Umpatan yang Hilang di Old Trafford

31 Juli 2018 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spanduk anti-Glazer di Old Trafford. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Spanduk anti-Glazer di Old Trafford. (Foto: AFP/Andrew Yates)
ADVERTISEMENT
Old Trafford bergemuruh malam itu. Bukan cuma karena tim empunya stadion, Manchester United, baru saja berhasil menghajar tamunya, Milan, empat gol tanpa balas, tetapi juga karena ada sesosok legenda yang pulang.
ADVERTISEMENT
David Beckham nama legenda itu. Hari itu dia tak lagi bermain untuk Manchester United. Bahkan, sudah tujuh tahun dia pergi meninggalkan rumah tempat dirinya dibesarkan. Namun, mereka yang datang ke Old Trafford tidak lupa bahwa Beckham adalah salah satu dari mereka dan kedatangannya, dalam balutan kostum apa pun, bakal selalu dinanti.
Sudah banyak perubahan dalam diri Beckham. Rambutnya lebih pendek dari yang biasa disaksikan para suporter Manchester United dulu. Tatonya pun sudah jauh lebih banyak. Wajahnya juga terlihat sedikit lebih tua. Tetapi, rasa cintanya untuk United belum luntur. Sama sekali belum.
Setelah laga berakhir, Beckham tak langsung kembali ke ruang ganti. Mendengar tepuk tangan yang membahana di seluruh penjuru arena, Beckham memilih untuk tinggal sejenak, membalas apa yang dilakukan para pencintanya. Setelah itu, barulah Beckham berjalan pelan.
ADVERTISEMENT
Saat berjalan, Beckham mendapati sebuah syal tergeletak begitu saja di tanah. Tanpa pikir panjang, pria kelahiran Leytonstone itu memungutnya, lalu menyampirkannya di leher. Momen itulah yang akhirnya jadi lebih besar dari kemenangan United atas Milan itu sendiri.
Syal yang dipungut Beckham itu bukan syal biasa. Warnanya cukup asing untuk bisa berada di kandang milik Manchester United yang senantiasa didominasi warna merah, hitam, maupun putih. Namun, Beckham tahu bahwa syal itu sebenarnya punya ikatan kuat dengan para suporter The Red Devils. Dengan warna kuning dan hijau, syal tersebut merupakan simbol asal usul Manchester United tatkala masih bernama Newton Heath.
Pada masa-masa Beckham kembali ke Old Trafford itu, syal kuning-hijau punya arti spesial. Bagi para suporter United, syal itu bukan cuma hiasan, melainkan sebuah pengingat bahwa ada suatu masa di mana klub kebanggaan mereka itu pernah memiliki jiwa. Ia merupakan wujud penentangan terhadap intervensi berlebih kapitalisme dalam klub. Syal itu adalah simbol perlawanan terhadap Keluarga Glazer.
ADVERTISEMENT
***
Kepergian Beckham dari Old Trafford terjadi lewat cara yang tidak mengenakkan. Hubungannya dengan Sir Alex Ferguson merenggang karena kabarnya, manajer asal Skotlandia itu tidak merestui keterlibatan Beckham dalam dunia industri hiburan. Bagi Ferguson, seorang pesepak bola haruslah cuma fokus pada sepak bola dan menurutnya, Beckham sudah tak lagi fokus pada olahraga yang membesarkan namanya itu.
Masalah demi masalah terjadi. Sampai akhirnya, insiden sepatu itu terjadi pada pengujung musim 2002/03. Menyusul kekalahan dari Arsenal di final Piala FA, Ferguson murka. Beckham yang dianggapnya bermain buruk itu diajak bicara empat mata. Akan tetapi, urusan tidak selesai sampai di situ. Sebab, setelah selesai bicara Ferguson melampiaskan sisa amarahnya dengan menendang tumpukan baju di ruang ganti.
ADVERTISEMENT
Celakalah Beckham karena di bawah tumpukan itu terdapat sepasang sepatu entah milik siapa. Satu dari dua sepatu itu tertendang oleh Ferguson dan melayang persis ke pelipis Beckham. Luka itu pada akhirnya sampai ke mata publik dan spekulasi pun terus berkembang soal kepindahan Beckham.
Dan benar saja. Tak lama setelah itu Beckham benar-benar hijrah. Real Madrid jadi tujuan suami Victoria Adams itu dan setelahnya Beckham tidak pernah lagi kembali ke United sampai tujuh tahun kemudian.
Koran-koran Inggris ketika Beckham dijual ke Real Madrid. (Foto: AFP/Odd Andersen)
zoom-in-whitePerbesar
Koran-koran Inggris ketika Beckham dijual ke Real Madrid. (Foto: AFP/Odd Andersen)
Kepindahan Beckham itu adalah akhir dari sebuah era, sekaligus penanda sebagai munculnya era baru. Hanya selang beberapa saat setelah Beckham pergi, United mendapatkan megabintang mereka selanjutnya dalam diri Cristiano Ronaldo. Akhirnya, setelah enam tahun diasuh oleh United, Ronaldo pun jatuh ke pelukan Real Madrid.
ADVERTISEMENT
Namun, era baru yang dimaksud tak cuma soal era pemain bintang di lapangan. Di balik layar, sebuah perubahan pun terjadi meski secara diam-diam.
Perubahan itu, lagi-lagi berawal dari Ferguson. Pria kelahiran Govan, 31 Desember 1941, itu terlibat perseteruan dengan dua pemilik saham mayoritas di Manchester United, John Magnier dan J. P. McManus, terkait kepemilikan kuda pacu Rock of Gibraltar. Masalah itu kemudian berujung pada upaya dari dua pengusaha Irlandia itu untuk menyingkirkan Ferguson dari kursi manajerial United.
Dewan direksi United pun tak tinggal diam. Untuk melawan pengaruh Magnier dan McManus, serta mempertahankan Ferguson sebagai manajer, mereka melakukan sebuah langkah yang agak ekstrem. Yakni, dengan membuka diri terhadap kehadiran investor baru.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, datanglah kemudian Keluarga Glazer yang dipimpin sang ayah, Malcolm. Bersama dua anaknya, Joel dan Avram, Malcolm membeli 2,9% saham United dengan nilai 9 juta poundsterling lewat sebuah holding company bernama Red Football. Pembelian ini memang merupakan langkah ekspansif yang mereka ambil usai tim NFL mereka, Tampa Bay Buccaneers, menjuarai Super Bowl edisi 2003.
Dari sini, pengaruh Keluarga Glazer terus menyebar bak sel kanker yang dibiarkan hidup tanpa kemoterapi. Hanya selang dua tahun setelah membeli saham pertamanya, Keluarga Glazer melakukan pengambilalihan paksa. Celakanya, uang yang digunakan untuk mengambilalih United itu sebenarnya bukan milik Keluarga Glazer sendiri, melainkan hasil berutang dari Deutshce Bank dan JP Morgan.
Joel (kiri) dan Avram Glazer. (Foto: AFP/Oli Scarff)
zoom-in-whitePerbesar
Joel (kiri) dan Avram Glazer. (Foto: AFP/Oli Scarff)
Sebelum United menjadi milik Keluarga Glazer, klub kelahiran 1878 itu sudah tak pernah lagi memiliki utang. Tiba-tiba, dengan berpindah tangannya klub ke tangan Keluarga Glazer, Manchester United memiliki utang sebesar 790 juta poundsterling.
ADVERTISEMENT
Pengambilalihan United itu mendapat tentangan dari banyak pihak, terutama kelompok suporter yang kemudian tergabung dalam MUST (Manchester United Supporters Trust). CEO United kala itu, David Gill, juga awalnya menentang pengambilalihan itu, pun demikian dengan Ferguson. Akan tetapi, belakangan Gill dan Ferguson justru punya hubungan cukup mesra dengan Keluarga Glazer. Para suporter mencurigai bahwa kedua orang penting itu sengaja disuap agar tutup mulut.
Protes pun dikumandangkan. Para suporter melakukan ini lewat berbagai cara yang mereka tahu. Akan tetapi, upaya itu akhirnya sia-sia. Manchester United tetapp jatuh dalam cengkeraman Keluarga Glazer karena para pemegang saham memilih untuk melepas hak miliknya.
Mereka yang betul-betul kecewa pada akhirnya berhenti untuk menjadi suporter Manchester United sepenuhnya. Para suporter tersebut memilih untuk mendirikan sebuah klub baru bernama FC United of Manchester. Mereka rela mendukung klub yang harus memulai dari nol ketimbang harus berurusan dengan Keluarga Glazer.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sebagian yang lain memilih cara protesnya masing-masing. Mereka yang masih mau datang ke Old Trafford memilih untuk mengenakan syal hijau-kuning, menyuarakan nyanyian anti-Glazer, sampai mengumandangkan slogan 'Love United Hate Glazer'. Sebagian yang lain memilih untuk absen dari stadion dan menonton di pub terdekat.
Para suporter memang jadi korban dalam proses pengambilalihan itu. Sebab, setelah itu Keluarga Glazer mengomersialisasi Manchester United secara besar-besaran.
David Beckham dengan syal ala Newton Heath. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
David Beckham dengan syal ala Newton Heath. (Foto: AFP/Andrew Yates)
Memang benar bahwa United sudah mengenyahkan embel-embel 'Football Club' dari logo mereka sejak 1999 demi komersialisasi, tetapi di bawah Keluarga Glazer semua jadi begitu banal. Bahkan, United terkesan jadi klub murahan dalam menerima tawaran sponsor. Ini belum termasuk bagaimana harga tiket musiman terus dinaikkan dan pada kasus tertentu, ada semacam pemaksaan untuk membeli tiket lewat sistem auto-debit rekening.
ADVERTISEMENT
Para suporter barangkali masih akan bisa lebih menerima komersialisasi itu seandainya uang yang ada digunakan untuk memperkuat serta meremajakan skuat. Akan tetapi, kenyataannya tak bisa lebih jauh dari itu. Pada 2015 lalu, lewat hasil hitung-hitungan seorang akuntan bernama Andy Green, MUST mengumumkan bahwa selama sepuluh tahun menjadi pemilik United, Keluarga Glazer sudah mengantongi uang sebesar 1 miliar poundsterling.
Klaim ini tentu saja masih bisa dibantah, tetapi jika para suporter menganggap Keluarga Glazer tidak serius dalam mengurusi Manchester United dalam hal prestasi, mereka sama sekali tidak salah. Salah satu bukti paling konyol adalah bagaimana United memilih untuk menginvestasikan uang penjualan Ronaldo pada 2009 untuk membeli empat pemain semenjana: Antonio Valencia, Michael Owen, Gabriel Obertan, dan Mame Diouf.
ADVERTISEMENT
Selain masalah investasi pemain, pengurangan nilai utang United juga terasa seperti berjalan di tempat dalam lima tahun pertama. Buktinya, pada 2010 lalu, utang United masih berada di angka 716 juta pounds. Ini masih belum menghitung bagaimana sepanjang sejarah kepemilikannya, Keluarga Glazer hanya mau berbicara satu kali kepada publik. Itu pun lewat MUTV dan dilakukan tak lama setelah pengambilalihan selesai.
Inilah mengapa, upaya untuk merebut United dari tangan Glazer terus dilakukan. Sampai kini, MUST pimpinan Duncan Drasdo masih mengumpulkan dana yang mereka sebut sebagai 'Dana Phoenix' untuk menyingkirkan Joel dan Avram Glazer.
Upaya untuk menyingkirkan Keluarga Glazer ini sebenarnya hampir berhasil ketika muncul sebuah kelompok bernama Red Knights yang berisikan suporter United dari kalangan berada. Pada 2010, Red Knights berupaya membeli United dari tangan Keluarga Glazer tetapi gagal karena tak mampu memenuhi harga yang diminta.
ADVERTISEMENT
Spanduk anti-Glazer di Old Trafford. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Spanduk anti-Glazer di Old Trafford. (Foto: AFP/Andrew Yates)
Salah satu anggota Red Knights itu adalah Richard Hytner yang dulu pernah menjadi aktor kunci kegagalan Rupert Murdoch mengakuisisi United pada 1998. Pergerakan Hytner pada 1998 itu berujung pada terbentuknya Shareholders United Against Murdoch yang diakui MUST sebagai cikal bakal gerakannya.
Namun, kendati punya sejarah percekcokan panjang, dalam pernyataannya pada 2015, MUST sendiri sudah mengakui bahwa saat ini hubungan mereka dengan Keluarga Glazer sudah sedikit membaik. Salah satu musabab ini bisa terjadi adalah berkat peran Ed Woodward. Pria yang kini menjabat sebagai CEO klub itu secara aktif menjalin komunikasi dengan kelompok suporter yang ada, khususnya dalam urusan pemenuhan hak.
Protes anti-Glazer juga praktis sudah tidak ada, terutama sejak 2017 lalu, ketika diumumkan bahwa utang Manchester United 'tinggal' 380 juta pounds. Di saat yang bersamaan, Joel dan Avram Glazer yang ditinggal mati ayahnya pada 2014 mulai royal dalam mengeluarkan uang. Buktinya, sejak Sir Alex pensiun, United sudah mengeluarkan dana hampir 700 juta poundsterling untuk belanja pemain, meskipun hasilnya masih begitu-begitu saja.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Manchester United dalam memangkas utangnya ini jelas tidak bisa dilepaskan dari kegeniusan Ferguson dalam membimbing United melewati masa sulit pasca-krisis ekonomi 2008. Lewat anggaran yang amat terbatas, Ferguson masih bisa mengakali keadaan dan mengantarkan piala ke ruang trofi seperti tidak ada apa-apa. Dari situ, nilai jual Manchester United terjaga dan lewat sumber pendapatan anyar, utang pun terpangkas.
Kini, dengan situasi finansial yang mulai membaik, sudah berkurang satu alasan bagi para suporter United untuk memprotes keberadaan Keluarga Glazer. Namun, buruknya performa para pemain di lapangan semestinya bisa menjadi pelatuk bagi kemunculan aksi protes lain, terutama dalam hal manajemen klub.
Salah satu sebab dari buruknya penampilan 'Iblis Merah' itu adalah ketiadaan direktur olahraga untuk mengarahkan klub di hal ihwal sepak bola itu sendiri. Seperti kata Unai Emery, uang 20 juta yang didapat klub tidak akan ada artinya bagi para fans tanpa prestasi. Sekarang, yang patut dinantikan adalah seberapa besar toleransi para suporter United melihat timnya jadi semenjana dari segi prestasi.
ADVERTISEMENT