Finger Heart Hingga BTS: Bukti Mendunianya Budaya Korea

22 Desember 2018 11:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Finger heart, gestur yang sering digunakan idola K-Pop. (Foto: Matheus Marsely & Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Finger heart, gestur yang sering digunakan idola K-Pop. (Foto: Matheus Marsely & Putri Sarah Arifira/kumparan)
ADVERTISEMENT
Disadari atau tidak, belakangan ini, semakin banyak di antara kita yang menggunakan gestur K-Pop dalam kehidupan sehari-hari. Misal, dengan menggunakan kata-kata sapaan seperti 'unnie' dan 'oppa'. Atau membuat gestur hati menggunakan tangan, seperti yang dilakukan Presiden OCA, Sheikh Ahmad Al Fahad Al Sabah dalam penutupan Asian Games 2018 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Uniknya, gestur ini tidak hanya digunakan oleh fans K-Pop saja. Banyak orang-orang yang sama sekali tidak menggemari budaya populer Korea Selatan (Hallyu Wave), ikut menggunakan gestur ini.
Presiden OCA, Sheikh Ahmad Al Fahad Al Sabah. (Foto: AFP/ADEK BERRY)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden OCA, Sheikh Ahmad Al Fahad Al Sabah. (Foto: AFP/ADEK BERRY)
Untuk mengulik lebih dalam soal fenomena ini, kumparanK-Pop berbincang dengan sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine. Dalam wawancara yang dilakukan baru-baru ini, Daisy menjelaskan, apa yang terjadi sebenarnya adalah efek globalisasi. Dengan kata lain, ada banyak masyarakat yang menggunakan gestur-gestur tersebut karena budaya populer Korea Selatan memang sedang ‘ngetren’ di berbagai belahan dunia.
"Jadi, semuanya bisa memaknai hal itu (gestur K-Pop) bersama-sama. Muncullah bibit-bibit kayak budaya global. Karena, sebagian besar orang yang mengikuti fenomena Korean Wave ini jadi bisa mengerti bahasanya," sebut staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
Daisy juga menjelaskan, ini tak lepas dari Hallyu Wave atau gelombang kebudayaan populer Korea Selatan, yang sedang menjalar di dunia. Berbagai komponen dalam budaya tersebut--mulai dari musik, drama, makanan, fashion, hingga riasan--kini telah mendapat tempat dalam industri populer mainstream dunia.
"Menariknya (adalah), mereka berhasil menjadi popular culture yang bisa diterima oleh berbagai komunitas dan berbagai masyarakat di dunia. Jadi, pasarnya luas sekali,"ujar Daisy.
Penyanyi grup pria Korea, BTS, hadiri Konferensi Pemuda Strategis (Youth Strategy Conference) di markas besar PBB saat Sidang Umum PBB ke-73 di New York, AS, Senin (24/9/2018). (Foto: REUTERS / Caitlin Ochs)
zoom-in-whitePerbesar
Penyanyi grup pria Korea, BTS, hadiri Konferensi Pemuda Strategis (Youth Strategy Conference) di markas besar PBB saat Sidang Umum PBB ke-73 di New York, AS, Senin (24/9/2018). (Foto: REUTERS / Caitlin Ochs)
Daisy mencontohkan, bukti nyata efek globalisasi Hallyu Wave bisa dilihat dari kesuksesan boyband K-Pop populer, BTS. Boyband besutan agensi Korea Selatan, Big Hit Entertainment itu, mendapat tempat untuk berpidato di sidang umum PBB pada September 2018. Lagu-lagu mereka juga berhasil menembus pasar Amerika Serikat, dibuktikan dengan seringnya lagu mereka menghiasi Billboard Music Chart.
ADVERTISEMENT
Menurut Daisy, ini melambangkan kalau industri budaya populer Barat dan Hallyu Wave mulai bisa berjalan beriringan. Padahal, sebelumnya, industri budaya populer dunia sangat didominasi oleh Amerika.
“Ini bukan sekadar konflik, ya.Kalau kalau saya, lihatnya malah bisa berjalan beriringan,” sebut Daisy.
Hallyu Wave sebagai mekanisme industri budaya populer
Heart sign, gestur ala idola K-Pop yang banyak ditiru publik. (Foto: Matheus Marsely/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Heart sign, gestur ala idola K-Pop yang banyak ditiru publik. (Foto: Matheus Marsely/kumparan)
Secara lebih luas, Daisy menerangkan, fenomena Hallyu Wave bisa dimengerti dengan memandangnya sebagai sebuah industri budaya populer. Ia berpendapat, musik, gaya, maupun gestur khas Korea Selatan diadopsi secara masif oleh masyarakat karena didukung oleh sistem dan jaringan yang kuat pula.
"Kerjanya juga (seperti) industri. Ada manajemen, ada pengorganisasian yang jelas, ada tujuan yang jelas, target yang jelas," tuturnya.
"Yang dihasilkan memang mass culture. Budaya massal ini tidak berbatas negara. Pangsa pasarnya global, begitu," tambahnya lagi.
ADVERTISEMENT
Tentunya, ada efek positif dan negatif yang datang bersama luasnya penyebaran budaya ini. Meskipun mereka yang terpapar budaya ini mungkin merasakan dampak positif, tak pelak, pasti ada juga dampak negatif yang mengiringi. Misalnya, konsumerisme.
Akan tetapi, menurut Daisy, ini bukanlah sesuatu yang lantas harus dianggap sebagai ancaman, termasuk di Indonesia. Terutama, karena kini dunia sudah seperti 'tanpa batas'.
"Kalau kita cuma punya posisi takut pada penetrasi budaya asing, itu sulit pada masa yang sangat global ini,” ujarnya.
"Daripada menyalahkan penetrasi, mendingan self-critic dulu ke kitanya. Pengembangan budaya lokal kita gimana?" tambah Daisy lagi.
Lebih jelas, Daisy mengatakan, penting bagi Indonesia untuk menemukan identitasnya dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Wanita ini menekankan, budaya tidak sama dengan tradisi, dan tak selalu terpaku dengan hal-hal yang bersifat kuno.
ADVERTISEMENT
“Makanya kita harus sadar itu, sehingga kita membentuk budaya-budaya Indonesia modern itu kayak gimana. Indonesia yang post-modern gimana, gitu lho yang sebenarnya harus dikembangkan,” pungkasnya.
Simak ulasan lengkapnya dalam konten spesial kumparan dengan follow topik Hallyu Wave Serbu Indonesia.