Penyakit Mom Zaman Now: Kecanduan Sibuk! Kenapa, ya?

18 Januari 2018 10:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Layar smartphone saya menyala. Ada notifikasi pesan dari Fina, sahabat saya.
ADVERTISEMENT
“Jadi anak-anak ikut nggak ke nikahannya, Meli?” tanya Fina menyambung obrolan kami yang terputus tadi pagi.
Saya mengetik cepat, “Belum diobrolin lagi ke Pak Suami. Kayaknya sih, nggak.”
Fina membalas, “Gue juga masih dualisme, nih.”
“Yeah,” balas saya singkat.
“Sambung nanti. Berbenah prakarya anak dan nyiapin dinner dulu. Sibuk gila!”
“Sama. Kucing sakit, anak-anak nangis takut mati. Gue harus ke dokter.”“Sip.” Fina mengakhiri percakapan kami.
Lalu saya kembali bergerak. Mengganti baju kantor dengan kaos dan jogger. Memeriksa apakah si sulung sudah ganti baju. Mengeluarkan mobil dari garasi. Masuk ke rumah lagi. Mengambil handuk untuk membungkus si kucing, Mixie. Mengingatkan si sulung untuk segera berganti baju. Mengingatkan asisten untuk menutup pintu samping. Mengetik pesan untuk Pak Suami. Mengingatkan si sulung kalau saya akan meninggalkannya kalau ia tidak segera keluar dari kamar. Menjelaskan pada si bungsu kenapa ia tidak bisa ikut ke dokter hewan malam ini.Memasangkan mirroring video soundtrack Coco di TV untuknya sebagai ganti tidak ikut ke dokter. Minta si sulung menggendong Mixie dan segera masuk ke mobil. Mengetik pesan untuk staf yang masih berada di kantor dan terpaksa saya tinggal menemui tamu demi urusan kucing sakit malam ini. Masuk ke mobil. Memeriksa si sulung dan Mixie di jok belakang. Menyadari kalau Mixie tidak dibungkus dengan handuk yang tadi saya siapkan. Masuk ke rumah lagi… dan… oh, benar kata Fina,… sibuk gila! 
ADVERTISEMENT
Ah, kalau Anda seorang ibu seperti saya dan Fina, mungkin Anda mengerti kesibukan seperti ini. Kesibukan yang seolah jadi bagian dari hari-hari kita sejak punya anak. Kesibukan yang kerap jadi bahan curhatan kita pada sahabat sekaligus jadi bahan bercandaan. 
Tapi yang jadi pikiran saya selama perjalanan ke tempat praktek dokter hewan tadi malam: apakah kesibukan ini diam-diam juga jadi kebanggaan? Sesuatu yang tanpa sadar sengaja kita ciptakan dan pertahankan? Atau malah sudah berubah jadi semacam kecanduan?
Saya pernah membaca tulisan seorang ahli penyakit di laman Boston Globe, dr.Susan Koven. Ia menulis, "Dalam beberapa tahun terakhir, saya banyak menemui pasien wanita yang sudah berkeluarga dan memiliki anak dengan gejala serupa: kelelahan, kecemasan, sakit kepala, sakit maag, gangguan usus, sakit punggung, dan penambahan berat badan. Tanpa melakukan tes darah atau sinar-X untuk menilai kondisi ini umumnya saya sudah tahu masalahnya: mereka terlalu sibuk! Dan gejala-gejala yang saya sebutkan itu sebenarnya sama dengan gejala umum kecanduan akan sesuatu.” 
ADVERTISEMENT
Waduh! Jadi mungkinkah kita kecanduan kesibukan? Dan jika ya, apa obatnya? Saya juga ingat minggu lalu waktu seorang teman kuliah yang bertemu dengan saya di supermarket menanyakan kabar. Saya jawab dengan cepat “Sibuk.” Dengan jawaban ini, saya pikir dia akan menjawab, “Sama!” lalu melanjutkan obrolan ke topik lainnya. Tapi dia malah bertanya lagi, “Memang lagi ngerjain apa saja, sih?” 
Terang saja saya kaget. Dalam hati ingin rasanya memaki, “Ya, ngerjain macam-macam, lah! Ngapain juga pakai harus tanya detilnya? Pokoknya, saya sibuk banget!”"Jadi, apa tepatnya yang Anda lakukan hari ini?"Apa yang tidak saya lakukan, saya ingin mengatakannya. Beraninya dia mempertanyakan validitas kesibukan saya? Saya sangat sibuk.
Tapi supaya dia puas, saya mengalah. Saya beberkan semua kesibukan saya, setidaknya seminggu terakhir kepadanya. Adaptasi di kantor baru (kumparan.com), jadwal vaksinasi difteri ke-dua anak-anak yang terlewat seminggu, rapat komite di sekolah, jadwal servis rutin mobil yang nggak bisa diurus suami karena harus ke luar kota, bantuin mama mertua yang mau umroh… terus…dll dsb dst, pokoknya sibuk.  Ketika saya selesai mengoceh, dia tersenyum. Lalu dengan kalem bilang, “Tarik napas, Mesh. Sekali-sekali istirahat deh, biar bisa menikmati hidup!”
ADVERTISEMENT
Ealah! Nyebelin banget sih, orang ini? Dia pikir saya nggak menikmati hidup? Dia pikir hidupnya lebih pantas dinikmati dari hidup saya? Asli, minggu lalu itu saya tersinggung banget dan merasa menyesal bertemu dengannya.
Tapi setelah membaca tulisan dokter soal kecanduan tadi, saya malah jadi berpikir: kenapa saya tersinggung? Bukannya dia cuma mencoba bercakap-cakap dan bersikap baik setelah kami lama tidak bertemu? Kenapa kata-kata sederhananya seolah jadi serangan terhadap ego saya? Jangan-jangan saya memang tidak sibuk tapi sekadar ingin sibuk? Bukankah saya yang setiap hari terus menambahkan hal yang harus dilakukan oleh diri sendiri maupun keluarga kami? 
Tapi saya tidak sendiri, kan? Saya rasa tidak hanya saya, Fina dan banyak teman saya yang lainnya juga. 
ADVERTISEMENT
Lalu kenapa, ya? Kenapa kita suka bersibuk-sibuk atau memilih menjadi sibuk? Apakah kita menyamakan kesibukan dengan harga diri dan status? Apakah kita menganggap kalau tidak sibuk itu tidak keren? Atau kita takut kalau tidak sibuk kita akan dianggap sebagai seorang ibu yang kurang baik?
Hmm… Kalau memang begitu adanya, sepertinya kita harus segera berhenti. Berhenti membeli kebohongan bahwa harga diri kita sebagai ibu, orang tua, pasangan, bahkan manusia ditentukan oleh tingkat kesibukan kita. 
Memang, sepertinya selalu saja ada yang harus dilakukan. Kewajiban yang harus dipenuhi setiap hari pun seolah tidak pernah ada habisnya. Tapi sepertinya kalau kita ingin mulai mengurangi kesibukan sedikit demi sedikit setiap hari —dunia tidak akan berhenti berputar kan?  
ADVERTISEMENT
Pulang dari dokter hewan, suami menyambut di teras bersama si bungsu. “Jadi Mixie, kenapa?” tanya mereka hampir berbarengan. 
“Kata dokter kayaknya dia ketabrak motor!” si sulung menyambar. Lalu dengan semangat menceritakan apa-apa yang dokter katakan.
Saya membiarkannya, lalu melangkah ke dalam meninggalkan mereka. Menuju sofa. Menikmati sandaran dan bantal-bantal yang memenuhinya. Memejamkan mata. Tidak mau melakukan apa-apa. Menikmati ketenangan, mengurangi kecanduan saya akan kesibukan —setidaknya mulai dari yang saya bisa. Karena saya, dan pasti Anda juga, pantas mengalaminya.