Yang Kita Harapkan dari El Clasico

27 Februari 2019 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barcelona vs Madrid di Bernabeu. Foto: Alex Caparros/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Barcelona vs Madrid di Bernabeu. Foto: Alex Caparros/Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua raksasa bertarung, mengenyahkan kisah duel Daud dan Goliat. Ini pertarungan Goliat dari dua kota berbeda. Raja-raja duduk di singgasana, menyaksikan pasukannya bertarung merebut piala, mengejar kekuasaan, mempertahankan tahta, merawat martabat. El Clasico.
ADVERTISEMENT
Kami ingat betul cerita ini. Sudah silam juga, bertahun-tahun sebelum hari ini, saat kami masih duduk di bangku sekolah. Laga ini begitu dinanti, membikin kami menjadi anak bandel yang mengabaikan larangan begadang dari orang tua.
Saat larut, saat semua orang di rumah masing-masing sudah tertidur, kami berjalan mengendap-endap. Menyalakan televisi, mengecilkan volumenya sampai tak terdengar.
Kami menonton dengan harap-harap cemas. Bukan cuma karena menanti siapa yang menang, tapi juga karena takut ibu-ibu kami bangun dari tidur mereka. Kalau itu yang terjadi, mereka bakal mencecar kita dengan omelan yang tak habis-habis sampai pekan depan. Siapa yang berpengalaman serupa, mari acungkan jari bersama.
Selebrasi gol Raul Gonzalez. Foto: JAVIER SORIANO / AFP
Raul Gonzalez, Fernando Morientes, dan Roberto Carlos adalah pemain-pemain yang kami tunggu aksinya. Raul bahkan masih berstatus sebagai wonderkid saat itu.
ADVERTISEMENT
Dari kubu Catalunya, kami tak sabar menonton kepiawaian sang kapten Josep Guardiola. Menatap dengan mata berbinar saat Rivaldo tak bosan-bosannya menggetarkan jala gawang lawan. Pun dengan Patrick Kluivert dan Xavi Hernandez. Jangan lupakan pula Luis Figo.
El Clasico waktu itu masih tanpa Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Namun, tanpa dua megabintang itu, El Clasico sudah menjadi perang bintang bagi kami di masa lampau.
Kisah itu jadi cerita yang tinggal tetap dalam ingatan masing-masing. Menjadi sebuhul nostalgia yang kami rawat baik-baik sampai nanti, sampai tak ada lagi cerita yang bisa kami ingat.
***
"Kami menelan kekalahan berkali-kali melawan Barcelona. Itu bukan kenangan yang mengesankan. Tapi seperti yang saya katakan sebelumnya, bermain di El Clásico tetap menjadi hal yang istimewa."
ADVERTISEMENT
Christian Karembeu boleh berkata bahwa Madrid acap babak belur dari Barcelona. Tapi melihat catatan sejarah, sosok yang membela Madrid sejak 1997 hingga 2000 ini tak perlu berkecil hati.
Selebrasi dari Lionel Messi usai membobol gawang Valencia. Foto: REUTERS/Albert Gea
Penyebabnya, Madrid unggul tipis dengan mencatatkan 95 kemenangan, berbanding dengan 94 kemenangan Barcelona. Sementara, 50 laga berakhir dengan skor imbang.
El Clasico pertama kali dipertandingkan di kompetisi resmi pada 1916, tepatnya di babak semifinal Copa del Rey. Kala itu, Madrid memenangi laga dan berhak melangkah ke final. Hingga kini, sudah 239 Madrid dan Barcelona bertemu di atas lapangan yang sama.
Entah ada berapa banyak orang yang menyaksikan laga ini, baik secara langsung maupun melalui siaran televisi. Yang jelas, pada Mei 2018 BeINSport Spanyol mengklaim bahwa ada 1.057.992 orang yang menonton laga ini lewat siaran mereka.
ADVERTISEMENT
Itu berarti, tak kurang dari satu juta orang pada hari itu yang berharap El Clasico tidak berjalan dengan membosankan.
GoH dari Barcelona untuk Madrid, 2008. Foto: JAVIER SORIANO / AFP
Apakah El Clasico merupakan laga yang buruk? Apakah pertandingan ini berjalan membosankan? Ini pertanyaan yang rasanya tak punya jawaban pasti karena bergantung pada apa yang jadi harapan kita saat menanti pertandingan dimulai.
Sebagian dari kita menginginkan agar Madrid menang, sebagian lagi berharap Barcelona menutup laga dengan sorak-sorai. Jika tim yang kita dukung menang, maka dengan senang hati kita menjawab bahwa El Clasico hari itu berjalan dengan menyenangkan.
Para penonton netral yang tak peduli-peduli amat dengan hasil menginginkan laga ini berjalan seru. Saling serang, kejar mengejar skor lewat gelontoran gol yang hanya bisa bisa dihentikan oleh peluit panjang yang dibunyikan wasit.
ADVERTISEMENT
El Clasico adalah laga yang overrated. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan argumen ini. Tapi menilik dalam--katakanlah--tiga musim terakhir, pertandingan ini juga tak pantas buat disebut sebagai laga yang besar nama belaka, tapi minim kualitas.
Beda ekspresi pemain Barcelona dan Madrid. Foto: REUTERS/Albert Gea
Melihat skor dalam kurun waktu tadi, hanya tiga kali pertandingan ini berakhir imbang--itu pun bukan tanpa gol sama sekali. Soal kemenangan tipis, hanya dua kali pertandingan berakhir dengan skor 2-1 dan sekali tuntas dengan hasil 3-2. Kesimpulan kasar yang dapat kita tarik dari situ, El Clasico tetap menjadi laga yang pantas buat ditonton.
"Jika saya harus memilih salah satu pengalaman El Clasico terbaik, saya akan memilih laga yang berakhir dengan kemenangan 6-2 untuk kami di Bernabeu," seperti itu pendapat Carles Puyol soal laga El Clasico ideal versinya.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit dari kita yang berharap seperti Puyol. Berangan-angan agar El Clasico ditutup dengan kemenangan besar, mirip dengan apa yang terjadi pada 2009 tadi. Sepak bola zaman sekarang memang serba rumit. Permainan acap menjadi membosankan, entah karena para penyerang memang tak lihai lagi memanfaatkan peluang, entah karena makin ke sini tembok pertahanan semakin kokoh.
Hanya, ingat-ingatlah lagi apa yang terjadi pada La Liga 2015/16. Di musim tersebut, Barcelona pernah menang dengan skor telak 4-0, di Bernabeu pula. Atau yang terbaru, pada La Liga 2018/19, saat tim besutan Ernesto Valverde menjungkalkan Madrid dengan skor 5-1.
Pelatih Barcelona, Ernesto Valverde. Foto: Albert Gea/Reuters
Madrid dan Barcelona sama-sama tim besar. Pencapaian keduanya sudah melebihi ekspektasi para pendirinya. Kedigdayaan mereka di ranah sepak bola sudah melampaui imajinasi para legenda yang berlaga pada tahun-tahun lampau.
ADVERTISEMENT
Sebagai pencinta sepak bola, kita tahu apa yang ditancapkan Madrid dan Barcelona di atas lapangan bola melalui kegeniusan taktik para pelatih dan kelihaian olah bola para penggawanya. Pertandingan yang melibatkan dua tim macam ini tidak lagi membutuhkan perebutan gelar juara untuk membuktikan kualitasnya.
"Menurut saya, Barcelona unggul beberapa langkah. Tidak hanya karena memimpin klasemen, mereka juga memiliki musim yang lebih baik dibandingkan Real Madrid. Tapi seperti yang kita ketahui, El Clásico hanyalah sebuah pertandingan. Apa pun bisa terjadi."
Nah, kalau itu ucapan Kluivert. Omongan sosok asal Belanda ini memang benar. Barcelona memang sedang ada di puncak klasemen, berjarak sembilan angka dari Madrid yang ada di peringkat ketiga.
Namun, serupa Kluivert, apa pun memang bisa terjadi di atas lapangan bola. Bisa saja kali ini Madrid yang menyulut sorak-sorai kemenangan di Santiago Bernabeu dengan kemenangan. Toh, keduanya memang sedang angin-anginan belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Casemiro memeluk Benzema, merayakan gol Real Madrid. Foto: Heino Kalis/Reuters
Kembali kepada cerita-cerita zaman sekolah dulu, kelakuan kita yang sekarang juga tak berubah-ubah amat menyoal sepak bola. Tak peduli besok harus bekerja sejak pagi, kita tetap rela-rela saja untuk mengurangi jam tidur untuk menyaksikan laga besar.
Kita, para penonton di Asia, memang bersyukur karena La Liga pernah memutuskan untuk memajukan jam tayang El Clasico. Ini pernah terjadi pada Desember 2017, saat El Clasico yang biasanya digelar pada pukul 21:00 menjadi pukul 13:00 waktu setempat.
Tujuannya tentu memanjakan para penonton Asia. Akibatnya, para penonton di Indonesia bisa menyaksikan laga pada kisaran pukul 19:00 hingga pukul 21:00, tergantung ada di belahan Indonesia mana kita menonton.
Maka yang kita harapkan sebenarnya adalah El Clasico menjadi laga yang liar, spontanitas yang tak terjangkau oleh hitung-hitungan taktik yang presisi. Mungkin yang kita butuhkan untuk hadir dalam El Clasico kali ini adalah keputusan mengambil risiko kekalahan mengerikan.
ADVERTISEMENT
Ini bukan harapan berlebihan. Julio Baptista yang membela Madrid pada 2005 hingga 2008 juga pernah berkata bahwa hari-hari jelang El Clasico akan diisinya dengan memikirkan bagaimana caranya agar bisa memberi performa terbaik.
Yang ada di pikiran kita mungkin seperti ini. Tak ada pemain yang kesal dan gemetar menghadapi ulah Sergio Ramos dan Sergio Busquet di sepanjang laga. Tak ada lagi ketergantungan kepada Lionel Messi ataupun Karim Benzema dalam mencetak gol.
Bahkan kalau bisa, Marc-Andre ter Stegen yang kerap berdiri di bawah mistar gawang itu menjadi pemain yang membikin Madrid kehilangan keunggulan. Intinya, siapa pun yang turun arena akan melakoni laga tanpa drama karena semuanya lebih sibuk untuk mencetak gol ketimbang merengek-rengek meminta ‘dukungan’ wasit.
ADVERTISEMENT
El Clasico mungkin memang sudah berubah. Nama-nama baru datang, racikan taktik yang tadinya kita anggap aneh menjadi wajar.
Namun, apa yang kita harapkan dari El Clasico tetap sama. Supaya laga ini bisa memberikan kita kesenangan yang tak dapat dirasakan oleh mereka yang memang enggan menikmati sepak bola. Agar laga ini tetap membuktikan bahwa sepak bola tak sama dengan kisah picisan yang begitu mudah diterka.