Memanggil “Roh” Musik Anak Indonesia

21 November 2017 14:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi musik dan anak (Foto: Dok. Pixabay)
Pelukismu agung, siapa gerangan. Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan.
Begitulah sepenggal lagu Pelangi-pelangi ciptaan AT Mahmud, satu di antara lagu anak “sepanjang masa” di Indonesia. Lagu yang mengandung rasa syukur kepada Tuhan itu mengingatkan, musik sebagai unsur lagu telah menjadi media pesan penting bagi anak.
ADVERTISEMENT
Melalui musik, beragam petuah bijak dan pengolahan nurani dapat tersampaikan. Inilah kemudian yang menjadikan musik anak-anak memiliki semacam “roh” budi pekerti luhur. Seperti rasa syukur dan pelajaran untuk menghargai sesama.
“Musik juga bisa menimbulkan kehalusan nurani. Kekerasan kan (biasanya muncul) di tingkat pendidikan tinggi. Padahal musik bisa menjadikan anak lebih halus budi pekerti,” tutur Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kepada kumparan, Senin (20/11).
Sayangnya, musik anak Indonesia kini dinilai kian kabur. Minim memuat pesan yang sesuai dengan usia anak-anak. Sejumlah penyanyi anak bahkan membawakan lagu dengan konten cenderung untuk dewasa. Akhirnya, “roh” dan karakter musik anak dinilai makin menghilang.
“Kalau di era saya kecil, masih banyak lagu anak dan penyanyi anak. Sekarang, ada penyanyi anak ada, tapi lagunya orang dewasa. Ini kan tidak cocok dengan perkembangan usianya. Lalu, karena lagunya cinta-cintaan, akhirnya masih kecil pun sudah banyak yang pacaran. Ini berdampak pada karakter akhirnya. Sangat disayangkan,” kata Retno.
ADVERTISEMENT
Handoko Hendroyono, Content Creator dan Produser Film, berpendapat musik anak saat ini bisa dibilang mengalami kekosongan. Lebih memprihatinkan lagi, musik anak, termasuk dalam film anak, juga semakin kurang bergairah dari waktu ke waktu.
“Dulu ada Chica Koeswoyo, Adi Bing Slamet, terus Sherina yang musiknya digarap baik sama Elfa Secioria. Terus cukup lama lumayan kosong,” kata produser film musikal anak Naura & Genk Juara kepada kumparan, Senin (20/11).
Sejauh ini, menurutnya, belum ada pegiat film dan musik anak yang tersistematis dan masif. Padahal keberpihakan industri kreatif terhadap dunia anak-anak sangat diperlukan.
“Ini soal keberpihakan terhadap anak-anak. Bahwa anak-anak itu kreatif, dan itu riil,” ucap Handoko.
musik anak (Foto: zizitom/pixabay)
Jejak Musik Anak Indonesia
Musik anak sejatinya diciptakan dengan gaya anak-anak yang sederhana, polos, ceria, dengan muatan pesan moral. Pada 1970-an, Indonesia semarak dengan musik anak dari para musisi yang karyanya melegenda. Lagu-lagu anak itu bahkan hingga kini masih sering dinyanyikan di Taman Kanak-kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
ADVERTISEMENT
Di antara pencipta lagu anak fenomenal yang dimiliki Indonesia adalah Ibu Sud, Pak Kasur, dan AT Mahmud. Ibu Sud terkenal dengan lagu Tanah Airku, Kupu-kupu, Burung Kutilang, dan Tik Tik Bunyi Hujan.
Sementara Pak Kasur dikenal dengan lagu Potong Bebek Angsa, Bangun Tidur, Naik Delman, Satu-satu, dan Lihat Kebunku. Tak kalah hebat, AT Mahmud dengan dedikasi tinggi menciptakan sekitar 500 lagu anak, salah satunya Pelangi-pelangi.
Periode 1980-an, lagu anak-anak makin eksis di blantika musik Indonesia. Beberapa penyanyi anak ketika itu misalnya Adi Bing Slamet dan Ira Maya Sopha. Tahun 1990-an, ada penyanyi cilik Chiquita Meidy, Eno Lerian, Leoni, Dea Ananda, yang khas dengan lagu tentang persahabatan, pendidikan, kasih sayang ibu, harapan, dan cita-cita.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya anak-anak, orang dewasa pun sempat tercatat mengembangkan lagu anak-anak. Ria Enes misalnya yang dikenal lewat boneka Susan imutnya. Itulah masa keemasan musik anak di Indonesia, sebelum kemudian meredup pada dekade 2000-an.
Kini, roh dalam musik anak perlu dihadirkan kembali. Selain secara substansi, produk musik anak juga perlu dikembangkan. Bukan saja untuk budi luhur anak, namun juga untuk identitas bangsa Indonesia.
Handoko berpendapat, produksi film atau musik anak yang baik sejauh ini misal digarap Korea. Negeri Ginseng ia nilai lihai memasukkan ekosistem musik pada seluruh unsur film, sehingga menjadi sebuah promosi kebudayaan yang masif.
“Di Korea itu tidak sekadar keberpihakan kepada film, tapi juga pada sistem. Mereka terbiasa mengangkat tentang ekosistemnya. Kalau kita lihat, anak-anak kecil di Indonesia cenderung kenal produk-produk Korea. Jadi, peran anak kecil juga cukup penting. Indonesia kurang ke arah itu,” ucap produser yang juga menggarap film Filosofi Kopi itu.
ADVERTISEMENT
Ia juga menyoroti pentingnya keberanian dan inovasi insan-insan kreatif dalam membuka “lahan” baru film atau musik yang melibatkan anak-anak. Sebab sejauh ini, menurutnya, industri film Indonesia masih berkutat di tiga genre kuat saja--horor, komedi, dan roman.
Jika pasar film anak tak digarap, ujar Handoko, maka pihak luarlah yang akan masuk menggarapnya. Padahal, pasar anak Indonesia terhitung besar.
Sulung Landung, Fajar Nugros, Handoko Hendroyono (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Indonesia, kata Handoko, perlu belajar menyinergikan unsur budaya lokal dengan kemasan modern yang menarik. Anak-anak pun, ujarnya, sepantasnya bukan hanya dijadikan “objek” kreatif, tapi dilibatkan menjadi pelaku-pelaku kreatif itu sendiri.
“Jangan dijadikan konsumen, tapi harus kreatif. Diarahkan untuk berinovasi.”
Meminjam perkataan Friedrich Nietzsche, Without music, life would be a mistake, maka musik anak-anak tanpa “roh” adalah sebuah kesalahan.
ADVERTISEMENT