Waspada: Agen Pemain Abal-abal!

29 Desember 2018 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suka duka agen bola. (Foto: kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Suka duka agen bola. (Foto: kumparan )
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak ada yang absolut di dunia si kulit bulat karena setiap aktor mempunyai cara dan kacamata berbeda dalam menaksir masalah. Situasi tersebut mewujud kepada regulasi Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) menyoal agen pemain yang dinamis.
ADVERTISEMENT
Pada 2008, FIFA meluncurkan regulasi mengenai agen pemain dalam FIFA Players Agent Regulations (FIFA PAR). Intensi dari FIFA PAR adalah memagari aktivitas dan mengontrol agen pemain dengan sistem lisensi, sehingga agen pemain yang terlibat dalam proses negosiasi kontrak maupun transfer pemain memiliki kapabilitas.
Selama FIFA PAR bergulir, pertumbuhan agen pemain justru melesat. Akan tetapi, lebih dari 70% transfer internasional dijalani oleh agen tak berlisensi sehingga membuat nilai transaksi tak transparan. FIFA mengakui bahwa sistem lisensi agen pemain tak berjalan efektif dan perlu membangun regulasi anyar.
FIFA lantas menempuh beberapa fase dalam upaya menderegulasi agen pemain. Mulai dari merangkum persoalan yang hadir manakala agen tak berlisensi bekerja, sampai mendengarkan informasi dari badan sepak bola di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Sebagai tindak lanjutnya, pada April 2015, FIFA memutuskan untuk menepikan FIFA PAR sekaligus meluncurkan regulasi bertajuk 'Regulations on Working with Intermediaries'. Dalam regulasi tersebut, FIFA mengubah istilah agen menjadi perantara.
Perantara dijabarkan sebagai pihak yang merepresentasikan pemain dengan bayaran maupun tanpa bayaran untuk menuntaskan kontrak maupun transaksi transfer pemain. Dengan kata lain, perantara bertugas merampungkan semua urusan pemain di luar arena pertandingan.
Pencabutan sistem lisensi menghadirkan kebebasan kepada pemain dan klub dalam memilih perantara, entah itu kerabat dekat si pemain maupun pengacara. FIFA hanya menekankan agar perantara yang diutus memenuhi kriteria dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip transaksi transfer atau kontrak pemain.
Di Indonesia, keputusan FIFA meniadakan sistem lisensi membuka pintu selebar-lebarnya bagi banyak pihak untuk menjadi perantara. Situasi tersebut idealnya dapat mengurangi problematika pemain di luar lapangan, terutama menyoal finansial dan perjanjian kontrak.
ADVERTISEMENT
Pun demikian dengan klub. Kehadiran perantara menghadirkan profit karena tugas klub dalam membangun skuat menyusut. Klub tak perlu repot-repot melakukan talent scouting untuk mencari pemain bidikan. Sebab, perantara bakal berkunjung dengan menenteng pemain-pemain hebat yang berada di bawah naungannya. Namun, kenyataan tak seperti itu.
Direktur Keuangan PT. Persib Bandung Bermartabat (PBB) Teddy Tjahjono (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Keuangan PT. Persib Bandung Bermartabat (PBB) Teddy Tjahjono (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
“Hubungan antara pemain dengan agen itu ternyata tidak eksklusif. Jadi, kami sendiri mengalami. Misalnya, satu orang pemain, si A, itu bisa ditawarkan oleh empat sampai lima agen berbeda. Artinya, ada yang tidak benar. Yang benar itu adalah satu pemain dikuasakan oleh satu agen,” ucap Direktur Keuangan PT Persib Bandung Bermartabat (PBB), Teddy Tjahjono, dalam perbincangan dengan kumparanBOLA di Jakarta.
Kondisi tersebut hadir karena banyak agen yang tak memiliki ikatan dengan pemain (perjanjian lewat pembicaraan). Penjelasan tersebut dituturkan langsung oleh perantara ternama, Daniel Karamoy, yang merupakan perantara eks pemain Liverpool, Sean Guthrie.
ADVERTISEMENT
“Saya juga meyakini bahwa agen yang bermain di sini tidak 100% full. Bisa dicek orang yang mengaku pegang si A, siapa sih agen utamanya? Sistemnya memang begitu. Kecuali pemain lokal yang dari awal sudah kamu pegang. Kalau asing 100% sudah punya agensi di luar. Agensi ini berintetraksi dengan agen di sini atau mungkin dengan klubnya langsung,” kata Daniel.
Hubungan yang tak eksklusif itu, kata Teddy, menampilkan persoalan baru dalam transaksi transfer maupun kontrak pemain. Sebab, perantara bisa datang dan pergi dengan seenaknya tanpa terikat hukum.
Jika perantara pergi tanpa pamit, pemain menjadi pihak yang paling dirugikan. Penghasilan mereka terpangkas dan masa depan dengan klub menjadi buram.
“Ada beberapa agen yang datang ke klub setelah itu sudah dilepas saja, gitu. Dilepas saja. Perpanjangan kontrak baru datang lagi. Agen yang baik 'kan di maintance sebenarnya. Dua bulan sekali didatangin, ya, di-maintain. Terus ada tanya kendalanya apa, apalagi orang lain (asing),” kata Teddy.
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang dialami Teddy selama mengurusi ‘Maung Bandung’ nyatanya terjadi juga pada Bhayangkara FC. Manajer The Guardian, AKBP Sumardji, melabelinya sebagai perantara ala kadarnya.
Sumardji menceritakan bahwa ada beberapa perantara yang mematok profit pribadi tinggi yang memberatkan operasional klub. “Banyak agen yang tidak menguasai data pemain yang diberikan kepada kami. Dia hanya melihat dari video, ini ‘kan susah. Kalau hanya dari video tidak tahu betul skill-nya tidak tahu betul kualitasnya akhirnya kan kita ibarat membeli kucing dalam karung itu problem,” kata Sumardji.
Kehadiran agen abal-abal lantas menggerus integritas profesi perantara. Padahal, kepercayaan adalah aset berharga seorang perantara.
Pola kerja agen pemain sepak bola (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pola kerja agen pemain sepak bola (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
“Agen ini bisnis soal trust. Banyak pemain fight dengan agen, karena trust-nya berkurang. Setelah kontrak ditinggalkan. Banyak kasusnya. Inilah sumber konflik terbesar,” ucap agen pemain kondang, Gabriel Budi.
ADVERTISEMENT
Pandangan berbeda disampaikan agen pemain senior, Eddy Syahputra, yang bernaung di bawah PT Ligina Sportindo. Menurutnya, cara untuk mengindari berurusan dengan agen abal-abal itu bukan dengan menghukum atau meniadakan perantara tak berlisensi, tetapi mengedukasi klub untuk menambah imun dalam menghadapi wabah agen abal-abal.
“Sebaiknya agen ditertibkan saja, sehingga asal usul jelas. Kemudian, misalnya, terjadi masalah, kita tahu kepada siapa kita mau klaim kalau enggak ‘kan siapapun bisa. Kalau ambil pemain kepada agen yang sudah diketahui PSSI,” ucap Eddy.
“Kalau sekarang langsung ke klub dan sebenarnya dia enggak salah dia cari makan, tetapi kenapa klub mau? Dia ga salah menawarkan pemain kepada klub. Kalau klub mau ambil dia enggak salah. Setiap saat klub itu ‘kan awal musim federasi memberikan workshop terjadi dialog merekrut pemain dikasih tahu sama PSSI. Tinggal klub yang harus jaga diri, jangan asal ambil aja. Kalau ada masalah aja, udah,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sepenggal kasus yang dialami sejumlah klub yang berujung kepada keluhan agen pemain berlisensi, sejatinya sudah menjadi lagu lama yang kerap terdengar. PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi, bahkan memiliki istilah tersendiri bagi agen pemain abal-abal ini. Mereka menyebutnya dengan, 'datang saat awal kompetisi bergulir, kemudian menghilang setelah kompetisi bergulir, lalu datang kembali di akhir musim'.
"Pemain yang punya masalah atau setelahnya punya masalah, yang menggunakan agen, seakan-akan mereka tidak dibantu. Padahal, harusnya ada kontrak yang berlaku antara agen dengan pemain atau pelatih dan itu sebenarnya mengikat," kata COO PT LIB, Tigorshalom Boboy.
"Bukan cuma, istilahnya, senengnya saja dapat agent fee di awal karena sukses membawa si pemain dikontrak klub. Tapi, setelahnya ada terlambat gaji dari klub, si pemain untuk advokasi tiba-tiba menghilang. Itu yang kita temukan di Indonesia," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tigor menyatakan kasus yang kerap terjadi menyangkut keagenanan adalah ketika sang agen membawa pemain dengan status pra-kontrak. Merujuk aturan di kompetisi, PT LIB tak menggunakan istilah pra-kontrak karena bukan tanpa musabab.
Agen Pemain Sepak Bola, Gabriel Budi Liminto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Agen Pemain Sepak Bola, Gabriel Budi Liminto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pernyataan Tigor bisa mengambil contoh pada David Da Silva yang awal musim 2018 lalu berseragam Bhayangkara FC. Mendapat kontrak satu musim oleh The Guardian, sosok asal Brasil kemudian menyebrang ke Persebaya Surabaya setelah tiga laga tak penampilannya tak memuaskan bersama Bhayangkara FC.
"Kadang baru sampai satu bulan kompetisi di mulai, dua pertandingan enggak perform, dilepas pemainnya. Itu 'kan merugikan pemain. Nah, si agen, sudah dapat duit di awal dapat klub, begitu dipecat atau dilepas klub tiba-tiba hilang," kata Tigor.
ADVERTISEMENT
Langkah ini, sejatinya memang sudah diwanti-wanti. Akan tetapi, kata Tigor, PT LIB tak punya garis koordinasi untuk berbicara kepada mereka. Karena tak memiliki kuasa untuk membuat aturan turunan dari 'Regulation on Working with Intermedieries', PT LIB pun mendorong PSSI agar kasus di atas tak terulang.
Merujuk 'Regulation on Working with Intermedieries' yang digalakkan FIFA, PSSI punya aturan sendiri menyoal agen pemain yang mengikat melalui Kode Disiplin. Pada Kode Disiplin Pasal 3 tentang para pihak yang tunduk terhadap Kode Disiplin PSSI, agen pemain berlisensi menjadi salah satu pihak tersebut.
"Di Kode Disiplin disebutkan agen pemain 'harus' berlisensi. Kalau agen tidak berlisensi takutnya si agen itu abal-abal. Siapa yang memberikan lisensi itu? PSSI dalam hal ini lebih kepada bukan lisensinya, melainkan bahwa mereka yang dipercaya oleh pemain dan klub," ucap anggota Komite Eksekutif PSSI, Gusti Randa.
ADVERTISEMENT
"Dalam kontrak pemain terhadap klub, PSSI hanya bersikap pasif. Kami tidak masuk dalam hubungan antara pemain dengan klub, tetapi hanya menerima laporan yang harus sesuai dengan regulasi transfer pemain. Apakah sudah beres dengan klub sebelumnya? Seperti itu, contohnya. Karena semua tercatat di FIFA. Intinya, kami memakai aturan FIFA saja. Bahwa federasi mengatur agen pemain itu di Kode Disiplin,'' kata Gusti.
Pasal 3 Kode Disiplin PSSI yang disebutkan Gusti menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sepak bola di Indonesia, khususnya, tetapi tidak terbatas pada: Anggota PSSI; Anggota dari Asosiasi Provinsi, Asosiasi Kabupaten/Asosiasi Kota PSSI; Klub non-anggota PSSI yang berpartisipasi dalam pertandingan atau kompetisi resmi; Ofisial; Lembaga terafiliasi PSSI; Pemain; Perangkat pertandingan; dan Perantara pemain berlisensi.
ADVERTISEMENT
Nah, jika PT LIB tak memiliki kewenangan untuk membuat terusan menyoal 'Regulation on Working with Intermedieries', maka bukan tak mungkin kasus-kasus yang disampaikan Tigor bisa kembali terulang.
"Memang sekarang ada agen tanpa lisensi. Agen abal-abal di mana mereka yang kenal dengan pemain sepak bola, misalnya, di Ukraina, lalu dia jadi perantara. Nah, agen-agen seperti itu, PSSI tidak mau tahu. PSSI cuma mau tahu agen harus berlisensi. Dari mana lisensinya? Dari FIFA," pungkasnya.
====
*kumparanBOLA membahas cerita-cerita perihal pekerjaan agen pemain di sepak bola Indonesia. Anda bisa menyimaknya di topik 'Suka-Duka Agen Bola'.