Mencoba Mengenal si Kontroversial Tere Liye, Pencinta Gudeg Yogya

24 November 2017 7:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gudeg Yu Djum (Foto: Dok gudegyudjumpusat.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gudeg Yu Djum (Foto: Dok gudegyudjumpusat.com)
ADVERTISEMENT
Darwis terdiam sejenak mendapati kabar duka berpulangnya sosok Yu Djum, maestro gudeg yang amat ia kagumi. Pikirannya melayang pada kenangan lampau, ketika ia menyambangi warung Yu Djum tiap kali mampir ke Yogya.
ADVERTISEMENT
“Yu Djum adalah teladan paling nampak dari sebuah proses kerja keras, jangka panjang, yang memberikan manfaat bagi begitu banyak bagi orang,” kenangnya.
Bagi Darwis, Yu Djum adalah perempuan Jawa yang tangguh dan sederhana. “Dan meski sudah berhasil, duuh, Yu, eh Mbah Djum masih mau bekerja, ikut menyobek-nyobek daun pisang untuk bungkus gudeg,” kata dia, tak bisa menahan kesedihan.
Pokoknya, Yu Djum adalah idola. Darwis takjub dengan kisah hidup perempuan yang ia yakini tumbuh dari hasil didikan yang hebat itu.
Sejak usia muda, Yu Djum telah mulai berjualan gudeg yang digendong keliling Yogya. Gudeg menjadi sumber penghidupannya selama berpuluh-puluh tahun--dari jalanan dulu, hingga kini memiliki warung sendiri dengan 70 karyawan yang membantu.
Dapur Gudeg Yu Djum. (Foto: Dok gudegyudjumpusat.com)
zoom-in-whitePerbesar
Dapur Gudeg Yu Djum. (Foto: Dok gudegyudjumpusat.com)
Berkat kerja keras tak putus itu, Yu Djum menjadi legenda gudeg. “Itu bisa jadi novel serial malah, atau serial televisi. Karena di dalamnya termasuk gudeg pesanan presiden, mantan presiden, artis, pesohor, dan orang-orang top lainnya,” kata Darwis.
ADVERTISEMENT
“Mau kaya, miskin, pejabat tinggi, buruh, kuli, berkerumun. Mau alim, berpendidikan, tidak sekolah, semua menikmati gudeg yang lezat itu. Mau orang baik, orang jahat, lihatlah, semua melahap nikmat gudeg Yu Djum. Sudah menikah, berkeluarga, jomblo, juga bisa ikut. Pun mau yang foto rame-rame, atau selfie sendirian bareng tiang warung, juga tetap bisa menikmati,” ujar Darwis dalam notes berjudul Gudeg Yu Djum yang ia unggah di akun Facebook-nya, 16 November 2016.
Yu Djum, tegas Darwis, ialah hakikat kebermanfaatan. Ia memantul jauh ke mana-mana, tanpa melihat siapa yang merasakannya. Selamat jalan pun diucap Darwis kepada Yu Djum yang telah kembali ke pangkuan Ilahi.
Tere Liye  (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tere Liye (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Darwis tak lain adalah sosok yang banyak dikenal orang nama pena Tere Liye. Konon, Tere Liye memiliki arti “untukmu” dalam Bahasa India.
ADVERTISEMENT
“Tere Liye orang yang sangat unik. Dia enggan terkenal atau dipublikasikan. Dia pernah bilang, ‘Biar orang mengenal karya Tere Liye, bukan siapa sosok Tere Liye,’” ucap Syahrudin, mitra kerja Tere di Republika Penerbit, kepada kumparan, Rabu (22/11).
Tere selama ini memang dikenal sebagai penulis yang relatif tertutup, utamanya terkait pribadi atau sosoknya sebagai individu. Ia jarang mengunggah foto di sosial media.
“Tere orang yang tidak mau diajak foto bersama, apalagi selfie. Tak peduli siapapun yang meminta, termasuk pejabat sekalipun,” kata Syahrudin.
Tere juga tak peduli dengan pendapat orang lain. “Ketika mengisi acara misal, dia nggak mau ambil pusing dengan si pengundang. Dia datang, naik ojek, pakai sandal jepit, kaus oblong. Enggak peduli dengan sindiran orang,” ujar Syahrudin.
ADVERTISEMENT
Syahrudin mengenal Tere sebagai rekan kerjanya dalam penerbitan. Setidaknya, ada 15 buku Tere yang diterbitkan Republika, tempat Syafrudin bekerja. Beberapa di antaranya yang paling laris adalah Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Pulang, Tentang Kamu, Bidadari-Bidadari Surga, Sunset dan Rosie, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dan Berjuta Rasanya.
Buku-buku Tere, menurut Syahrudin, termasuk karya yang paling ditunggu penerbit. Karena selain selalu laris manis di pasaran, juga menginspirasi banyak pembaca. Dengan kata lain, nama Tere adalah jaminan bagi penerbit.
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
“Bukunya bisa dicetak 3.000 hingga 25.000-40.000 eksemplar. Rata-rata yang diterbitkan di Republika Penerbit dicetak hingga 20-40 kali cetak ulang,” tutur Syahrudin.
Tak heran ketika 31 Juli lalu Tere mengumumkan berhenti menerbitkan buku karena soal pajak royalti penulis, Republika Penerbit dan Gramedia Pustaka Utama menyesalkan meski memahaminya.
ADVERTISEMENT
Pada laman Facebook-nya, 5 September, Tere menjelaskan sumber kejengkelannya soal pajak royalti penulis tersebut:
Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan 2 kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit. Itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya.
Artis, pengusaha, lawyer, wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa. Sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk dalam sistem.
Masih ada yang menyamai pajak penulis buku, yaitu karyawan swasta dan PNS. Dari angka 1 miliar (penghasilan per tahun misalnya), mereka dikurangi dulu biaya jabatan 5%, lantas dikalikan layer-layernya.
Pajak karyawan swasta/PNS kurang lebih 5% lebih rendah dibanding penulis. Tapi catat baik-baik, penulis adalah profesi pekerjaan bebas, bukan karyawan tetap. Beda sekali sifatnya. Penulis bisa sukses, bisa gagal. Bukunya bisa laku, bisa tidak. Penghasilannya bisa ada, lebih banyak tidaknya. Tapi karyawan swasta dan PNS, gajinya pasti, tetap sifatnya, dan diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
ADVERTISEMENT
[...] Penulis buku adalah yang paling dermawan kepada pemerintah (meski rumahnya paling kecil, mobilnya paling sederhana). Mereka ternyata membayar pajak dengan jumlah masif.
Apakah pemerintah tahu permasalahan ini? Tahu. Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf. Meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya.
Atas progress yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya, Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu. 28 buku-buku saya tidak akan dicetak ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah di buku hingga Desember 2017.
ADVERTISEMENT
Minggu-minggu ini, kalau kalian ke toko, toko-toko buku Gramedia sedang masif menjualnya, membuat display khusus, dll, agar semakin cepat habis. Per Januari 2018, kalian tidak akan lagi menemukan buku-buku itu di toko buku. Jika masih ada toko buku yg menjualnya, itu berarti bajakan, my friend :) → lagi-lagi, sudah pajaknya besar, buku bajakannya juga banyak sekali.
Buku-buku Tere Liye. (Foto:  Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku-buku Tere Liye. (Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
Keputusan Tere Liye menghentikan penerbitan buku-bukunya--yang laku keras dan terus dicetak ulang--tak pelak menjadi kehilangan besar bagi penerbit.
“Kami semua sangat kehilangan,” sesal Syahrudin, kawan Tere di Republika Penerbit.
Bukan hanya berdampak ke penerbit, keputusan Tere menuai reaksi banyak pihak, termasuk Termasuk Direktorat Jenderal Pajak hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani--yang langsung menemuinya untuk membahas persoalan pajak royalti penulis tersebut.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya sekali, dua kali Tere Liye memantik perbincangan riuh di jagat maya. Sebelum itu, 19 Februari 2016, postingan Tere terkait LGBT dihapus oleh Facebook. Seperti ini postingan Tere kala itu:
Homo, lesbi, banci, itu semua adalah gangguan kejiwaan, penyakit dan bisa ditularkan oleh gaya hidup…”
Ucapan itu lantas dikecam karena belum ada penelitian yang membuktikan LGBT merupakan gangguan jiwa, penyakit, dan menular.
Berikutnya, Maret 2016, penulis asal Sumatera itu kembali menulis status yang dianggap menunjukkan ketidakpahamannya akan sejarah Indonesia.
“…Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang?...” tulis Tere--yang langsung banjir jawaban.
Tere Liye alias Darwis. (Foto: ub.ac.id/Fb/Tere Liye)
zoom-in-whitePerbesar
Tere Liye alias Darwis. (Foto: ub.ac.id/Fb/Tere Liye)
Terbaru, nama Tere kembali ramai diperbincangkan. Kali ini tentang umbaran amarahnya kepada netizen yang menggunakan kutipan dari buku-bukunya untuk foto selfie--yang sejatinya menurutnya adalah ajang pamer di media sosial.
ADVERTISEMENT
Woi, lu yang mau pamer foto selfie, kagak usah lu pakai2 caption pinjam quote page Tere Liye ini. Asyik betul foto selfie, wajah sudah kayak lemari menuhi seluruh layar, monyong2, sok cantik, sok ganteng, lantas caption di bawahnya: "Inilah hidupku, dstnya, dstnya - Tere Liye…
Termasuk kalian yang selebgram top dengan follower jutaan. Berhenti pakai quote page ini di akun kalian. Kagak nyambung. Lah, yg punya quote, kagak sekalipun posting fotonya sendiri. Ini bukan sok suci, sok bermoral, ini simpel soal: kalau lu mau selfie, mau pamer, mikir sendiri captionnya! Bikin sendiri. Jangan ajak2 Tere Liye untuk mendukung aktivitas pamer kalian.
Galak betul, tampaknya. Hingga sejumlah orang yang menggunakan kutipan Tere dalam foto di Instagram mereka, buru-buru menghapusnya ketimbang dianggap cari perkara. Meski, sebagian lainnya malah jahil dengan sengaja memasang kutipan Tere saat ber-selfie ria.
ADVERTISEMENT
“Tere Liye memang unik,” kata Syahrudin. Lewat dia, biasanya para awak media menghubungi Tere Liye.
“Mau ngobrol dengan Tere Liye dong, Pak,” ujar kami.
Syahrudin menjawab, “Tere Liye paling susah kalau diajak ketemu.”
Hmm, semoga kapan-kapan bisa berjumpa dan berbincang hangat dengan si penulis kontroversial. Mana tahu, ada inspirasi berharga bisa dipetik--meski tak untuk dipajang di foto selfie.
Tere Liye (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tere Liye (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)