LIPSUS Dari Cerita ke Sinema (cover 1)

Penulis Naskah, Menyulap Cerita ke Layar Sinema

29 Maret 2019 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dari Cerita ke Sinema Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dari Cerita ke Sinema Foto: Basith Subastian/kumparan
Apa filmnya nanti bakal sekeren bukunya? Apa pembikin film akan mengubah cerita dalam novel asalnya?
Pertanyaan-pertanyaan tadi seringkali muncul saat sebuah novel akan diadaptasi menjadi film. Bukan cuma dari pembaca, bahkan, si empunya cerita juga punya kebimbangan yang sama.
Andrea Hirata, misalnya. Ia sudah tak ingat lagi berapa produser yang datang dengan proposal memfilmkan novel best seller-nya, Laskar Pelangi.
“Setiap penulis memiliki kekhawatiran. Apabila karyanya diadaptasi, nanti akan jadi seperti apa?” kata Andrea. Di sela-sela peluncuran buku barunya, Orang-orang Biasa, di kawasan Setia Budi, Kamis (28/3), ia berkisah panjang lebar kepada kumparan soal alih-wahana Laskar Pelangi menjadi film 10 tahun yang lalu.
Pada akhirnya datanglah Mira Lesmana dan Riri Riza. Pertemuan ketiganya tidak direncanakan, namun justru berakhir pada sebuah persetujuan. Dari obrolan santai usai diskusi buku, ketiganya langsung mendapatkan kecocokan dari satu sama lain.
Kecocokan dari pertemuan itu membuat Andrea teguh mempercayakan pembuatan film Laskar Pelangi ke rumah produksi Miles Film.
Andrea Hirata dan Buku Laskar Pelangi edisi berbahasa Inggris. Foto: Dokumen AH Manajemen
Mira, Riri, dan kemudian bersama Salman Aristo, berkolaborasi menuliskan novel Laskar Pelangi ke dalam sebuah naskah film. Ketiganya bertolak ke Belitung guna melakukan riset bersama—proses awal penulis skenario untuk mendapatkan fondasi bangun cerita yang kuat di sebuah film.
Andrea sendiri yang menemani mereka ke Belitung. Mereka mendatangi lokasi-lokasi eksotik tempat Lintang dan Ikal terseok-seok mengejar mimpi, menemui tokoh-tokoh asli di sekitar 11 anggota laskar, dan melakukan wawancara. Agar tak mengkhianati cerita, penulis benar-benar menyelami ruh dalam setiap rangkaian kalimat pada novel dan wawancara tersebut.
Setelahnya, Andrea Hirata tidak banyak intervensi. Ia serah dan percayakan semuanya pada para sineas. Hanya saja, satu hal yang selalu ia tekankan, adalah tekadnya mempertahankan nilai utama yang ada di novel agar tersalur sempurna ke dalam film.
“(Biar) orang habis nonton film ini ingin sekolah, ingin menyelesaikan skripsi yang tertunda, ingin sekolah lagi, ingin mengajar lagi. Itu saja,” ujar Andrea mengingat apa yang ia sampaikan pada Mira dan Riri.
Ia percaya sepenuhnya, meski itu berarti terus muncul kemungkinan detail film tak senada dengan buku yang ditulisnya.
“Saya percaya sama artistic integrity-nya Mira Lesmana dan Riri Riza,” katanya.
Poster Laskar Pelangi. Foto: Dok. Imdb
Betul saja. Beberapa bagian cerita pada film disesuaikan, seperti latar waktu cerita. Di film, cerita tokoh Laskar Pelangi hanya berkutat di sekolah dasar. Padahal di dalam novel, keseluruhan cerita terentang dari masa SD sampai SMP.
Selain itu, satu perubahan cerita yang paling terasa adalah meninggalnya Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah, yang sehat walafiat sampai novel Laskar Pelangi selesai dituturkan.
"Film butuh dramatic turning point, sebuah titik dorong yang membawa cerita ke arah yang lebih kuat. Di novel kadang tidak dibutuhkan, tapi di dalam film itu dibutuhkan," kata Riri kepada kumparan, Kamis (28/3).
Andrea sendiri justru puas dengan perubahan ini. Menurutnya Miles, Riri, Salman, dan kru adalah tim terbaik yang bisa ia harapkan menggarap Laskar Pelangi.
I don’t mind,” kata Andrea. “Karena jika film tanpa itu, dia tidak bisa membuat gambaran yang kuat bagaimana Bu Muslimah memperjuangkan sekolah,” lanjutnya
Dalam film, setelah kepergian Pak Harfan, Bu Muslimah menjadi satu-satunya guru yang tersisa untuk mengajar 11 orang Laskar Pelangi. Penyesuaian cerita yang dilakukan penulis skenario berhasil menggambarkan keterpurukan Bu Muslimah selepas kepergian Pak Harfan.
“Saat saya membangun cerita, karakter itu saya tajamkan. Ada wants, ada needs, ada believe, ada weakness, fear, value, macam-macam,” kata Salman di kantor Wahana Kreator Nusantara, Jakarta Selatan, Selasa (26/3).
Menurutnya, kematian Pak Harfan diperlukan agar Bu Muslimah mampu tumbuh sebagai sebuah karakter. Usai Pak Harfan tiada, Bu Muslimah punya ruang untuk berduka, bolos mengajar, hingga akhirnya mampu kembali dengan keteguhan yang lebih besar.
“Karakter tumbuh dalam perubahan. Ada titik awal, ada titik akhir. Kalau nggak bergerak, ya apa ceritanya?” tanya Salman.
Salman Aristo penulis skenario Laskar Pelangi Foto: Ulfa/kumparan
Kegamangan penulis cerita untuk memfilmkan karyanya juga dirasakan oleh Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara. Berulangkali permintaan produser untuk memfilmkan ceritanya ia tolak.
Novel itu, kata Fuadi, ia tulis dengan sepenuh sepenuh hati. Setiap kalimatnya ia pilih dengan saksama. Ia cemas, jika difilmkan, cerita tersebut akan memberi pemahaman berbeda dengan bukunya.
Salman Aristo adalah orang ketujuh yang meminang Negeri 5 Menara untuk diadaptasi. Fuadi bercerita, Salman secara terbuka menjelaskan secara gamblang bahwa cerita novel dan film tidak mungkin bisa sepenuhnya sama.
Namanya saja adaptasi. Artinya, ada ruang pengembangan kreativitas dari sisi pekerja film. “Yang kita jaga adalah semangatnya,” janji Salman kala itu, sebagaimana diceritakan Fuadi kepada kumparan, Rabu (27/3).
Penjelasan Salman yang tak berlebihan memberi janji justru membuat Fuadi memutuskan untuk membuka diri dan belajar ikhlas. Toh, menurutnya tujuan utama dia menuliskan buku Negeri 5 Menara adalah untuk berbagi pesan.
“Sedangkan yang membaca buku itu kan terbatas,” aku Fuadi saat akhirnya mengiyakan pinangan tersebut.
Salman bertindak sebagai penulis dan produser dalam produksi film tersebut. Ia menempatkan Fuadi sebagai konsultan kreatif, yang di berbagai kesempatan memberikan masukan dalam membangun adegan dari sebuah narasi yang kadang abstrak dan sulit.
Seperti dalam menyampaikan motivasi “Man Jadda WaJada” (siapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil) yang pada novel banyak bergulir lewat narasi.
Kalimat tersebut pada akhirnya digambarkan lewat sebuah adegan di mana seorang guru bernama Ustaz Salman mencoba memotong bambu dengan pedang yang tumpul dan berkarat. Beberapa kali mencoba, bambu berhasil terbelah karena determinasi yang kuat.
Sulitnya menerjemahkan cerita menjadi sebuah film tak hanya dihadapi oleh si penulis buku, namun juga penulis skenario.
Yosep Anggi Noen, penulis skenario, sutradara, sekaligus produser dalam film Istirahatlah Kata-kata (2016), merasakan hal yang sama. Ia mengatakan ada beberapa tahap yang tidak bisa dilewatkan sebelum sebuah naskah adegan bisa dibuat.
Pada awalnya adalah sinopsis, yang biasa digunakan produser untuk mendapatkan pendanaan. Setelah itu, barulah treatment atau storyline, yang berisi urutan peristiwa-peristiwa yang nantinya muncul dalam naskah. Setelah itu, barulah penulis naskah mengembangkan draf pertama dari sebuah film, draf kedua, dan seterusnya.
“Jadi, script itu bisa berjilid-jilid, berdraf-draf, bisa dibongkar pasang sesuai dengan kebutuhan,” kata Yosep Anggi Noen soal proses kreatifnya dalam menulis skenario film.
Sementara itu, Salman Aristo yang menjadi penulis naskah film-film laris macam Laskar Pelangi (2008), Ayat-ayat Cinta (2008), Garuda di Dadaku (2009), Sang Penari (2011), menekankan peran premis yang amat penting menjadi landasan bangun sebuah cerita.
Ia dan Salman setuju, premis yang terbangun kokoh akan mampu mempertahankan visi dari cerita sampai skenario selesai ditulis—baik itu cerita adaptasi maupun ide original.
“Karena ide itu nggak pernah tangible sampai dia harus dituliskan. Maka, yang harus saya kerjakan adalah mentransfer ide dengan tools yang namanya premis,” kata Salman.
Bangunan premis kemudian berlanjut pada sebuah plot atau alur cerita. Baru, dari situ, cerita dikembangkan ke dalam tiga babak: cerita awal, tengah, akhir.
Proses tersebut berlanjut dengan membagi cerita ke dalam—standarnya—delapan rangkaian beat atau step outline yang disebut Anggi sebagai storyline. Dalam detak ini, barulah terasa naik turunnya cerita yang kemudian dijabarkan lagi ke dalam adegan per adegan di skenario.
Ilustrasi Penulisan Naskah. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan skenario film adaptasi dan original tentu saja berbeda. Dari pengalamannya menulis, memproduseri, dan menyutradarai puluhan film, Riri Riza menilai keduanya memiliki tantangan dan kesulitannya masing-masing.
Menurutnya, penulisan naskah dari cerita original mengharuskan penulis menguji lebih banyak hal. Misalnya saja kemapanan karakter tokoh, kekuatan alur cerita, dan pesan yang ingin disampaikan.
Hal itu berbeda dengan novel yang telah memiliki pembaca setia, popularitas film dari cerita original tidak cukup terjamin. Cerita yang diambil dari materi yang sudah terlebih dulu ada—seperti remake film maupun adaptasi novel atau cerpen—membuat produser film mampu menghemat waktu dan biaya produksi.
Selain itu, popularitas materi yang akan difilmkan cukup terbantu karena sudah lebih dulu mempunyai pembaca.
”(Kalau) kita punya materi cerita yang sudah lebih dulu dikenal publik, potensi pasarnya sudah ada. Calon penonton pun sudah terkoneksi dengan tokoh-tokohnya,” kata Riri.
Ia memberi contoh film Laskar Pelangi, yang sebelum tayang pun sudah memiliki penggemar tradisional lewat pembaca novel best seller itu. Maka, ia tak kaget ketika Laskar Pelangi menjadikan salah satu film yang paling ditunggu jadwal tayangnya.
Penulis skenario terbaik versi Piala Citra FFI dalam lima tahun terakhir Foto: Basith Subastian/kumparan
Penulisan skenario merupakan sebuah proses yang rumit dan panjang. Meski begitu, proses tersebut tetap memerlukan perhatian kelas wahid dalam sebuah rangkaian produksi mengingat ia menentukan bagus-tidaknya sebuah film.
“Seperti yang (Alfred) Hitchcock bilang, skenario jelek akan sulit jadi film lumayan. Tapi, skenario bagus itu, at least, dia jadi film lumayan,” kata Salman.
Menurut Salman, meski akan ada bagian dari skenario yang terbuang dalam proses syuting ataupun editing, tanggung jawab menyusun cerita film yang bagus tetap berada di jari-jari penulis skenario.
“Walaupun, jangan juga lantas kalau ada film jelek yang disalahin skenarionya. Nggak fair. Skenario itu cuma pondasi. Siapa yang bangun temboknya? Kalau (yang jelek) temboknya tapi lu protes penulis skenario ya salah alamat,” kata Salman.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten