Ibu Sayang Revita

21 Maret 2018 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sekitar 16 tahun lalu, Dewinta (50) tak merasakan ada yang berbeda saat melahirkan Revita Kinanti (16). Sampai pada waktu berumur 4 bulan, Revita ternyata tak sama kondisinya dengan sang kakak yang lebih dulu lahir 8 tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Revita dinyatakan oleh dokter mengalami down syndrome atau kelainan kromosom genetik yang diakibatkan oleh kromosom ekstra. Kromosom ekstra tersebut menyebabkan terjadinya penundaan perkembangan anak secara fisik dan mental. Revita tak memiliki kecerdasan emosi dan intelektual seperti anak-anak lainnya.
Dewi pun kaget. Tak bisa langsung serta merta menerima. Dia marah dan kesal pada keadaan. Sejumlah pertanyaan muncul di benaknya. Hidup tak adil rasanya.
Revita (kanan) dan Ibundanya (kiri) (Foto: Rachmadin Ismail)
Belum lagi persepsi orang lain yang melihat down syndrome sebagai sebuah hal yang negatif. Bahkan tak jarang ada yang menyebutnya sebuah karma. Di sinilah kesabaran Dewi sebagai ibu diuji.
Namun, seiring berjalannya waktu, ditambah dukungan dari keluarga, Dewi akhirnya mulai bisa menerima kenyataan. Dia sadar, cintanya kepada Revita tak boleh berubah, apa pun kondisinya.
ADVERTISEMENT
“Saya rasa samalah kaya ibu-ibu yang punya anak down syndrome yang lain, kadang-kadang putus asa. Terus anak saya harus sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Tapi dengan berjalannya waktu, saya belajar dari Revita juga bahwa saya harus menerima apapun kekurangan anak saya,” kata Dewi saat diwawancarai kumparan (kumparan.com) di SLB Fitria, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/3).
SLB Fitria di Ciawi Bogor (Foto: Rachmadin Ismail)
SLB Fitria memiliki 53 anak murid berkebutuhan khusus. Ada yang tuna rungu, tuna daksa, sampai down syndrome. Khusus untuk down syndrome, di sekolah tersebut ada enam anak. Revita salah satunya.
Setiap hari, Dewi mengantar Revita mulai dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB. Sepanjang proses belajar-mengajar, Dewi selalu berada di sekitar sekolah bersama ibu dan bapak lainnya yang mengantar anak mereka sekolah.
ADVERTISEMENT
Saat bertemu dengan ibu-ibu lain yang memiliki anak down syndrome itulah, Dewi perlahan mulai mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. “Dulu saya malu menyekolahkan anak di SLB, sempat saya masukkan ke sekolah TK biasa, tapi lama-lama saya sadar inilah tempat untuk anak saya,” imbuhnya.
Revita bersama teman kelasnya (Foto: Rachmadin Ismail)
Selain dukungan dari ibu-ibu lain, Dewi juga sangat terbantu oleh peran anak pertamanya, Tika (24). Sebagai kakak, Tika tak pernah merasa malu sedikit pun dengan kondisi adiknya. Bahkan Tika sejak lama selalu mengumumkan kepada teman-temannya, memiliki seorang adik penderita down syndrome yang sangat disayanginya.
Tika yang kini berprofesi sebagai guru itu pun mengajarkan adiknya hidup normal. Mulai dari berjalan-jalan ke mal, makan di restoran, sampai belajar membaca dan menulis.
ADVERTISEMENT
“Peran kakaknya yang sangat menyayangi Revi sangat membantu perkembangannya. Saya juga merasa terbantu,” ungkap Dewi sambil berkaca-kaca.
Revita saat belajar di kelas (Foto: Rachmadin Ismail/kumparan)
Kini, Dewi jauh lebih sabar dan lebih bijaksana dalam mengurus Revi. Dewi juga lebih arif dalam menanggapi persepsi publik terkait kondisi Revi. Semua tentu saja atas dasar cinta dan kasih sayang seorang ibu pada sang buah hati.
“Saya cuma berharap Revi suatu saat nanti bisa mandiri,” harap Dewi.
Ibu sayang Revita. (Foto: Rachmadin Ismail/kumparan)
Sepanjang wawancara, Revi yang mengenakan baju putih lengan panjang itu tak henti-hentinya memegang tangan sang ibunda. Saat ditanya apa yang ingin disampaikan, Revi secara spontan langsung menjawab: “aku sayang ibu”.
Tak lama kemudian, mereka saling berpandangan, lalu berpelukan. “Ibu juga sayang Revi,” timpal Dewi.
ADVERTISEMENT