3 Alasan Mengapa KPK Harus Tolak Permintaan Wiranto

13 Maret 2018 14:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wiranto di Acara Forum Koordinasi Kemenko Polhukam (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wiranto di Acara Forum Koordinasi Kemenko Polhukam (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
ADVERTISEMENT
KPK diminta menolak seluruh imbauan Menkopolhukam Wiranto. Imbauan tersebut terkait penundaan penetapan status tersangka pada calon kepala daerah yang terindikasi korupsi.
ADVERTISEMENT
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, pernyataan tersebut telah mencederai proses terwujudnya proses demokrasi yang bersih dari tindak korupsi.
"Pernyataan tersebut sesungguhnya berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (Pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih," ujar Donal Fariz dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/3).
Menurutnya proses demokrasi semacam pilkada, dapat menjadi ajang bagi para calon kepala daerah untuk pamer terobosan yang hendak dihadirkan dalam pemerintahannya. Sehingga masyarakat dapat menentukan ke arah mana mereka akan menjatuhkan pilihan untuk memimpin 5 tahun ke depan.
Sehingga menurutnya andaikan pemerintah berada dalam komitmen yang serupa, maka jelas mereka akan mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK saat ini.
"Manakala kontestan Pilkada tersebut merupakan orang yang bermasalah seperti terindikasi korupsi, seharusnya proses hukum bisa membantu masyarakat agar tidak salah pilih pemimpin daerah mereka," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Konferensi Pers OTT Pejabat Bakamla di Gedung KPK.Konpers dihadiri oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Sjarief. (Foto: Aldis Tannos/Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers OTT Pejabat Bakamla di Gedung KPK.Konpers dihadiri oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Sjarief. (Foto: Aldis Tannos/Kumparan)
Lebih jauh atas pernyataan Wiranto tersebut, KPK dapat memaknainya sebagai upaya secara tidak langsung yang dilakukan pemerintah untuk mengintervensi proses hukum yang dijalankan KPK.
"Seharusnya pemerintah bisa membedakan wilayah proses politik dan wilayah proses hukum yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Pemerintah juga tidak perlu ragu, proses hukum yang dijalankan KPK tidak akan menghentikan proses politik," ucap Donal.
Oleh karena itu, atas permintaan serta imbauan Wiranto tersebut ICW meminta KPK untuk tidak menggubrisnya. Selama dalam proses penyelidikannya, tim KPK berhasil mengamankan dua alat bukti, penetapan pelaku atau calon kepala daerah untuk menjadi tersangka dapat disegerakan.
"Permintaan Menkopolhukam tersebut harus diabaikan oleh KPK. Pada saat yang sama, ICW juga meminta kepada KPK untuk lebih berhati-hati (prudent) dalam memproses calon kepala daerah yang terindikasi korupsi dan tidak terbawa dalam arus politik," katanya.
ADVERTISEMENT
Berikut 3 pertimbangan ICW bagi KPK untuk mengabaikan atau menolak seluruh permintaan Menkopolhukam.
1. KPK adalah Lembaga Negara Independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK.
2. Pemerintah telah mencampuradukkan proses politik dengan proses hukum. Penyelenggaraan Pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. Sebab konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
3. Proses hukum oleh KPK bagian dari cara untuk menghadirkan para calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Sebab mekanisme ini yang tidak dilakukan oleh partai dalam menjaring kandidat yang akan mereka usung.
ADVERTISEMENT
Senin (12/3/2018), Wiranto (Menkopolhukam) menyampaikan pernyataan untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda penetapan tersangka para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi hingga proses pilkada berakhir. Pernyataan ini disampaikan setelah Pemerintah bersama instansi terkait (KPU dan Bawaslu) menggelar rapat koordinasi khusus (rakorsus) Pilkada 2018. Sekalipun hadir di dalam rapat tersebut, pihak KPU kemudian mengklarifikasi bahwa tidak pernah mengusulkan wacana tersebut kepada pemerintah maupun turut memberikan persetujuan. Sehingga dapat dimaknai, justru wacana tersebut muncul dari satu arah yakni pihak pemerintah.