pun mengadakan rapat dan memutuskan bahwa tim tersebut dikenai denda sesuai yang tercantum di regulasi--yang sudah disebarluaskan kepada setiap peserta. Akan tetapi, pengurus klub itu mencoba jalan belakang dengan berusaha melobi Jalu secara langsung. “Dia minta pengurangan poin hilang, dendanya mau dikali 10 (Rp 50 juta). Saya cuma bilang, ‘Anda kan tahu saya, saya orangnya enggak bisa dibeli dengan uang. Kecuali mau kasih Rp 9 triliun, saya terima’. Saya bilang aja begitu, karena saya tahu tim amatir enggak bakal punya uang segitu hehehe...” katanya.
ADVERTISEMENT
Hal lebih gila terjadi ketika BPL memasuki musim kedua, yang saat ini tengah berjalan. Jalu mengaku pernah ditawari mobil mewah berharga ratusan juta rupiah oleh salah satu pengurus tim di Liga 1 BPL. Hal itu dilakukan demi membuat timnya juara pada musim ini. “Ada satu tim di musim ini, dia nawarin saya mobil kalau bisa jadikan timnya juara. Itu saya di WA sama manajernya, dikasih foto mobilnya, mau dikasih mobil asal timnya juara. Saya enggak tahu apa maksudnya, bercanda apa coba-coba, saya bisa disuap atau enggak. Saya enggak tahu, Yang pasti saya tetap enggak akan bisa dibeli dengan uang. Saya pegang teguh regulasi,” tegasnya.
Bagi Jalu, regulasi sangat krusial dalam menjalankan sebuah kompetisi. Jika operator mencoba untuk berkompromi atau mengakali regulasi, maka kehancuran dari kompetisi itu pun sudah menunggu di depan mata. Menurutnya, sekecil apa pun regulasi itu sudah sepatutnya bisa dipegang teguh oleh operator kompetisi. Ia mencontohkan bahwa pada bursa transfer musim ini, ada tim yang telat mendaftarkan pemainnya hanya 3 menit dari tenggat waktu yang telah ditetapkan. Pihak operator BPL pun dengan tegas menolaknya.
ADVERTISEMENT
Kejadian lain yakni ketika seorang pemain BPL dilarang bermain karena logo di jersinya lepas. Begitu juga dengan pemain yang mengenakan kaos kaki berbeda. Tangan besi pun diberlakukan bagi wasit yang dinilai tak tegas dalam mengambil keputusan. Jalu mengisahkan saat itu ada wasit yang terlihat ragu-ragu memberikan kartu merah. Ia menyaksikan sendiri bahwa wasit tersebut sudah hendak memberikan pemain kartu merah, tetapi karena mendapatkan protes, akhirnya ia mengurungkan hal tersebut. Alhasil, setelah melalui rapat, wasit itu diparkir selama 12 pekan. “Kalau saya enggak patokan sama regulasi, terus saya mau patokan ke mana lagi? Saya bisa saja ambil uang itu, tapi begitu itu saya ambil, selesailah BPL. Bubar,” ucapnya. “Saya lihat sebuah liga itu kuncinya ada di operator. Kalau operatornya mata duitan, gampang dirayu dengan materi, ya susah. Kalau kita enggak saklek dengan regulasi enggak akan bisa. Karena ‘kan sudah kita sepakati. Kuncinya ada di regulasi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jalu menyatakan, pihaknya memiliki cara tersendiri untuk mengatasi match setting di BPL--yang peluangnya semakin besar terjadi menjelang akhir kompetisi. Caranya adalah dengan membagikan jadwal kepada peserta hanya untuk satu atau dua pekan ke depan. “Mulai pekan kesembilan, kami berikan jadwal enggak langsung (sampai akhir kompetisi). Kami keluarin dulu dua pekan, kenapa? Supaya tidak terjadi kondisi tim bawah akan ketemu tim atas yang sudah aman di partai terakhir. Jadi, kami buat tim bawah ketemu dengan bawah dan tim atas ketemu lawan di tim atas, supaya mereka enggak punya kepentingan. Itu salah satu cara kami,” pungkasnya.