Wolverhampton Wanderers dalam Lakon Tiga Babak

17 April 2018 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain Wolves sebelum berlaga. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Wolves sebelum berlaga. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
ADVERTISEMENT
Temaram memang tak pernah jadi sahabat yang baik untuk Wolverhampton Wanderers. Mereka punya reputasi yang bahkan tak bisa dihilangkan oleh sendat prestasi dalam beberapa dekade belakangan. Mereka punya sejarah yang terlalu berkilauan untuk diabaikan begitu saja. Mereka punya cerita yang mustahil tidak diperdengarkan ke orang-orang di luar sana.
ADVERTISEMENT
Sejarah Wolverhampton Wanderers, atau Wolves, adalah sejarah tentang sorot lampu. Dalam titik tertinggi mereka, Wolves adalah klub Inggris paling gemerlap. Tanpa mereka, European Cup tidak akan dicetuskan. Tanpa mereka, malam-malam menegangkan dan mengharukan di khazanah persepakbolaan Eropa takkan pernah ada.
Maka dari itu, sudah benar jika tempat Wolves sebenarnya adalah di puncak. Sudah pas jika medan laga mereka adalah Premier League. Sudah tepat jika kemudian mereka mencanangkan sebuah misi besar untuk kembali menyesap kejayaan yang pernah ada itu. Sudah seharusnya Wolves kembali tanpa pernah terusir kembali.
Titik Nol dan Titik Puncak
Seperti banyak klub Inggris lainnya, Wolverhampton Wanderers muncul dari gereja. John Baynton dan John Brodie masih belia ketika sepak bola diperkenalkan kepada mereka, tepatnya ketika masih bersekolah di sebuah kolese milik Gereja Santo Lukas di Blakenhall. Adalah sang kepala sekolah, Harry Barcroft, yang memperkenalkan sepak bola kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika pertama kali didirikan pada 1877, Wolves tidak langsung diberi nama yang mereka miliki sekarang. Sesuai nama kolese tempat Baynton dan Brodie menuntut ilmu, klub ini awalnya dinamai St. Luke's. Baru dua tahun kemudian, setelah melakukan merger dengan klub sepak bola dan kriket The Wanderers, nama Wolverhampton Wanderers resmi tersemat.
Perkembangan Wolves sebagai sebuah klub terhitung cukup pesat. Hanya empat tahun setelah didirikan, mereka sudah bisa memiliki tempat bermain sendiri. Nama lapangan itu Dudley Road. Meski mampu menampung sampai 10 ribu orang, fasilitas di sana sangatlah terbatas. Jangankan tempat duduk, untuk mendapat tempat berdiri saja sulit.
Namun, Dudley Road adalah awal dari cerita manis mereka di persepakbolaan Inggris. Di sini mereka merasakan musim pertama sebagai kontestan Football League, tepatnya pada musim 1888/89 yang merupakan musim pertama penyelenggaraan kompetisi liga sepak bola terstruktur di Inggris. Di bawah dukungan publik Dudley Road, Wolves mengakhiri musim di urutan ketiga klasemen.
ADVERTISEMENT
Tak cuma tampil bagus di liga, di Piala FA pun Wolves tampil cemerlang. Mereka sukses melaju sampai partai puncak. Sayang, Preston North End ketika itu rupanya terlalu tangguh bagi semua klub di Inggris. Di liga mereka juara dan di final Piala FA, Wolves berhasil mereka kalahkan dengan skor telak 3-0.
Cerita menarik Wolves di Dudley Road tidak berhenti sampai di situ. Pada sebuah pertandingan menghadapi Aston Villa mereka menjadi tim Inggris pertama yang diuntungkan oleh gol bunuh diri. Bek Villa, Gershom Cox, sebenarnya berupaya menghalau bola yang ada di dekat gawangnya, tetapi kemudian dirinya justru mengarahkan bola masuk ke gawang sendiri.
Di Dudley Road, Wolves hanya bertahan selama satu musim. Pada musim berikutnya mereka hijrah ke Molineux yang menjadi kandang mereka sampai detik ini. Awalnya, mereka harus menyewa stadion tersebut dari Northampton Brewery yang sebelumnya membelinya dari tangan keluarga Benjamin Molineux.
ADVERTISEMENT
Di Molineux, Wolves mengawali segalanya dengan indah. Pada pertandingan pertama di stadion ini mereka berhasil memetik kemenangan 2-0 atas Notts County. Kemudian, gelar prestisius pertama mereka, Piala FA, juga diraih saat mereka telah menghuni stadion ini, tepatnya pada 1893.
Suporter Wolves di luar Molineux. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Wolves di luar Molineux. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
Prestasi Wolves selama menghuni Molineux pada akhirnya memang bakal mengalami pasang-surut. Pada 1906, misalnya, mereka terdegradasi dari Division One. Namun, pada 1908 mereka kembali berhasil menjadi juara Piala FA. Hal ini bakal terus berlangsung sampai abad ke-21 nanti.
Masa-masa terbaik dalam sejarah Wolves terjadi pada era 1950-an. Sebelumnya, Wolves sempat mengalami masa sulit pada era 1920-an dengan terdegradasinya mereka sampai ke Divisi Tiga. Yang menarik, ketika mereka bermain di Divisi Tiga itulah mereka membeli kepemilikan Molineux secara permanen dan merenovasinya.
ADVERTISEMENT
Wolves baru kembali lagi ke Division One pada 1932 dan sempat menjadi runner-up liga sebanyak dua kali serta runner-up Piala FA sekali. Sampai akhirnya, Perang Dunia II meletus dan Wolves pun harus menunggu sampai 1946 untuk bisa kembali berlaga.
Pada musim 1946/47 tersebut Wolves hampir saja menjadi juara liga, tetapi akhirnya harus kalah 1-2 dari Liverpool dan merelakan gelar ke tangan klub Merseyside tersebut. Namun, dari musim itulah cikal bakal kejayaan Wolves muncul. Musim itu adalah musim terakhir Stan Cullis berlaga sebagai pemain Wolves dan nantinya, sebagai pelatih, Cullis-lah yang akan membawa mereka ke masa kejayaan.
Cullis memulai masa kepemimpinannya di musim 1948/49 dengan sebuah trofi Piala FA. Nantinya, sosok yang diabadikan dalam wujud patung di Molineux ini akan mempersembahkan tiga gelar juara liga di musim 1953/54, 1957/58, dan 1958/59 serta satu lagi gelar Piala FA pada 1960. Era ini merupakan era terbaik dalam sejarah Wolves dan sampai sekarang belum berhasil diulangi kembali.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, yang paling menarik dari era kepemimpinan Cullis ini adalah bagaimana Wolves menjadi pelopor terselenggaranya European Cup. Awalnya sederhana. Stadion mereka adalah stadion pertama di Inggris yang dilengkapi lampu dan hal ini memungkinkan mereka untuk memainkan serangkaian laga ekshibisi melawan tim-tim dari seluruh penjuru dunia di tengah pekan.
Pertandingan ekshibisi pertama Wolves adalah laga melawan Afrika Selatan yang mereka menangi dengan skor 3-0. Namun, yang paling menyita perhatian adalah saat mereka mengalahkan Honved 3-2 pada 1954.
Honved adalah klub sepak bola yang dimiliki militer Hongaria. Di sana bermainlah para pemain Tim Nasional Hongaria yang sebelumnya mengalahkan Inggris 6-3 di Wembley, termasuk Ferenc Puskas. Pada laga melawan Honved itu Wolves yang dikapteni Billy Wright sempat tertinggal 0-2 lebih dahulu sebelum membalikkan keadaan. Keberhasilan itu membuat Cullis menyebut timnya sebagai juara dunia.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, L'Equipe tidak sependapat. Lewat jurnalisnya, Gabriel Hanot, harian olahraga Prancis itu tetap tidak mau menyebut Wolves sebagai juara dunia. Sebagai gantinya mereka menyampaikan sebuah ide untuk mempertemukan tim-tim terbaik Eropa dalam sebuah turnamen khusus. Turnamen itulah yang kemudian menjadi European Cup dan kini dikenal dengan sebutan Liga Champions.
Zaman yang Kejam
Tak ada yang abadi dan masa kejayaan Wolves itu habis setelah mereka meraih trofi Piala FA 1960. Perlahan penampilan mereka menurun dan pada akhirnya, Cullis dipecat pada 1964. Pemecatan Cullis ini jadi awal dari segala hal buruk yang menimpa Wolves sampai abad ke-21.
Wolves terdegradasi dari Division One untuk pertama kalinya selama lebih dari 30 tahun pada musim 1965/66. Mereka kemudian memang berhasil bangkit dan bahkan mencicipi final Piala UEFA pada 1972 --meski kalah dari Tottenham Hotspur 2-3-- serta menjuarai Piala Liga 1974 dengan mengalahkan Manchester City. Akan tetapi, bobroknya kondisi Molineux membuat mereka kehilangan banyak uang untuk melakukan renovasi sampai akhirnya mereka hampir bangkrut pada 1982.
ADVERTISEMENT
Sejak inilah Wolves seperti kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan. Pada 1986 mereka bahkan sampai harus terjerembab ke Division Four dan baru pada dekade 1990-an situasi klub bisa membaik. Untuk perbaikan itu, Wolves harus berterima kasih kepada Sir Jack Hayward, seorang pengusaha properti yang merupakan suporter fanatik klub.
Di bawah kepemimpinan Hayward, mismanajemen finansial berhasil diatasi secara perlahan. Hayward mengambil alih kepemilikan klub pada 1990. Namun, Wolves tetap butuh waktu lama untuk bisa sampai ke divisi teratas, tepatnya 13 tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya peraturan baru soal stadion menyusul Tragedi Heysel pada 1989.
Sebagai impak tragedi tersebut, pemerintah menetapkan banyak regulasi baru menyoal kelayakan dan keamanan stadion, termasuk diwajibkannya tribune duduk bagi semua penonton. Peraturan ini membuat Sir Jack harus mengeluarkan banyak dana untuk stadion dulu sebelum akhirnya bisa berinvestasi pada pembentukan skuat.
ADVERTISEMENT
Apa yang dinanti Hayward dan para suporter Wolves itu tercapai pada 2003. Untuk pertama kalinya mereka berhasil promosi ke Premier League. Akan tetapi, cedera para pemain kunci seperti kiper Matt Murray dan bek Joleon Lescott membuat Wolves pada akhirnya harus kembali terdegradasi.
Dari sana, situasi finansial Wolves kembali memburuk dan akhirnya Hayward harus melepaskan kepemilikannya atas klub pada 2007. Adalah Steve Morgan sosok yang membuat Hayward harus rela jabatannya dilengserkan menjadi presiden kehormatan.
Di bawah kepemilikan Morgan, Wolves menjalani masa-masa terbaik mereka di Premier League. Setelah promosi pada musim 2008/09, mereka sempat bertahan selama tiga musim di Premier League. Namun, posisi mereka di klasemen selalu terpaku di papan bawah. Di musim pertama, mereka finis di urutan ke-15, musim kedua diakhiri di urutan ke-17, dan musim ketiga Wolves akhirnya menjadi juru kunci.
ADVERTISEMENT
Setelah terdegradasi pada musim 2011/12 itu prestasi Wolves akhirnya terus menukik. Pada musim 2013/14 mereka harus berlaga di League One setelah terdemosi dari Championship Division. Meski demikian, Wolves kembali bangkit dengan menjuarai League One hingga akhirnya promosi ke Championship pada musim sesudahnya.
Wolves musim 2011/12 yang jadi juru kunci. (Foto: AFP/Ian Kington)
zoom-in-whitePerbesar
Wolves musim 2011/12 yang jadi juru kunci. (Foto: AFP/Ian Kington)
Empat musim di Championship Division, Wolves akhirnya kembali ke Premier League. Hasil imbang yang didapat Fulham pada pertandingan pekan ke-42 musim 2017/18 mengantarkan Wolves promosi ke kompetisi paling elite di Inggris tersebut.
Saat ini, dengan tiga laga tersisa di Championship, Wolves sudah mengumpulkan 95 poin, unggul 12 angka atas Cardiff City di urutan kedua dan 13 poin atas Fulham di peringkat ketiga. Tak cuma promosi, gelar juara pun kemungkinan besar bakal bisa mereka rengkuh.
ADVERTISEMENT
Deus Ex Machina
Kejutan memang belum sepenuhnya hilang dari sepak bola. Di sana sini masih ada tim-tim atau sosok-sosok yang melakukan hal-hal di luar ekspektasi. Leicester City di musim 2015/16, misalnya, atau Cheick Diabate di tiga laga termutahirnya bersama Benevento di mana dia berhasil mengemas enam gol.
Akan tetapi, satu hal yang sulit sekali dipisahkan dari keberhasilan sebuah tim adalah sokongan finansial. Manchester City memang punya Pep Guardiola sebagai manajer, tetapi tanpa sokongan duit melimpah dari Abu Dhabi, belum tentu manajer asal Spanyol itu bisa membawa klubnya tampil sedominan musim ini.
Wolves pun begitu. Ada alasan di balik dominasi mereka dan alasan tersebut, tak lain dan tak bukan, adalah dukungan finansial yang kuat dari China. Pada 2016 silam Fosun International mengambil alih kepemilikan Wolves dari tangan Morgan. Sejak itulah proyek ambisius Wolves dijalankan.
ADVERTISEMENT
Satu hal menarik dari Fosun International ini adalah keterikatan mereka dengan agen super asal Portugal, Jorge Mendes. Agensi pemain Mendes, Gestifute, sebagian sahamnya dimiliki oleh Fosun International dan hal ini pada akhirnya memuluskan jalan Wolves untuk merekrut pemain-pemain yang sebenarnya layak bermain di kompetisi lebih berkualitas.
Agen super, Jorge Mendes. (Foto: AFP/Jack Taylor)
zoom-in-whitePerbesar
Agen super, Jorge Mendes. (Foto: AFP/Jack Taylor)
Relasi Fosun dan Gestifute ini bukannya tanpa masalah. Bos Leeds United, Andrea Radizzani, pernah secara terbuka mempertanyakan legalitas praktik tersebut. Selain itu, sekelompok suporter Aston Villa juga pernah mencoba memprotes praktik ini dengan membawa topeng berwajah Mendes ke Molineux. Akan tetapi, sampai sekarang tak pernah ada penyelidikan apa-apa dan mari berasumsi bahwa apa yang dilakukan Fosun itu legal adanya.
Lewat campur tangan Mendes, Wolves berhasil mendatangkan Ruben Neves dan Diogo Jota, dua pemain muda Portugal yang sebenarnya diincar banyak raksasa Eropa. Selain itu, mereka juga kini dilatih oleh sosok yang merupakan klien pertama Mendes, Nuno Espirito Santo.
ADVERTISEMENT
Kombinasi itulah yang akhirnya membawa kejayaan untuk Wolves. Namun, jangan pikir mereka sukses hanya karena menghamburkan uang. Di balik sokongan finansial itu, sosok Nuno menjelma menjadi semacam Deus Ex Machina alias Perabot Tuhan.
Pasalnya begini. Fosun sudah memiliki Wolves sejak 2016, tetapi mereka tidak langsung meraih kesuksesan. Walter Zenga dan Paul Lambert sudah mencoba, tetapi Nuno-lah yang akhirnya menemukan racikan yang pas untuk Wolves. Cara melatih Nuno sendiri sudah dipuji habis oleh sang kiper, John Ruddy.
Menurut Ruddy, Nuno adalah sosok yang mampu menjaga fokus serta kepercayaan diri para pemainnya.
"Dia sangat saklek untuk urusan menentukan apa yang harus kami lakukan. Apa yang dia lakukan selalu difokuskan pada diri kami. Kami tidak pernah mencoba beradaptasi dengan permainan lawan dan kupikir, sebagai pemain, itu sangat menenangkan. Kami jadi tahu seperti apa kami harus bermain karena kami tahu apa yang bisa dan tidak kami lakukan," puji eks kiper Norwich City itu.
ADVERTISEMENT
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Nuno dilempar ke udara oleh para pemainnya. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
Di Wolves sendiri, Nuno menggunakan formasi 3-4-3. Lewat formasi itu dia berhasil mengeluarkan kemampuan terbaik para pemainnya, seperti Connor Coady yang disulapnya menjadi seorang sweeper serta Barry Douglas yang lebih pas difungsikan sebagai wing-back ketimbang full-back. Di sini sebenarnya terletak legitimasi Wolves sebagai klub yang tak cuma bisa membuang uang.
Keberadaan Nuno, seperti namanya, jadi seperti Roh Kudus yang diturunkan untuk membimbing Wolves kembali ke masa kejayaan. Lewat kemampuan manajerialnya, Nuno menjadi Perabot Tuhan di Molineux.
Epilog
Masih panjang jalan yang harus ditempuh Wolverhampton Wanderers. Musim depan mereka akan kembali ke Premier League. Akan tetapi, dengan sokongan finansial yang mapan sekalipun, mereka tidak akan bisa berprestasi dengan mudah. Ada terlalu banyak keping bergerak yang bisa saja membuat mereka kembali terperosok.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kualitas skuat Wolves sebenarnya belum cukup memadai. Mereka memang punya Neves, Jota, Douglas, dan Coady. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang punya pengalaman di Premier League. Beberapa pemain kunci mereka seperti Ruddy juga sudah pernah terbukti gagal di liga terpopuler dunia tersebut. Plus, mereka masih harus mencari seorang penyerang karena Benik Afobe bakal kembali ke haribaan Bournemouth.
Walau begitu, Wolves telah berada di trek yang tepat. Cara mereka mengombinasikan kekuatan finansial dengan kecerdasan dalam menjalankan klub telah membawa mereka kembali ke tempat yang seharusnya. Kini, biarlah waktu yang menentukan segalanya bagi Wolverhampton Wanderers. Tuhan tahu mereka sudah mencoba.