news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengulas Film Peter Rabbit dari Kacamata Orang Tua

14 Maret 2018 17:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Film Petter Rabbit (Foto: sony pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Film Petter Rabbit (Foto: sony pictures)
ADVERTISEMENT
Buku-buku Peter Rabbit, rapi berjajar di lemari buku di rumah kami. Buku-buku cerita anak klasik karangan Beatrix Potter ini saya miliki sejak kecil, dan saya tambahkan juga dengan beberapa cetakan baru berbahasa Indonesia untuk kedua putri kami.
ADVERTISEMENT
Peter, si kelinci lucu berkemeja biru yang jadi tokoh utama dalam kisah ini, memang mudah memikat hati dan sulit dilupakan mereka yang pernah membacanya. Termasuk saya.
Tidak heran kalau saat filmnya keluar akhir Februari lalu, saya sudah bertekad untuk mengajak putri sulung saya yang berumur 8 tahun menontonnya. Namun karena kesibukan, baru hari Minggu lalu saya berhasil menontonnya dan langsung merasa lega! Lega, karena belum (dan tidak jadi) mengajak putri saya.
Terbiasa menonton film lebih dulu sebelum mengajak si kecil memang jadi salah satu cara saya dan suami memastikan tayangan yang sesuai untuk putri-putri kami. Maklum, menurut kami pada kenyataannya di lapangan, tidak semua film diberi label kategori umur yang tepat.
ADVERTISEMENT
Ulasan film di laman bioskop pun belum cukup menggambarkan beberapa hal yang justru menjadi perhatian saya. Atau bisa jadi ada film yang tepat untuk anak-anak lain, tapi tidak untuk anak kami. Nilai masing-masing keluarga kan, berbeda?
Jadi kami merasa perlu menyisihkan waktu untuk mengulas film sendiri sebagai 'lembaga sensor' terbaik untuk kedua putri kami. Bukankah kita, orangtua, yang paling mengerti karakter, kebutuhan dan kesiapan mereka?
Nah, untuk kumparanMom (kumparan.com) saya mencoba berbagi ulasan saya tentang film Peter Rabbit yang disutradarai Will Gluck dan menjadi box office ini.
Petter Rabbit 1 (Foto: Sony Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Petter Rabbit 1 (Foto: Sony Pictures)
Hal pertama yang jadi catatan saya saat menontonnya, film ini tidak 'seringan dan semanis' kisah dalam bukunya. Memang, gambar-gambarnya sangat menggemaskan. Saya kagum bagaimana animasi binatang-binatang dalam film itu tampak begitu hidup dan menyatu dengan manusia. Juga masih ada tokoh Mr. McGregor yang bersiteru dengan si kelinci Peter.
ADVERTISEMENT
Tapi di dalam buku, Peter dilarang untuk memasuki kebun Mr. McGregor. Sementara dalam film tersebut, Peter selalu saja bisa masuk dan lolos dengan berbagai cara. Perseteruan Peter dengan Mr. McGregor (Domhnall Gleeson) pun semakin sengit karena mereka memperebutkan perhatian dari seorang penyayang binatang cantik, Bea.
Mengikuti perseteruan ini, muncullah berbagai aksi 'heboh' dalam film ini. Termasuk pembantaian berbahaya, serangan dengan senjata dan perangkap, ledakan, dan bahkan kematian yang menyisakan dendam sampai si kelinci Peter bertekad membalasnya.
Ya, diceritakan bahwa ayah Peter mati dan dimakan oleh manusia. Kelinci malang itu dibunuh dan dijadikan kue pie oleh Mr. McGregor tua.
Untuk beberapa anak, mungkin ini bukan masalah. Apalagi kalau keluarga Anda penggemar sate kelinci di daerah Lembang, Jawa Barat misalnya. Tapi untuk putri bungsu saya yang suka kelinci, ini pasti bisa membuatnya sedih atau tertekan.
Petter Rabbit 3 (Foto: Sony Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Petter Rabbit 3 (Foto: Sony Pictures)
Sebagai ibu, saya juga merasa agak bingung karakter positif apa yang dapat saya tunjukkan pada anak lewat film ini. Karena karakter-karakter utama di film ini justru membuat banyak keputusan yang tidak tepat dan cenderung buruk. Termasuk terus berbohong, saling menipu dan memperlakukan satu sama lain dengan buruk.
ADVERTISEMENT
Memang sih, pada akhirnya mereka minta maaf dan mendapat pelajaran tentang pentingnya mendengarkan orang lain. Tapi tetap saja, dahi saya berkerut sepanjang menontonnya. Saya tidak mau anak-anak saya menangkap kesan bahwa dengan minta maaf maka semuanya jadi beres.
Yang paling membuat saya resah, sekali lagi soal perseteruan antara Mc.Gregor dan Peter. Seperti nonton tayangan pranks yang berbahaya! Saya khawatir kalau anak-anak akan mencontohnya saat mereka bermain atau bercanda.
Misalnya adegan Peter mencoba menyodok celah di bokong Mc.Gregor dengan wortel (serius ada adegan ini!), memukul kepala dengan barang-barang yang ada di rumah, menendang, jatuh dengan keras, menyetrum dengan listrik, dan yang paling gampang ditiru balita: tantrum alias mengamuk sampai menghancurkan barang-barang.
Petter Rabbit 3 (Foto: Sony Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Petter Rabbit 3 (Foto: Sony Pictures)
Belum lagi saat mereka saling mengancam dan melontarkan kata-kata makian seperti stupid, idiot, butt dan imbecile. Putri sulung saya yang berumur 8 tahun tentu sudah dapat mengerti kalau kata-kata ini tidak baik. Sementara putri bungsu saya yang berumur 3 tahun mungkin saja merekamnya meski tidak tahu artinya.
ADVERTISEMENT
Belum cukup sampai di situ, film inipun penuh dengan penggambaran dua karakter manusia jatuh cinta. Meski tidak ada adegan seks yang hot seperti pada film-film dewasa, saya rasa banyak keluarga yang mungkin tidak ingin anaknya melihat adegan-adegan Mr. McGregor dan Bea berkencan, saling menggoda, dan berciuman.
Satu lagi adegan yang menyalakan 'alarm' kewaspadaan saya sebagai orang tua: adegan blackberry.
Dalam satu adegan, Peter dan teman-temannya menyerang Mr. McGregor, dengan melemparkan blackberry ke arahnya. Mr. McGregor yang memiliki alergi terhadap blackberry kontan merasa sesak napas seperti tersedak sehingga harus segera menyuntikkan dirinya agar tak kehilangan nyawa.
Adegan inilah yang telah menuai reaksi keras dari banyak pihak khususnya para orang tua yang memiliki anak dengan alergi. Dalam waktu singkat setelah film ini tayang di bioskop, muncul gerakan boikot di Twitter dengan hashtag #boycottpeterrabbit.
Petter Rabbit 5 (Foto: Sony Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Petter Rabbit 5 (Foto: Sony Pictures)
"Mengolok-olok sesuatu yang sangat serius tidak bertanggung jawab dan berbahaya," kata Dr. Purvi Parikh, ahli alergi dan imunologi di NYU Langone Medical Center, Amerika Serikat, seperti dikutip dari CNN.
ADVERTISEMENT
Parikh menambahkan bahwa dalam kehidupan nyata banyak anak yang di-bully karena alergi makanan hingga terancam nyawanya. "Ini sangat berbahaya dan menimbulkan kecemasan, karena kematian akibat alergi makanan betul-betul bisa terjadi bila tidak ditangani dengan cepat dan serius," katanya.
Menanggapi kecaman dan boikot ini, Sony Pictures dan rekanan yang membuat film "Peter Rabbit" bersama mereka telah merilis sebuah pernyataan berisi permintaan maaf.
Bagaimana menurut Anda, Moms? Tertarik untuk mengajak si kecil atau ingin menontonnya lebih dulu tanpa anak seperti saya? Sampaikan pendapat Anda dalam kolom pendapat di bawah ini, termasuk bila Anda sudah menontonnya.