Sepenggal Kisah Kuliner dari Pecinan Glodok Saat Imlek

5 Februari 2019 17:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Vihara Dharma Bakti, Pecinan Glodok. Foto: Toshiko/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Vihara Dharma Bakti, Pecinan Glodok. Foto: Toshiko/ kumparan
ADVERTISEMENT
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 siang. Matahari yang berada tepat di atas kepala seakan tak menyurutkan antusias orang-orang untuk menjelajahi setiap sudut kawasan Pecinan Glodok yang mulai memerah dengan aneka ornamen serta barang-barang dagangan khas Imlek. Baik mereka yang memang datang untuk sembahyang ke Vihara Darma Bhakti—salah satu klenteng tertua di Indonesia-- atau sekadar penasaran dengan kemeriahan pergantian Tahun Baru China di kampung Pecinan ini; semuanya membaur, menyesaki jalanan Glodok.
Suasana di Vihara Dharma Bakti, Pecinan Glodok. Foto: Toshiko/ kumparan
Kawasan Glodok memang tak hanya kental akan pesona budayanya saja, tapi juga terkenal dengan kulinernya. Tentu saja, mumpung sedang Imlek, kami pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk berburu kuliner di sana. Setidaknya, kami bisa ikut merasakan secuil atmosfer dari Tahun Baru China ini. Lorong demi lorong di Gang Gloria yang terkenal sebagai ‘rumahnya’ kuliner legendaris pun kami susuri. Sayangnya, di sepanjang gang tersebut, yang buka hanyalah Bakmi Amoy. Sama halnya seperti tahun lalu saat kumparanFOOD bertandang ke sana, di sekitar gang Gloria memang hanya Bakmi Amoy dan Pantjoran Tea House yang masih buka saat Imlek. Untungnya, tak jauh dari situ, ada sebuah kios makan yang cukup menarik perhatian kami, yakni Rujak Shanghai Encim yang juga menjadi salah satu kuliner legendaris di area Pecinan Glodok. Kami segera memesan menu rujak shanghai, beserta liang teh sebagai pelepas dahaga.
Rujak shanghai. Foto: Toshiko/ kumparan
Satu porsi rujak shanghai (Rp 40 ribu) disajikan dalam jumlah yang cukup banyak, dan bisa dinikmati untuk dua orang. Tak seperti rujak pada umumnya yang menggunakan sambal gula merah atau sambal kacang, rujak ini justru disiram dengan saus berwarna merah muda dan taburan kacang tumbuk di atasnya. Menurut sang penjual, saus merah tersebut terbuat dari campuran saus tomat dan bumbu rahasia lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan rasa asam dan manis. Isian rujaknya cukup melimpah, yang terdiri dari potongan juhi (sotong), ubur-ubur, serta kangkung rebus. Bagaimana rasanya? Jujur saja, perpaduan rasa yang dihasilkan sangatlah unik. Juhinya terasa kenyal, sedangkan potongan ubur-uburnya memiliki tekstur renyah, dengan sedikit rasa khas air laut. Dipadukan dengan kangkung yang lembut, ketiganya menciptakan kombinasi tekstur yang kontras, tapi justru saling melengkapi. Taburan kacang tumbuk di atasnya juga menambah rasa gurih dari sajian rujak tersebut. Samar-samar, tercecap cita rasa asam yang membuat hidangan ini terasa segar, apalagi saat dinikmati saat siang hari. Semangkuk bakso penuh kebersamaan dan kehangatan Setelah puas menikmati rujak shanghai, kami pun menyambangi lorong lain yang disebut-sebut dipenuhi dengan aneka kuliner nikmat, yakni Gang Kalimati. Lagi-lagi, semua restoran yang ada di sepanjang lorong tersebut tutup, hanya ada penjual jajanan kaki lima saja.
ADVERTISEMENT
Tak terbayang bagaimana mereka yang datang untuk sembahyang. Tentu setelah berdoa dan berjalan-jalan, rasa lapar juga memanggil. Setelah menyisir hampir seluruh area Pecinan Glodok, langkah kami pun terhenti di dekat perempatan Jalan Toko Tiga. Ada sebuah gerobak bakso yang dipenuhi oleh pengunjung.
Bakso Hawa di Pecinan Glodok. Foto: Safira Maharani/kumparan
Padahal, pedagang bakso tersebut tak punya kios dan hanya memiliki beberapa kursi saja, namun banyak yang rela untuk berdiri sambil menyantap semangkuk bakso pesanannya. Beberapa ada yang baru selesai sembahyang dan beberapa ada yang memang datang untuk menikmati semangkuk bakso di sana. Selayang pandang kami tidak ada yang membuka ponsel; mungkin karena situasi yang terlalu ramai. Sambil menikmati bakso, obrolan hangat mereka yang baru bertemu pun tercipta. Ada yang sekadar minta diambilkan sambal, ada yang menawarkan bangkunya untuk orang lain; tanpa mempedulikan etnisnya. Rupanya, bakso tersebut adalah salah satu kuliner yang sudah lama dikenal di kawasan tersebut. Menurut keterangan sang pemilik, Feri (48), ia telah berjualan bakso bening di Glodok sejak tahun 80’an. Tak heran, sajian bakso bernama Bakso Hawa itu telah memiliki beberapa pelanggan.
Bakso Hawa di Pecinan Glodok. Foto: Safira Maharani/ kumparan
Kami pun turut memesan seporsi bakso campur yang terdiri dari bakso urat dan bakso polos berukuran kecil, serta mi putih seharga Rp 15 ribu. Meski kuahnya terlihat bening, namun saat diseruput, rasa gurih dari bawang putih langsung menyebar ke penjuru lidah. Baksonya sendiri memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal. Meski saat kami berkunjung ke sana pengunjungnya sudah sangat ramai dan penuh sesak, rupanya saat hari biasa jumlah pembeli yang datang lebih ramai lagi.
Suasana makan di Bakso Hawa. Foto: Toshiko/ kumparan
“Kami berjualan setiap hari dari pagi sampai sore hari, dan sehari-hari memang ramai. Kalau sekarang buka ya karena banyak orang yang ke mari untuk cari makan. Kan banyak juga restoran yang tutup karena Imlek,” jelas Feri saat ditemui kumparanFOOD. Siapa sangka, sepenggal perjalanan kuliner di kawasan Pecinan Glodok pada Imlek kali ini menyadarkan kami bahwa sepiring makanan bisa menyatukan banyak orang. Tak peduli etnisnya apa, mereka berbagi tempat duduk, menikmatinya, serta berbaur dalam sebuah kebersamaan.
ADVERTISEMENT