Jokowi di Istana Bogor

2 Poin Pelemahan KPK yang Ditolak Jokowi Tak Ada di Draf Revisi UU

15 September 2019 18:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada awak media di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/8). Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada awak media di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/8). Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui revisi UU Nomor 30 T ahun 2002 tentang KPK yang kini dibahas DPR. Hal itu ia utarakan dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9),
ADVERTISEMENT
Jokowi menyampaikan ada 3 hal yang harus direvisi dalam UU KPK yaitu perlu adanya Dewan Pengawas, kewenangan SP3, dan pegawai KPK harus ASN.
Namun ada 4 hal yang ditolak Jokowi dalam revisi tersebut "Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi revisi UU inisiatif DPR yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Jokowi.
Empat poin yang ditolak Jokowi terkait revisi UU KPK yakni penyadapan harus izin pengadilan, penyelidik dan penyidik KPK hanya dari kepolisian dan jaksa, penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan pengelolaan LHKPN tidak ditangani KPK.
Tetapi dari 4 poin yang ditolak itu, terdapat 2 poin yang sebenarnya memang tak ada dalam draf revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
Poin pertama yakni tentang penyadapan harus izin pengadilan. Dalam Pasal 12 B draf revisi UU KPK, penyadapan itu dilakukan atas izin Dewan Pengawas. Berikut bunyinya:
Pasal 12 B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permintaan izin tertulis diajukan.
(4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Poin kedua yang tak ada di draf yakni tentang pengangkatan penyidik hanya dari kepolisian dan kejaksaan. Dalam Pasal 45 ayat (1) draf revisi UU KPK, KPK bisa mengangkat penyidik pegawai negeri sipil. Sehingga tidak harus dari polisi atau jaksa. Berikut bunyinya:
ADVERTISEMENT
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Namun memang untuk penyelidik, dalam Pasal 43 ayat (1) draf revisi UU KPK, hanya dibatasi dari Polri.
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ilustrasi KPK Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Di luar 2 hal itu, 2 poin lain yang ditolak Jokowi memang diatur dalam draf revisi UU KPK.
Seperti poin mengenai koordinasi penuntutan dengan Kejaksaan Agung, hal itu diatur dalam Pasal 12 A yang berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Poin lain yakni pengelolaan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang tidak lagi menjadi kewenangan KPK, melainkan masing-masing instansi. Poin itu termuat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a draf revisi UU KPK:
Melaksanakan supervisi dan koordinasi atas pelaksanaan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara oleh masing-masing instansi, kementerian, dan lembaga.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap Jokowi mendapatkan informasi yang salah terkait revisi UU KPK. Sebab 2 dari 4 poin yang ditolak Jokowi itu memang tidak ada dalam revisi UU KPK.
"Kita tidak tahu pasti apakah Pak Presiden tidak membaca atau tidak mengetahui bagaimana isu pembahasan revisi UU KPK. Maka dari itu poin penting kita adalah presiden harus mengundang KPK untuk mendengar masukan dari KPK terkait poin-poin yang dipandang KPK sebagai poin penghambat pemberantasan korupsi," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Minggu (15/9).
ADVERTISEMENT
"Kalau Pak Jokowi tetap tak mengundang KPK, maka tidak memahami lagi bagaimana sebuah legislasi diciptakan tanpa ada aspirasi yang jelas," tutupnya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten