news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Difteri Merebak, Masih Banyak Ibu Tak Tahu Bahayanya

12 Desember 2017 20:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibu yang menunggu antrean dokter (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu yang menunggu antrean dokter (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
ADVERTISEMENT
Maraknya difteri akhir-akhir ini begitu mengkhawatirkan banyak orang. Penyakit difteri tidak mengenal umur, merebak di berbagai rentang usia mulai dari anak usia 3,5 bulan hingga 45 tahun.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini tercatat ada 622 kasus dan 32 korban meninggal akibat difteri. Kementerian Kesehatan menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pemerintah meresponnya dengan melaksanakan vaksin massal untuk membendung penyeberan virus tersebut. Vaksin massal dilaksanakan serentak di beberapa tempat seperti sekolah dan fasilitas kesehatan.
Semangat pemerintah dalam menangkal penyebaran difteri ditanggapi berbeda di level masyarakat. Ibu yang ikut menjadi faktor sentral dalam menjaga kesehatan anak, ternyata tidak memiliki pengetahuan yang sama. Ada yang paham betul soal difteri, ada yang hanya asal tahu saja.
Tasya, ibu berusia 37 tahun ini misalnya. Dia akan ambil bagian dalam vaksin difteri kali ini. Ia mengaku mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan dari bakteri tersebut.
ADVERTISEMENT
“Difteri itu kaya sakit tenggorokan kan, rasanya sakit kaya terbakar. Dia (difteri) semacam panas dalam, tapi jauh lebih parah dari panas dalam. Karena dia tenggorokannya ada lendir putih-putihnya dan susah ngilanginnya. Dan itu berobatnya juga agak sulit juga kali ya,” ujar Tasya ketika berbicara kepada kumparan (kumparan.com) di Puskesmas Kembangan, Jakarta Barat.
Tasya akan mengikutkan anaknya dalam vaksin massal yang akan diselenggerakan di sekolah tempat anaknya belajar. “Rencananya sih di sekolahan ya, biasanyakan di sekolahan ngadain. Takutnya misalkan kita udah vaksin di sini, nanti di sekolahan juga ngadain, takut double dua gitu. Di sekolah aja lah yang pasti aja ya,” ucapnya.
Sayangnya, tidak semua ibu memiliki pemahaman seperti Tasya. Misalnya Wulan (23), ibu dari dua anak ini mengaku hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai difteri. “Pernah dengar doang sih dari RT waktu itu, tapi ya cuman dengar aja, nggak merhatiin banget, “ ujar Wulan.
Puskesmas Kecamatan Kembangan (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Puskesmas Kecamatan Kembangan (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
Ibu lainnya, Eka (30), juga mengaku hanya pernah mendengar sepintas tanpa pengetahuan jelas mengenai apa itu difteri dan dampak yang bisa menimpa buah hatinya.
ADVERTISEMENT
“Hanya pernah dengar doang. Cuma tahunya infeksi aja. Waktu itu di sekolah juga dikasih tahunya bukan infeksi difteri, tapi yang lain,“ tutur Eka.
Pengetahuan yang rendah tentu menjadi fakta yang mengkhawatirkan. Sepintas, difteri memiliki gejala seperti penyakit pada umumnya seperti demam, sakit tenggorokan, dan badan lemas. Namun, pengetahuan yang rendah akan membuat orang tua salah langkah.
Difteri masuk ke dalam 17 penyakit menular yang bisa menjadi wabah. Ketika seseorang terkena penyakit ini, ia akan mengalami masa inkubasi selama 2-5 hari dan akan menular dalam 2 sampai 4 minggu.
Selain pengetahuan yang rendah, vaksin juga tengah mengalami sepi peminat. Banyak ibu masih enggan melakukan vaksin karena berbagai macam alasan. Salah satunya adalah efek samping dari vaksin.
dr. HJ. Zayanah, MSi (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
dr. HJ. Zayanah, MSi (Foto: Tamara Wijaya/kumparan)
Dokter Zayanah, MSi yang mengepalai Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kantor Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa kekhawatiran yang paling banyak dirasakan orang tua adalah demam yang ditimbulkan setelah vaksin.
ADVERTISEMENT
“Itu efeknya enggak fatal, asalkan sebagai ibu ya terus aja pantau keadaan anaknya. Jangan malas cek suhu tubuh anak. Kalau memang panas, cukup dikasih obat panas saja.”
Lebih lanjut, Zayana menjelaskan bahwa vaksin DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus) yang diberikan ke anak usia 1 sampai 4 tahun pada dasarnya tidak berbahaya dan menimbulkan panas seperti yang diisukan. “Kalau tetanus enggak bikin panas, difterinya juga nggak bikin panas, pertusisnya yang bikin panas,” ungkapnya tentang vaksin DPT.
Vaksin difteri sendiri sebenarnya sudah masuk dalam program imuniasi yang sudah wajib dilakukan oleh anak-anak di Indonesia. Melalui vaksin, imun tubuh anak akan mampu menangkal penyakit dua kali lipat lebih kuat dari biasanya.
ADVERTISEMENT
“Nah ini lah yang buat anak jadi tambah sakit, bisa karena tidak imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap, “ ujar Zayanah.
Pernyataan Zayana sejalan dengan data Kemenkes yang menyebutkan bahwa 90 persen penderita difteri memiliki masalah di imunisasinya. Lebih lanjut, 66% korban difteri tidak mendapat imunisasi, sedangkan 31% hanya mendapat separuh jumlah vaksin dari seluruh paket vaksin yang tersedia.