news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membentuk Anak dengan Pola Pikir Terbuka

18 Desember 2017 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Latih anak untuk berpikir lebih terbuka (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Latih anak untuk berpikir lebih terbuka (Foto: Thinstock)
ADVERTISEMENT
Manusia bermasyarakat dengan isi kepalanya masing-masing. Beberapa di antaranya hidup dengan cara berpikir yang terbuka dengan tingkat adaptasi yang baik. Sedangkan yang lainnya terjebak dalam pemikiran tertutup dan cenderung tidak ramah terhadap perubahan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pola pikir ini tidak terbentuk dalam satu atau dua hari. Ia berproses beriringan dengan pertumbuhan seseorang dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Sehingga, pola asuh ikut andil dalam menentukan cara berpikir orang tersebut.
Hal ini perlu diperhatikan orang tua mengingat perubahan dunia yang semakin cepat. Ada hal yang harus dicermati para orang tua untuk membentuk anaknya menjadi pribadi yang lebih berpikiran terbuka atau yang biasa dikenal dengan sebutan open minded.
Psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, mengatakan bahwa sebenarnya ada cara tersendiri untuk bisa melatih anak untuk berpikir lebih terbuka. “Namanya teknik resiliensi. Jadi teknik ini diterapkan dengan membuat anak menjadi lebih tangguh, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, tahan banting, sadar akan tuntutan dan sebagainya,” ungkapnya saat ditemui secara langsung oleh kumparan (kumparan.com) beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, hal yang harus dibenahi adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. “Tiga hal yang harus dibenahi dari gaya pengasuhannya. Usahakan dalam mengasuh anak, tetap ada control dari orang tua di dalamnya, tetap ada cinta kasih dan terakhir, ada yang namanya autonomy granting atau pemberian otonomi pada anak,” jelasnya.
Lebih lanjut, Vera, sapan akrabnya, menuturkan bahwa autonomy granting sendiri mungkin kedengarannya masih asing bagi kebanyakan orang tua. Namun pada dasarnya, gaya pengasuhan ini adalah kondisi ketika orang tua masih memberikan otonomi untuk anaknya. Sehingga, orang tua tidak secara serta merta menyuruh anaknya melakukan sesuatu sesuai keinginan pribadinya saja.
Vera memaparkan bahwa autonomy granting sebenarnya bisa diterapkan dalam hal-hal yang sederhana di setiap harinya. “Contohnya seperti saat orang tua meminta anaknya mandi, mereka mengatakan ‘Ayo nak! Buka bajunya, buka bajunya!’ dengan memaksa hingga anak menuruti kemauannya. Jika anak terbiasa dipaksa, maka lima tahun kemudian, anak bisa saja menjadi ikut pasrah saat ada orang yang meminta hal yang sama kepadanya, seperti memaksa untuk membuka baju seperti yang tadi saya jelaskan," tutur alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini
Dengarkan pendapat anak (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Dengarkan pendapat anak (Foto: Thinstock)
Sedangkan gaya pengasuhan dengan teknik autonomy granting akan tetap melibatkan kontrol orang tua di dalamnya, namun anak tetap diajak untuk berdiskusi atau melakukan negosiasi. “Saat anak mengatakan, ‘Ma, aku belum mau buka baju. Aku belum mau mandi!’ maka orang tua tidak perlu memaksanya. Tanyakan kembali pada anak, kapan ia merasa sudah siap dan mau untuk mandi. Hal itu lebih baik untuk dilakukan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum mengakhiri perbincangan, Vera juga mengatakan bahwa proses diskusi atau negosiasi yang dilakukan orang tua kepada anaknya, justru akan berdampak positif terhadap anak. Hal itu disebabkan, pada saat terjadi proses tersebut, sebenarnya anak akan tetap melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
Namun, sebelum menurutinya, anak merasa diberikan kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mampu membuat mereka nyaman. Anak juga merasa diberikan hak untuk menolak atau mengemukakan pendapatnya. Mereka akan terlatih untuk memiliki pemikiran yang lebih luas dan terbiasa untuk bersikap lebih terbuka daripada biasanya.