5 Alasan Presidential Threshold Tak Bisa Dipakai di Pemilu 2019

20 Juli 2017 16:23 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Istana Presiden. (Foto: Instagram/@jokowi)
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Istana Presiden. (Foto: Instagram/@jokowi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan Rancangan UU Pemilu yang pelik dan menyita waktu, mestinya didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara. Tapi hingga paripurna pengesahan hari ini, perdebatan itu disimplikasi hanya untuk kepentingan pencalonan Joko Widodo vs Prabowo Subianto di Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Hal itu dipicu perdebatan dalam menentukan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Apakah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang digelar serentak tahun 2019 masih membutuhkan presidential treshold?
Sederhananya tidak. Tapi perdebatan yang berasal dari putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 itu, menjadi multitafsir karena dibawa ke ruang politik sejak rapat pansus perdana Oktober 2016 hingga paripurna hari ini.
Muncul lah 3 opsi, yaitu presidential treshold 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional, yang diusung PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nadem dan Hanura. Opsi kedua meniadakan presidential threshold yang didorong Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN.
Gerindra Cs menuding PT 20 persen hanya akal-akalan koalisi pemerintah bersama PDIP untuk memuluskan pencalonan Jokowi di Pemilu 2019, dan menghambat pencalonan Prabowo. Namun tudingan itu dibantah pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun di luar sikap fraksi tersebut, mari simak alasan penolakan presidential threshold itu dirangkum, Kamis (20/7):
1. Tidak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk prasyarat pencalonan presiden, karena pemilunya dilaksanakan secara serentak. Alasan koalisi PDIP Cs menggunakan angka PT pada Pileg 2014, dianggap tak logis karena Pemilu 2019 bukan bagian dari Pileg 2014.
2. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden. Secara politik, ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain maju menjadi pasangan calon presiden
3. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden justru berpotensi menyulitkan Jokowi jika mencalonkan diri kembali menjadi presiden di periode 2019-2024. Apalagi bagi parpol lain yang mengantongi kursi lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
4. Pembahasan RUU Pemilu ini memperlihatkan kepada publik, bahwa RUU Pemilu yang sedang dibahas hanyalah untuk kepentingan jangka pendek para pembentuk UU, khususnya partai politik peserta pemilu di DPR dalam menghadapi Pemilu 2019.
5. Alasan penguatan sistem presidensial dengan besarnya dukungan koalisi kepada satu capres, tak menjamin koalisi itu bertahan. Pada faktanya, di tengah perjalanan pemerintahan, parpol politik bisa bergabung di tengah jalan atau bisa menarik dukungan.
Sidang Paripurna pengesahan RUU Pemilu  (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna pengesahan RUU Pemilu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Sementara itu, sidang paripurna sore ini masih diskors untuk lobi-lobi sejak pukul 14.00 WIB. Sejauh ini peta dukungan tidak berubah, koalisi pendukung presidential threshold mendominasi paripurna. Namun belum disepakati mekanisme pengambilan keputusan.
Ada 5 paket yang ditawarkan untuk menentukan RUU Pemilu, berikut ini:
5 Paket RUU Pemilu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
5 Paket RUU Pemilu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT