Supaya Pasangan Muda Tak Ribut Perkara Duit

22 Februari 2019 11:25 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Ribut Duit Suami-Istri. Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Ribut Duit Suami-Istri. Foto: Basith Subastian/kumparan
Masa lajang Uta tinggal sebentar. Hanya dalam beberapa bulan, status belum kawin di KTP-nya itu akan jadi kedaluwarsa. Saat itu, ia tak lagi hanya “wartawan dengan gaji pas-pasan”, namun menjadi “wartawan dengan gaji pas-pasan yang sudah punya tanggungan keluarga.”
Benar atau tidak, begitulah yang ada di pikiran Uta. Berkawin-mawin adalah perkara sulit, apalagi menghadapi hari-hari setelahnya. Apalagi selama ini, kesan soal pernikahan yang ia dapatkan dari rekan-rekan seniornya tak pernah menyenangkan.
Biasanya, binar di mata saat membicarakan politik tingkat tinggi, powerplay dunia internasional yang konspiratif, atau rumit kartel maskapai penerbangan, langsung padam saat pembicaraan menyerempet kondisi rumah tangga. Membicarakan licik strategi politik memang lebih menyenangkan ketimbang membahas jatah gantian beli popok.
Namun pertengahan tahun nanti usia Uta sudah menyundul usia 26. Pasangannya juga sama. Pacaran mereka sudah lama, sudah sama-sama bekerja, dan permintaan halus untuk ‘menggendong cucu’ dari tetua sudah kerap dilancarkan. Tak ada lagi alasan untuk menunda-nunda. Ia sadar yang bisa dilakukan cuma terus melangkah dan bersiap.
Maka, ketika pada rapat redaksi usulan untuk membahas “bagaimana manajemen keuangan suami istri yang baik” muncul, Uta mendukung. “Aku saja yang garap,” katanya menawarkan diri.
Uta pikir, hitung-hitung bekerja sekalian belajar. Uta juga yakin masalah uang dalam pernikahan—baik saat mempersiapkan menikah maupun buat mereka yang kadung menikah—merupakan sesuatu yang amat krusial. Pasti bukan cuma dia yang pusing karena perkara yang sama.
Manajemen keuangan keluarga amat penting bagi pasangan muda. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Uta tak salah. Soal duit memang jadi sebab cukup besar dalam permasalahan rumah tangga. Catatan Tahunan 2018 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa ekonomi menjadi salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan di ranah privat/personal yang paling tinggi, yaitu sebanyak 1.244 kasus.
Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan kasus penelantaran menjadi ragam terbanyak dalam laporan kasus kekerasan ekonomi yang masuk.
“Laporan ke Komnas Perempuan itu kebanyakan tidak dinafkahi. Didiamkan aja si istri, enggak dinafkahi sama sekali. Tapi mau cerai enggak boleh sama suaminya. Digantung,” ujar Mariana saat ditemui Uta pertengahan Februari 2019.
Angka kekerasan ekonomi ini cukup tinggi, hanya kalah dari kekerasan fisik (3.982 kasus), kekerasan seksual (2.979 kasus), dan kekerasan psikis (1.404 kasus).
Maka Uta tak heran ketika ia menemukan masalah keuangan juga jadi salah satu penyebab paling besar dalam perceraian di Indonesia. Data yang ia dapat dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menunjukkan, setidaknya sejak tahun 2010, masalah keuangan selalu menjadi tiga besar penyebab pisahnya dua sejoli yang saling mengikat janji karena Tuhan itu.
Sepanjang 2017, dari 364.194 perceraian yang tercatat di 29 Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia, masalah ekonomi menjadi sebab dalam 28,91 persen kasusnya. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Cerai Gara-gara Duit. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Mengatur perkara uang dalam sebuah pernikahan sebetulnya susah-susah-gampang. Gampang, apabila di situ terdapat trust dan keterbukaan. Susah, apabila di sana cuma ada jumawa dan ego seberat cicilan KPR.
Bagaimanapun, persoalan ekonomi tetap krusial. Ia tetap harus diupayakan. Lagi pula, seperti yang Uta dengar saat ia mewawancarai Mike Rini Sutikno, perencana finansial, salah satu fondasi sebuah keluarga yang kuat adalah terjaminnya financial well-being atau kemapanan ekonomi.
“Ciri-cirinya apa? Punya sumber penghasilan cukup, kemudian tertata dengan baik, lalu ada hasilnya,” ujar Mike, Selasa (19/2). Hasil yang Mike maksud adalah disisihkannya pemasukan untuk investasi. Jumlahnya, minimal, 30 persen dari total pemasukan.
Uta mencatat. Ia ingin nyeletuk, ‘Kalau gaji cukup dan banyak sepertinya lebih menyenangkan, ya.’ Belum sempat ia ucapkan, Mike seperti membaca pikirannya, “Cuma penghasilan besar saja, kalau enggak tertata ya semuanya bisa habis.” Uta memilih tersenyum dan diam belaka.
Uta dan Mike kemudian berdiskusi, tentang bagaimana idealnya manajemen keuangan pasangan dilakukan. Selain rumus penghasilan cukup + pengelolaan baik + adanya expected income melalui investasi, Mike juga menjelaskan soal skala prioritas dan short journey plan.
Yang ia maksud adalah membagi rencana keuangan ke jangka pendek. Misal, sebelum menikah, tunangan, lamaran, pernikahan, hingga melahirkan anak pertama. Sementara fase kelahiran anak pertama sampai kelahiran anak terakhir dan masa anak sekolah menjadi journey selanjutnya.
Ada maksud dari membagi perencanaan keuangan ke fase-fase pendek itu. “Biar lebih mudah diraih. Kalau kita melihat kesuksesan kecil, kita jadi termotivasi menuju yang berikutnya,” kata Mike.
Uta protes. Yang seperti itu, walau terdengar mudah, praktiknya bisa sulit sekali.
“Makanya, yang jelas harus full disclosure (terbuka seluruhnya). Jangan sampai ada utang yang salah satu pihak (suami atau istri) nggak tahu, ada tabungan yang salah satu pihak nggak tahu,” ujar Mike.
Mike Rini Sutikno, financial planner. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
Sebuah obrolan lewat di kepala Uta. Aria, salah satu redakturnya, pernah bercerita soal kelakuan minusnya di awal-awal masa pernikahan. Ia mengaku dulu kerap tak bilang pada istri jika dapat seamplop atau dua dari perusahaan. Pledoinya: jumlahnya tak terlalu besar dan tak ia gunakan untuk macam-macam.
Aria, sembari meminta agar namanya disamarkan, mengaku beruntung istrinya tak tahu kelakuannya dulu. Aria tahu apa yang dulu ia lakukan itu tak pernah tercantum dan bakal ditolak mentah-mentah oleh modul 1001 Cara Mempertahankan Rumah Tangga edisi penerbit mana pun.
Aria mafhum, seperti yang dibilang Mike, idealnya “[...] seluruh penghasilan pasangan menikah itu adalah penghasilan keluarga, begitu pula pengeluaran.” Sebuah garis yang tak boleh dilanggar—keterbukaan tadi. “Sekarang udah enggak kok,” kata Aria. Caranya meyakinkan Uta sama sekali tak meyakinkan.
Meski begitu, soal bagaimana nanti pemasukan dibagi ke dalam pos-pos pengeluaran rumah tangga adalah soal lain. Mike menilai tak ada kata ideal soal bagaimana uang dibagi antara suami-istri dan bagaimana ia dibelanjakan.
“Biasanya, suami cicilan aset dan investasi. Living cost dipegang istri. Saya nggak nyebut itu ideal, tapi itu common practice di Indonesia,” ujar Mike di kantor Mitra Rencana Edukasi, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat. Tergantung kesepakatan, common practice bukan berarti menjadi best practice bagi pasangan-pasangan tertentu.
Itu pulalah yang mungkin dipikirkan Gesit (30) dan Agri (26) dengan pasangannya masing-masing. Keduanya beberapa kali jadi bahan ledekan teman-temannya. Mereka tak pegang gaji sendiri, dan menunggu jatah dari istri.
Gesit, misalnya, setiap kali gajian mengirimkan sebagian besar pemasukannya ke rekening istri. Ia cuma menyisakan jumlah seperlunya saja untuk bensin dan ongkos harian.
Baginya, pembagian tersebut tak menjadi masalah. Ia dan istrinya saling terbuka bahkan sedari awal masa pacaran. Ia tahu kode m-banking istrinya, pun begitu dengan istrinya yang juga tahu password ATM-nya.
“Kalau tiba-tiba gue perlu mendesak, ya tinggal buka (m-banking), tinggal laporan gini-gini,” kata Gesit.
Anit dan Agri, pasangan muda. Foto: Tio Ridwan/kumparan
Sama dengan Gesit, Agri bahkan menyerahkan seluruh pemasukannya buat istrinya. Jika Gesit diberi ransum satu bulanan, Agri menerima jatah Rp 500 ribu per minggu.
“Soalnya aku boros, manajemen uangku payah. Dulu pernah uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP, atau uang semesteran) Rp 2 juta, aku nggak tahu uangnya ke mana. Ke barang nggak ada, aku lupa buat apa,” cerita Agri pada Uta. Ia tertawa. Di samping Agri, Anit, istrinya, senyum-senyum saja.
Mereka baru saja menikah. Keduanya membagi pemasukan ke dalam tiga gelombang. Gaji Agri yang turun tanggal 28 digunakan untuk harian Agri dan biaya kontrakan, sedangkan separuh gaji Anit (ia PNS di sebuah kementerian) yang turun tiap tanggal 2 dipergunakan untuk kebutuhan harian Anit dan Agri, dan separuh di tanggal 15-20 dikhususkan untuk tabungan DP rumah di masa depan.
Mike, dari pengalamannya menangani berbagai macam klien, melihat model pembagian yang dilakukan Agri dan Gesit bukan sesuatu yang aneh. Kasus macam tadi, meski berlawanan dengan common practice maupun nilai dominan di Indonesia yang patriarkis, mulai kerap ditemukan.
“Bahkan kelihatan ada sedikit kebanggaan, bahwa ada fully trust di situ. Dan (laki-laki) merasa terjaga, pengeluarannya nggak macam-macam,” ujar Mike. Sekali lagi, full disclosure dan kesepakatan bersama menjadi kunci bagaimanapun detail pembagian dilakukan.
Uta ingat ia pernah mendengar contoh yang lebih absurd. Sebuah keluarga, yang tak mau sama sekali disebutkan identitasnya, membagi pengeluaran di luar pembelian aset dengan sistem weekdays-weekend. Sang suami membiayai kehidupan dari Senin hingga Jumat, sang istri mendapat jatah Sabtu-Minggu—yang meski jumlah harinya sedikit kadang memerlukan uang lebih banyak.
If it works, it works. Mungkin tidak ideal buat saya, but it works for this couple. Dan itulah yang ideal buat mereka,” ujar Mike Rini. Uta manggut-manggut, memikirkan cara non-mainstream seperti apa yang nanti ia akan coba. Yang penting saling terbuka.
Manajemen keuangan pasangan muda tak boleh disepelekan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Full disclosure. Terbuka sepenuhnya adalah wajib hukumnya. Menurut psikolog keluarga dan anak, Anna Surti Ariani, ada tiga jenis masalah rumah tangga yang saling berkelindan dan konstitutif antara satu sama lain: keuangan, seks, dan komunikasi.
Yang jadi masalah, menjadi terbuka dan bersepakat tak selalu mudah.
“Komunikasi itu penting banget. Ketika ada masalah keuangan, yang berusaha menutupi itu justru menjadi sumber pertengkaran. Harus ada kematangan emosional di situ,” ujar Anna, Rabu (20/2).
Uta jadi teringat dua tragedi yang terpisah hampir 30 tahun: kasus mutilasi pertama di Indonesia terhadap Diah di Jakarta pada 1989 dan mutilasi Nindy di Karawang pada akhir 2017.
Diah dibunuh suaminya, Agus Naser, setelah cekcok karena pendapatan suaminya banyak berkurang. Belakangan, diketahui sang suami memiliki istri muda. Sementara Nindy juga dibunuh oleh suaminya (M. Kholili) karena—setidaknya menurut pelaku—berkali-kali meminta mobil. Apa pun alasannya, pembunuhan jelas tak bisa dibenarkan.
Di Indonesia, pembicaraan soal keuangan tak begitu jadi perhatian bagi mereka yang ingin serius menjalin hubungan. Padahal, pembicaraan soal keuangan untuk pernikahan dan pascanikah idealnya dilakukan saat kedua pasangan masih berpacaran.
Beberapa hal yang amat penting untuk dibicarakan sebelum pernikahan adalah penghasilan dan utang. Ini berkaitan dengan terjaganya ekspektasi pasangan dan memastikan kehidupan pascanikah tetap dibangun berdasarkan tujuan yang realistis. “Apalagi, jangan sampai ada surprise (utang) setelah menikah.”
“Begitu sudah dilamar, sebelum menikah, inisiatif untuk financial date. ‘Kita ngomongin keuangan yuk, mau nikah nih kita persiapan’,” kata Mike memberikan saran, lebih pada Uta ketimbang pembaca laporannya nanti. Uta paham, masih banyak yang harus ia persiapkan. Financial date mungkin jadi langkah yang pertama.
Pasangan muda mesti sedia payung sebelum hujan. Foto: Nugroho Sejati dan Basith Subastian/kumparan
Pukul 21.00 WIB dan Uta baru selesai liputan. Perempuannya telah menunggu setengah jam di kafe yang sedari kuliah mereka jadikan palagan bersambat. Uta berpikir, betapa ini jadi saat yang tepat untuk memulai apa yang telah ia pelajari.
“Eh, ayo kita ngomongin gimana nanti pembagian keuangan pas udah nikah. Sudah dekat lho,” katanya tanpa mukadimah. Uta tidak pandai berbasa-basi.
Perempuannya diam saja. Sebentar menatap Uta, sebentar pandangnya dibuang ke bibir gelas. Iced caramel latte itu ia aduk-aduk.
“Duh, ya nanti saja kalau sudah beneran dekat. Kita ngomongin yang lain dululah,” jawab si perempuan, pelan-pelan tapi tak menawarkan kesempatan untuk dibacakannya dissenting opinion.
Uta beranjak, memesan double shot espresso, dan coba melupakan saja petuah-petuah yang ia dapat dalam wawancara beberapa hari terakhir. Ia lelah dan ingin tidur, tapi espresso tadi perlu: ia masih harus transkrip hasil wawancara malam itu.