Mengenang João Gilberto, Pelantun Pertama 'The Girl from Ipanema'

12 Juli 2019 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
João Gilberto Foto: AFP/Marco HERMES
zoom-in-whitePerbesar
João Gilberto Foto: AFP/Marco HERMES
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tak ada lagi João Gilberto di antara kita. Legenda jazz dunia itu telah pergi ke menuju keabadian. Meninggalkan sejumlah karya manis kepada para penggemarnya. Dan tentu saja, ‘The Girl from Ipanema’ adalah satu dari sekian banyak karya manisnya itu.
Gilberto meninggal dunia di usia ke-88 tahun pada Sabtu 6 Juli 2019. Kabar kematiannya pertama kali diumumkan di Facebook oleh putranya, Marcello Gilberto.
“Ayah saya telah berpulang. Perjuangannya mulia, ia berusaha menjaga martabat,” tulis Marcello.
João Gilberto Foto: Getty Images/Dario Zalis
Berita kematian Gilberto pun menyebar dengan cepat. Rakyat Brasil melepas Gilberto dalam derai air mata. Di mata mereka, Gilberto bukanlah sekadar penyanyi jazz. Lebih dari itu, Gilberto sudah dianggap sebagai pahlawan nasional.
Maka, bukan hal yang mengejutkan kala nama Gilberto muncul di Stadion Maracana, Rio de Jeneiro, Brasil.
ADVERTISEMENT
Nama vokalis Bossa Nova legendaris itu disebut sebelum laga final antara Brasil vs Peru di Final Piala Copa America, Minggu 7 Juli 2019. Tribun yang tadinya riuh pun mendadak sunyi. Mereka semua mengheningkan cipta selama satu menit untuk Gilberto.
Para pemain Brasil menyanyikan lagu kebangsaannya sebelum laga final Copa Amerika, Brasil vs Peru. Foto: Reuters
Lahirnya Bossa Nova
Lahir di tanah yang tandus di timur laut Brasil, Gilberto mulai dikenal sebagai penyanyi pada tahun 1950. Jauh sebelum itu, Gilberto hanyalah seorang anak yang lahir di Bahia, sebuah kawasan paling miskin di Brasil.
Dalam laporan The Economist, Gilberto dikisahkan seringkali menghabiskan berbulan-bulan waktunya untuk bermain gitar. Aksinya itu tak dilakukan di rumahnya sendiri, melainkan di kamar tidur rumah saudarinya.
Gilberto memang begitu terobsesi menciptakan cara baru dalam memetik gitar. Ia tergila-gila pada Frank Sinatra, penyanyi jazz kondang asal AS. Segala cara dia tempuh untuk menjadi ‘sesempurna’ Sinatra. Caranya, dengan belajar secara otodidak.
João Gilberto Foto: Getty Images/Michael Ochs
Dari hasil ketekunan bermain gitar, Gilberto lantas menemukan formula baru dalam gaya bermusik. Gaya itu ia sebut sebagai Bossa Nova. Seni memunculkan ritme yang singkat, ditambah akord (kumpulan tiga nada) yang kompleks. Serta diiringi dengan gaya bernyayi yang lembut. Bossa Nova adalah perpaduan antara musik tradisional Brasil, samba, dengan aliran musik jazz.
ADVERTISEMENT
Kala Gilberto tengah naik daun, ia mulai dekat dengan Antônio Carlos Jobim. Perkenalan pertama mereka terjadi pada 1957 di Rio de Jeneiro. Jobim sendiri bukan orang sembarangan. Ia adalah musisi sekaligus direktur label rekaman bernama Odeon Records.
Menurut Jobim, Gilberto adalah sosok musisi yang berbakat. Bahkan, ia punya ide untuk menggunakan irama gitar Alberto untuk lagunya yang belum selesai, yaitu ‘Chega de Saudade’.
Antonio Carlos Jobim. Foto: Getty Images/Michael Ochs
Dari segi penghasilan, ‘Chega de Saudade’ memang tak begitu istimewa. Namun, berkat lagu itu, Brasil memiliki sebuah gaya bermusik baru yakni Bossa Nova.
'The Girl of Ipanema' yang Melegenda
Di tahun 1962, Gilberto menelurkan sebuah album Getz/Gilberto bersama istrinya saat itu, Astrud Gilberto, Stan Getz, dan Jobim. Kala itu, album tersebut menjadi salah satu album jazz terlaris sepanjang masa. Sejarah mencatat bahwa album itu terjual terjual lebih dari dua juta salinan di 1964.
João Gilberto Foto: AFP/Ari Versiani
Kesuksesan itu pun dan membawa pulang piala Grammy untuk Album of the Year, sebagai album non-Amerika pertama dengan pencapaian fantastis. Album itu juga memenangkan Jazz Album of the Year, dan status Grammy Hall of Fame.
ADVERTISEMENT
Salah satu lagu dalam album tersebut adalah ‘The Girl of Ipanema’ (Garota De Ipanema). Sebuah lagu yang berhasil menempati peringkat ke-5 di Billboard Hot 100. Wall Street Journal meyakini lagu itu sebagai sebagai lagu kedua paling banyak direkam dalam sejarah setelah lagu ‘Yesterday’ milik The Beatles
Dalam sebuah esai berjudul Bossa Nova and Hope in Brazil, Mitch Huber, Heather Brown, Rebecca Roche,dan Jacob Murillo sepakat bahwa Bossa Nova adalah penanda dari modernitas di Brasil. Ia adalah simbol kemapanan, kosmopolitanisme, serta perlawanan terhadap kolonialisme.
Tak heran, Gilberto dicintai lantaran dianggap membawa optimisme kepada masyarakat Brasil. Musik Bossa Nova adalah cerita tentang harapan, cinta, dan keindahan. Semua bergembira di atas Bossa Nova racikan Gilberto.
ADVERTISEMENT
Menariknya, masyarakat AS pun turut menggandrungi Bossa Nova. Di era 1960-an, tepatnya sebelum grup musik asal Inggris, The Beatles, menginjakkan kakinya, Bossa Nova jauh lebih dulu tiba. Hal itu lantaran undangan seorang presenter legendaris bernama Ed Sullivan yang mengundang Gilberto.
Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada 1968, Gilberto menyebut gaya bernyanyinya adalah seni mengukapkan isi hati. Ibaratnya, kata dia, bernyanyi adalah menulis di atas lembar kosong.
“Ketika saya bernyanyi, saya memikirkan ruang terbuka yang cerah. Tentu, saya akan bernyanyi di dalamnya,” kata Gilberto.