Curahan Hati Orang Tua yang Anaknya Idap Penyakit Langka

2 Maret 2019 12:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi anak mengidap penyakit langka Foto: Thinkstock
Tanggal 28 Februari diperingati sebagai World Rare Disease Day atau Hari Penyakit Langka Sedunia. Ya, sejak 2016 lalu, Indonesia turut memperingati Hari Penyakit Langka Sedunia untuk mengkampanyekan dan meningkatkan kesadaran akan keberadaan penyakit-penyakit berbahaya yang sampai saat ini penanganan dan pengobatannya masih sulit dilakukan.
ADVERTISEMENT
Secara definisi, European Orgnization for Rare Disease (EURODIS) menyatakan bahwa penyakit langka adalah penyakit yang penderitanya sangat sedikit bila dibandingkan dengan populasi suatu negara. Seberapa sedikit? Bila jumlah penderitanya kurang dari 2.000 orang di suatu negara, maka penyakit tersebut dapat dikatakan sebagai penyakit langka.
Wajar kalau keberadaan penyakit langka getol dikampanyekan setiap tahunnya, karena memang di Indonesia sendiri fasilitas kesehatan untuk para pasien masih sangat terbatas. Jangankan untuk pengobatan, untuk diagnosisnya pun masih sulit bahkan harus dilakukan di luar negeri.
“Di Indonesia fasilitas diagnostiknya tidak baik sampai sekarang,” kata dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo saat mengisi acara Hari Penyakit Langka 2019 di Graha Dirgantara, Jakarta pada Rabu (27/2).
ADVERTISEMENT
“Penyakit langka ini 80 persen genetik. Kita di Indonesia ada (penyakit langka) yang pasiennya cuma tiga, ada yang enam di dunia.”
dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan
Sebanyak 50 persen pasien penyakit langka masih berusia di bawah 19 tahun, dan sebanyak 30 persen di antaranya meninggal sebelum menginjak usia 5 tahun, di antaranya karena keterlambatan diagnosis dan sulitnya mencari pengobatan untuk pasien.
Pasien penyakit langka memang kerap kali harus bergantung pada orphan food dan orphan drugs. Orphan food dan orphan drugs adalah produk medis yang biasanya tidak dipasarkan secara umum karena hanya ditujukan untuk pasien penyakit langka yang jumlahnya sedikit.
Kisah orang tua dengan anak berpenyakit langka
Suci Istiqa Mustafa adalah seorang ibu yang anaknya menderita penyakit langka, Glucose-Galactoe Malabsorption Syndrome (GGM) bernama Rummam Andarra Hishani. Suci menceritakan panjangnya proses yang harus ditempuh hingga anaknya mendapatakan diagnosis bahwa ia menderita menderita GGM Syndrome. Sayangnya, sebelum tegak diagnosis Rummam, ia telah terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada Februari 2018.
ADVERTISEMENT
“Saat itu pun masih menunggu tegak diagnosisnya, Glucose-Galactoe Malabsorption Syndrome. Beberapa minggu sebelum itu sampel darahnya baru kita kirimikan ke Jerman. Karena di Indonesia sendiri belum ada pemeriksaannya,” kenang Suci saat ia menceritakan kisah Rummam. “Saya tahu, oh ini memang benar, setelah (Rummam) tidak ada.”
Sebelumnya, Suci diberi tahu oleh dokter anak kalau anaknya memiliki berat badan kurang. Pada saat itu, Rummam masih berusia empat bulan. Setelah disarankan untuk diberi susu, Rummam juga disarankan untuk mengunjungi dokter anak spesialis gizi bila berat badannya tidak berubah. Di usia enam bulan, Rummam pun mulai sering muntah-muntah dan mengalami diare.
Rummam akhirnya diberikan susu khusus yang tidak bisa didapatkan sembarangan. Susunya hanya diproduksi setahun dua kali, sehingga Suci harus mencari ke negara-negara lain untuk menanyakan kesediaan susu tersebut. Sekalipun sudah menemukan susu tersebut di Belanda, tetap saja untuk mengirimnya ke Indonesia membutuhkan waktu lama, belum lagi untuk mengurus masalah bea masuknya.
Fitri Yenti, ibu dari Umar Abdul Aziz. Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan
ADVERTISEMENT
Kisah anak dengan penyakit langka lainnya diungkapkan oleh Fitri Yenti, ibu dari Umar Abdul Aziz (7 tahun). Umar adalah penderita mucopolysaccharides (MPS) II. Penyakit ini biasanya tidak menunjukkan gejala yang jelas pada bayi, dan baru mulai terlihat setelah beberapa tahun. Gejala yang umumnya terlihat di antaranya adalah kegagalan perkembangan beberapa organ tubuh, bentuk wajah yang khas, dan ketidaknormalan pada kerangka tubuh.
Fitri mengatakan awalnya Umar mengalami penurunan kondisi dan badannya tidak lurus hingga pilek terus menerus. Awalnya, tidak ada dokter yang bisa memastikan apa penyakit Umar hingga akhirnya ia dirusjuk ke RSCM dan bertemu dengan dr. Damayanti. Meskipun sudah dicurigai menderita MPS II, untuk memastikan diagnosis tersebut, Umar harus dibawa ke Taiwan.
ADVERTISEMENT
“Sejak enzyme replacement therapy alhamdulillah ada perbaikan-perbaikan. Yang belum itu masalah kecerdasannya, baik bicara, hal-hal yang dulu sudah bisa ia lakukan sekarang belum,” kata Fitri. Saat ini Umar sendiri tengah menjalani berbagai terapi, termasuk terapi bicara dan fisioterapi selain menjalani terapi enzim setiap minggunya.
Amin Mahmudah, ibu dari Athiyatul Maula. Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan
Cerita lain datang dari Amin Mahmudah, ibu dari Athiyatul Maula (2 tahun 4 bulan), penderita Gaucher Syndrome. Demi pengobatan anaknya, Athiya harus rela datang ke Jakarta dari tempat asalnya di Jambi. Awalnya, Athiya mengalami perut kembung dan muntah-muntah. Sehabis makan, saat menangis, setelah minum ia akan muntah-muntah.
Athiya pun kini harus diberi susu diet khusus. Susu tersebut tidak dijual di pasaran dan dapat dibeli harus dengan persetujuan dokter. Untuk mendapatkan susu tersebut, Amin harus membeli langsung ke distributor dan setiap bulan bisa habis 12 kaleng ukuran 400 gram.
ADVERTISEMENT
“Satu kaleng untuk dua hari,” kata Amin. “Frekuensinya enam kali sehari. Kalau tiga kali kurang, kalau langsung sekali banyak perutnya enggak muat.”
Sejak minum susu khusus tersebut, Amin mengatakan Athiya mulai tidak muntah-muntah lagi. Saat ini perkembangannya pun lebih pesat daripada sebelum ia menjalani enzyme replacement therapy. Ia juga mulai bisa berbicara meski baru bisa beberapa kata saja.
“Yang mendengar itu takjub semua. Sebelumnya belum pernah. Athiya itu kan berjalan 19 bulan, yah. Waktu Athiya jalan itu kita menangis.”
Mahalnya dan sulitnya pengobatan penyakit langka
Cerita para orang tua di atas menunjukkan betapa sulitnya penanganan dan pengobatan penyakit langka di Indonesia. Untuk diagnosis pun harus dilakukan di luar negeri karena keterbatasan fasilitas yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya sulit, harga untuk pengobatannya pun luar biasa mahal. Untuk enzyme replacement therapy yang dijalani oleh Umar misalnya, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 6 miliar setiap tahunnya.
Fitri mengatakan, untuk pengobatan Umar saat ini ia bergantung pada donasi, sementara untuk terapi lainnya tetap harus bayar sendiri.
“Kalau ditanya tantangan untuk pasien penyakit langka tentu saja biaya. Dari obatnya sendiri harganya, bukan hanya obat, tapi juga makanan khusus seperti susu itu sangat mahal. Kalau misalnya satu tahun untuk enzyme replacement therapy itu sekitar hampir enam miliar. Susu-susu itu setap bulannya hamper tujuh juta untuk konsumsi susu. Karena mereka harus meminum susu itu sebagai obat bukan sebagai makanan,” kata Peni Utami, ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia.
Press Conference Hari Penyakit Langka Sedunia 2019. Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan
ADVERTISEMENT
Karena itu, saat ditanya apa harapan dari orang tua pasien penyakit langka, mereka mengharapkan agar kesadaran masyarakat mengenai penyakit langka ini semakin besar.
“Berharap sosialisasinya lebih luas, tidak hanya di Jakarta saja. Diharapkan tidak ada stigma sosial juga, tidak dikucilkan di masyarakat,” kata Suci.
“Harapan saya sebagai orang tua diberikan kemudahan akses kesehatan. Selanjutnya masalah penyakit langka ini untuk jadi perhatian penting dari pembuat keputusan khususnya pemerintah agar anak kami mendapat haknya sama dengan anak Indonesia lainnya,” kata Fitri.