Setelah ‘Bugs’, Andreas Johnsen Angkat Kisah Ayah Drummer Metallica

10 Mei 2018 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Andreas Johnsen. (Foto:  Alexander Vito/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Andreas Johnsen. (Foto: Alexander Vito/kumparan)
ADVERTISEMENT
Memenangkan kategori 'Best Documentary' di Bodil Award 2014 lewat film ‘Ai Weiwei The Fake Case’ (2013), maestro dokumenter asal Denmark, Andreas Johnsen, akan mempertunjukkan karya terbarunya. Film bertajuk ‘Bugs’ akan diperlihatkan Johnsen di festival film 'Europe on Screen' yang digelar di Indonesia pada 3 Mei hingga 12 Mei mendatang.
ADVERTISEMENT
Sukses tayang dalam bentuk film layar lebar dan dua serial televisi, selama penggarapan film ‘Bugs’ hingga kini, Johnsen mengaku sedang mengerjakan satu film dokumenter. Namun, film tersebut bukan tentang isu sosial, melainkan kisah perjalanan hidup Torben Ulrich, ayahanda dari drummer Metallica, Lars Ulrich.
“Torben Ulrich adalah sosok yang sangat hebat dan menginspirasi, aku menyukainya. Dia berusia 90 tahun, mantan pemain tenis profesional, musisi jazz, jurnalis, pelukis, orang Buddha yang taat, dia selalu meditasi setiap hari dan sangat baik,” ungkap Johnsen saat ditemui di Ke:Kini Ruang Bersama, Cikini, Jakarta Pusat.
Lars Ulrich dan Torben Ulrich. (Foto: Instagram @metallica_community)
zoom-in-whitePerbesar
Lars Ulrich dan Torben Ulrich. (Foto: Instagram @metallica_community)
Selama lebih dari 16 tahun menjadi sutradara film dokumenter, pria asal Coppenhagen, Denmark, itu mengaku bahwa semua film karyanya tercipta berdasarkan rasa penasaran dan kekagumannya pada sebuah isu sosial atau tokoh dunia.
ADVERTISEMENT
“Biasanya karena aku penasaran dengan satu topik, aku mulai ingin melakukan riset dan aku kemudian akan membuat film,” tuturnya.
Meski mampu menciptakan film fiksi, Johnsen mengaku jatuh cinta pada proses penggarapan film dokumenter yang memakan waktu lama dan mendalam.
“Aku tidak menulis skenario. Saat membuat film dokumenter, aku sama sekali tak tahu bagaimana hasil akhirnya. Berbeda dengan film fiksi yang pasti memiliki skenario dan rencana,” kata Johnsen.
Meski banyak orang menganggap bahwa film dokumenter adalah gambaran asli dari apa yang benar-benar terjadi di dunia, Johnsen menganggap film dokumenter dan fiksi tidak memiliki perbedaan berarti kecuali proses produksi. Film dokumenter hanya terlihat nyata karena tidak menggunakan aktor profesional, namun tetap saja semua jalan cerita merupakan sudut pandang dari sang sutradara.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang yan beranggapan bahwa, ‘film dokumenter itu nyata’, tapi sebenarnya tidak ada yang nyata. Film yang kubuat adalah opiniku, kebenaranku, itu pandanganku pada sebuah topik. Biar pun aku berusaha objektif, tetap saja itu adalah prespektifku, editor, dan tim,” ujarnya.
Dengan pendekatan yang baik, seorang sutradara film dokumenter bahkan bisa memiliki jutaan teman dari seluruh dunia. Johnsen bercerita, berawal dari film dokumenter yang digarapnya, ia bisa menjalin persahabatan erat dengan pria asal Brazil yang menjadi narasumber utama untuk film dokumenter pertamanya, ‘Mr Catra: The Faithful’ (2004).
Andreas Johnsen. (Foto:  Alexander Vito/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Andreas Johnsen. (Foto: Alexander Vito/kumparan)
“Semua orang bahagia saat aku mengambil gambar mereka karena aku sudah terlebih dahulu melakukan pendekatan, kadang hingga berbulan-bulan. Tidak pernah ada yang marah denganku,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Belum bisa dipastikan kapan film dokumenter tentang Torben Ulrich dirilis. Namun, melihat kesuksesan ‘Ai Weiwei The Fake Case’ dan ‘Bugs’, karya berikutnya dari Johnsen sepertinya patut untuk dinantikan-nantikan oleh para pecinta film, khususnya karya-karya pelaku industri film Eropa.