Ingin Menjadi Ibu di Usia Muda, Pikirkan Lagi!

13 Desember 2017 20:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi psikis bumil sangat perlu diperhatikan (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi psikis bumil sangat perlu diperhatikan (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Perempuan masa kini mulai berani mengambil keputusan untuk menikah muda. Di saat perempuan lain tengah disibukkan dengan aktivitasnya di bangku perkuliahan atau bekerja sebagai pegawai kantor, ada perempuan yang memutuskan untuk menikah dan hamil di usia muda.
ADVERTISEMENT
Namun pada kenyataannya, meskipun terbilang masih muda, kondisi psikis dari calon "ibu muda" ini juga perlu diperhatikan. Psikis yang rentan akan berpengaruh pada kesehatan ibu serta janin yang ada di dalam kandungannya.
Menanggapi hal ini, Ajeng Raviando, seorang Psikolog Anak, Remaja, Dewasa dan Keluarga, beranggapan bahwa setiap perempuan wajib memiliki pemikiran yang matang dalam menyongsong pernikahan.
Dia menyebutkan, ketika seseorang yang sebetulnya dirinya sendiri belum siap menjadi seorang ibu, baik dari segi fisik dan psikisnya, tentu hal itu akan memberikan dampak terhadap anak yang dikandungnya.
"Kalau kita lihat dari sisi psikologisnya, ada bagian otak yang terletak di sisi depan, yang bernama prefrontal. Prefrontal ini berperan dalam pembentukan karakter, mengatur fungsi perencanaan dan penilaian atau pengambilan keputusan dengan pertimbangan yang matang," ujar Ajeng dalam talkshow di Talk Inc, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Psikolog anak dan keluarga, Ajeng Raviando. (Foto: Winda Dwiastuti/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Psikolog anak dan keluarga, Ajeng Raviando. (Foto: Winda Dwiastuti/kumparan)
Ajeng mengungkapkan bahwa berdasar riset ahli dari Harvard, otak manusia pada umumnya masih mengalami pendewasaan di usia 20-an.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau seseorang di usianya yang masih sangat muda, seperti di bawah usia 17 tahun akhirnya menjalani pernikahan, sebetulnya mereka belum siap untuk menjadi ibu," ujarnya.
Menurut Ajeng, para perempuan muda ini dikatakan belum siap menjadi ibu bukan hanya dikarenakan faktor fisik tubuhnya yang belum siap menghadapi proses kehamilan dan persalinan saja, namun juga karena faktor psikisnya yang berkaitan dengan prefrontal cortex, seperti apa yang telah dibicarakan sebelumnya.
"Apabila prefrontal belum terbentuk dengan baik, maka seorang bumil belum bisa memikirkan dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang. Cara yang digunakan untuk melihat situasi dan kondisi dalam hidupnya juga belum berdasarkan kepada hal-hal yang signifikan dengan kebutuhan hidupnya," ujar psikolog yang telah lebih dari 15 tahun mendalami bidang konseling, pelatihan, asesmen, dan pengembangan diri ini.
ADVERTISEMENT
Kisah pilu pembunuhan bayi dan anak yang dilakukan oleh ibunya sendiri merupakan segelintir kasus yang dijadikan contoh oleh Ajeng sebagai depresi berkepanjangan yang dirasakan sang ibu. Hal itu terjadi karena sebenarnya sang ibu belum cukup siap untuk memiliki anak, entah karena faktor fisik, ekonomi, psikis, kesiapan mental maupun faktor tertentu lainnya.
Ajeng menyarankan agar perempuan sebaiknya mampu membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi saat pernikahan, bukan hanya terfokus pada hal-hal membahagiakan yang akan terjadi di kemudian hari.
"Seringkali kebanyakan anak muda yang ingin menikah muda, justru membayangkan bahwa pernikahan itu layaknya fairy tales. Padahal, menurut pasangan-pasangan yang telah menikah dalam waktu yang lama, pernikahan adalah hal yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk dijalani," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan banyak pertimbangan yang harus dipikirkan saat akan menikah di usia muda. Segala problematika yang muncul di kemudian hari menuntut kedewasaan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.
"Yang sudah berumur dewasa dan cukup saja masih sering mengalami banyak tantangan ketika memasuki dunia pernikahan, apalagi dengan mereka yang sebenarnya belum cukup umur untuk menikah dan berumah tangga. Padahal dalam berumah tangga, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan," ucap ibu putri ini.
Ajeng mengingatkan, pernikahan adalah soal berbagi tanggung untuk menyatukan dua keluarga dan membesarkan anak. Merawat anak tidak selalu menyenangkan seperti yang terlihat. Di balik manisnya menggendong bayi yang menggemaskan, terdapat tanggung jawab jangka panjang sebagai ayah dan ibu.
ADVERTISEMENT
"Pertanyaannya adalah, 'apakah sudah siap kamu (perempuan) untuk menjadi seorang ibu?' Karena memiliki anak itu sangatlah besar tanggung jawabnya. Janganlah berpikir bahwa anak nantinya bisa dititipkan kepada nenek atau anggota keluarga lainnya (selain suami). Karena buah hati sejatinya adalah tanggung jawab pasangan suami-istri sepenuhnya," bebernya.
Pernikahan tak selalu tentang kebahagiaan (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan tak selalu tentang kebahagiaan (Foto: Thinkstock)
Ajeng menuturkan, pernikahan selalu menjadi hal yang problematis bagi perempuan yang masih berusia muda.
Peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa usia minimal perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Sejumlah pihak keberatan dengan peraturan tersebut karena dinilai mendorong pernikahan dini yang tidak sehat untuk mental dan organ reproduksi. Apalagi dalam pertimbangan kesehatan reproduksi, BKKBN menganjurkan usia matang perempuan untuk menikah adalah 21 tahun.
ADVERTISEMENT
Di akhir perbincangan, Ajeng mengatakan bahwa setiap calon ibu yang berusia muda, memang belum sepenuhnya siap menjadi ibu. Namun, salah satu hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam mempersiapkan diri menjadi seorang ibu adalah kondisi psikisnya. Karena itu akan berpengaruh terhadap kebijakannya dalam memutuskan banyak hal dalam hidupnya, anaknya, dan keluarganya kelak.