Pergeseran Tren Pemberian Nama Anak di Indonesia

11 September 2019 10:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
tren pemberian nama anak di Indonesia alami pergeseran Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
tren pemberian nama anak di Indonesia alami pergeseran Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Gara-gara nama anak, Franda naik pitam. Istri dari Samuel Zylgwyn itu geram karena nama depan putrinya, Zylvechia Ecclesie Heckenbucker, dipakai oleh warganet yang mengaku sebagai fansnya. Dia menamai bayinya Zylvechia Kimberly.
ADVERTISEMENT
Franda menyebut, warganet tersebut tidak pantas memberi nama Zylvechia untuk anaknya. Sejak awal, Franda menulis, ia telah berusaha menamai sang anak seunik mungkin. Ia juga mengklaim, tidak terinspirasi dari buku atau sumber mana pun untuk mendapatkan nama Zylvechia.
Walaupun, nama Zylvechia yang diperdebatkan ini sebenarnya tidak mengandung arti apa pun. Menurut Franda, ia hanya terinspirasi dari nama suaminya, Zylgwyn.
"Zylvechia enggak ada arti, sih. Aku ambil Zyl dari Zylgwyn. Ecclesie itu gereja, umat pilihan Tuhan. Heckenbucker itu nama belakang bapaknya saja, (namanya) berat karena nama bapaknya saja," ujar Franda kepada kumparan pada Rabu (2/5) tahun lalu.
Menamai bayi atau anak dengan nama paling kreatif, unik, panjang, dan sulit disebut, memang sedang menjadi tren di era-era millenial dan post millenial. Setidaknya, hal itu yang disebutkan dalam penelitian Indra Setia, Emir Hamdi, dan M. Nur dalam jurnal Sosiologi USK yang terbit pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Mereka menemukan adanya pergeseran pola pemberian nama anak. Dalam hal ini, di masyarakat yang bermukim di Sabang, Aceh.
Indra dkk, menyebut, pemberian nama anak yang sulit ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma budaya, dan nilai-nilai yang dianut. Sehingga tidak aneh jika nama-nama Aceh yang awal mulanya terdiri dari satu kata yang disadur dari bahasa Arab, kini mendapat sentuhan yang lebih modern.
Ia memberikan perbandingan antara nama orang tua di Aceh dengan anaknya yang lahir di tahun 2000-an. Salah satunya Mulfiza yang lahir di masa generasi X, ia hanya memiliki satu kata nama saja.
Uniknya ketika Mulfiza memiliki anak di tahun 2014, sebagai warga Aceh ia tetap memberikan nama anaknya dengan nafas Islam. Namun, ia menamai anaknya dengan tiga kata dan penulisan huruf Arab yang dibuat lebih modern. Anaknya itu ia namai Ahmad Mikhail Sakha.
ADVERTISEMENT
Pergeseren tren pemberian nama anak terjadi di berbagai daerah Foto: Shutterstock
Selain di Aceh, pergeseran pola pemberian nama anak juga terjadi di wilayah Jawa. Yakni penamaan dengan hanya satu kata seperti Joko, Sukiyem, Bambang, Yono hingga Susi yang populer sebelum tahun 1970-an, mulai ditinggalkan.
Antropolog dari George Washington University, Amerika Serikat, Joel C Kuipers bersama Asykuri meneliti fenomena ini. Kuipers mengumpulkan 3,7 juta nama warga yang lahir pada periode 1900 hingga 2014. Data itu dia dapat dari kantor kependudukan di Bantul, Lumajang, dan Lamongan.
Dari temuannya itu, Kuipers melihat adanya perubahan drastis masyarakat Jawa dalam pemberian nama anak dalam seratus tahun terakhir. Lewat penerlitian berjudul Islamization, Identity in Indonesia: The Case of Arabic Names in Java itu, dia menyimpulkan bahwa mulai tahun 1970, masyarakat Jawa mulai meninggalkan tradisi pemberian nama dalam satu kata. Mereka mulai memperpanjang nama anak-anaknya dengan pemberian tiga kata.
ADVERTISEMENT
Satu kata merupakan nama dengan bahasa Jawa asli. Sementara sisanya, dipadukan dengan nama bernuansa Islam.
Selain bahasa Arab, Kuipers juga menemukan, tren yang berkembang di kalangan orang tua Jawa adalah memadukan nama anaknya dengan bahasa asing. Nama-nama tersebut kerap kali mengandung arti yang agung. Namun di sisi lain, hanya berdasarkan keunikan dan estetika tanpa arti yang khusus.
Menurut Kuipers, beralihnya tren pemberian nama ini tidak hanya berdasarkan pada kemajuan teknologi yang memperkaya referensi dan kosakata. Namun, juga dipengaruhi oleh sejarah kelam Indonesia mengenai partai komunis.
Masyarakat Jawa mulai beralih menggunakan nama bernuansa Arab dibanding menggunakan nama berakiran –em atau –en untuk perempuan dan –an, –in, atau –un untuk laki-laki. Itu karena, mereka takut keluarganya dituding bagian dari partai merah tersebut.
Ilustrasi anak Bali. Foto: Getty Images
Soal pemberian nama anak, Indonesia juga memiliki tradisi tidak tertulis yang diturunkan dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Sebut saja di Bali. Urutan anak dalam keluarga menentukan nama depan yang akan ia sandang. Sebagai contoh, untuk anak pertama, umumnya akan diberi nama Gede, Putu, dan Wayan.
Sedangkan anak yang lahir di urutan kedua, akan diberi nama Nengah, Kadek, dan Made. Lalu, anak ketiga hanya memiliki dua pilihan nama yakni Komang dan Nyoman. Khusus anak keempat, Ketut akan menjadi satu-satunya pilihan.
Tradisi pemberian nama seperti ini sudah menjadi pola umum yang lazim digunakan di masyarakat Bali. Tujuannya bukan sebagai hukum melainkan sebagai markah budaya saja.
pemberian nama anak yang unik biasanya juga dilengkapi dengan nama panggilan Foto: Shutterstock
Uniknya, meski nama anak telah dipikirkan seunik mungkin oleh orang tuanya, masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-sehari cenderung lebih sering memanggil nama seseorang dengan kalimat yang singkat, mudah, dan familiar dengan lidahnya.
ADVERTISEMENT
Termasuk nama putri Franda Zylvechia. Franda sebagai ibu dari Zylvechia memberikan nama panggilan kepada anaknya dengan sebutan Vechia.
Kebiasaan ini memang dianggap sebagai hal yang lumrah. Namun bagi 1.362 responden dalam survei yang dilakukan Mumsnet pada tahun 2016, pemanggilan nama anak yang tidak sesuai bisa jadi perkara serius.
Penelitian itu menyebut, sebanyak 6% orang tua akan tersinggung ketika orang lain memanggil anaknya dengan nama singkat yang tidak diinginkan. Selain itu, 1% responden juga akan menyesali nama yang dia berikan jika anaknya dipanggil dengan akronim yang tidak pantas. Kalau Anda sendiri, bagaimana Moms?