6 Hal yang Terjadi saat Pemeriksaan Saksi Sidang Gugatan Pilpres di MK

20 Juni 2019 7:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi saat sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi saat sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang gugatan Pilpres yang dimohonkan oleh BPN Prabowo-Sandi sudah dalam tahap pemeriksaan saksi. Dalam sidang yang digelar pada Rabu (19/6), sejumlah keterangan diungkap dari para saksi. Di sidang itu juga, tak sedikit pula berbagai kejadian terjadi di ruang sidang.
ADVERTISEMENT
Berikut 6 hal yang terjadi selama sidang pemeriksaan saksi di Mahkamah Konstitusi;
Hakim Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sejumlah kontainer plastik berisi bukti dari tim hukum Prabowo-Sandi. Bukti itu kemudian dibuka di hadapan persidangan.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, sejumlah bukti yang diperlihatkan dianggap belum bisa diverifikasi. Pasalnya, sejumlah berkas itu tidak disusun sesuai aturan yang berlaku.
"Ini tidak bisa diverifikasi jadi tidak bisa disahkan karena berkas-berkas itu tidak disusun sebagaimana selayaknya ketentuan hukum acara dan yang di MK," kata Saldi, Rabu (19/6).
Saldi kemudian memperlihatkan contoh bukti yang dari Tim Prabowo-Sandi yang sudah layak dan diverifikasi hakim. Bundelan berkas itu disebutnya harus diberikan label sesuai aturan hukum acara di MK. Bukti itu kemudian diminta Saldi agar diperbaiki Tim Prabowo-Sandi.
ADVERTISEMENT
Salah satu saksi fakta yang dihadirkan tim hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Agus Muhammad Maksum, mengaku pernah diancam sebelum Pemilu 2019. Namun ia tidak merinci siapa pihak yang dimaksud mengancam tersebut.
Hal ini terungkap saat Agus ditanya salah seorang anggota majelis hakim konstitusi, Aswanto, soal adanya ancaman adanya sebelum persidangan dimulai. Sebagai informasi, Agus adalah pihak yang mengkaji soal daftar pemilih dari BPN.
"Kami ada ancaman yang pernah saya terima," kata Agus di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
Namun saat ditanya siapa yang mengancam, Agus enggan menjawab pertanyaan tersebut. Faktor keselamatan dirinya yang menjadi alasan.
"Kalau siapa pengancamnya saya sebut nanti akan menjadi persoalan baru," ujar Agus.
ADVERTISEMENT
Aswanto kemudian bertanya lagi ke Agus. "Kalau begitu, saya ingin bertanya ancaman seperti apa dan kapan itu diterima?"
"Ancaman ini pernah sampai ke saya dan keluarga saya dan sudah tersebar beritanya, tentang ancaman pembunuhan. Sekitar awal April," ungkapnya.
Agus menjelaskan, ancaman tersebut tidak terkait dengan kesaksiannya hari ini. "Terkait dengan fungsi mendalami DPT," tutur Agus.
Ia juga mengaku tidak melaporkan adanya ancaman tersebut ke pihak kepolisian. Sebab, ia merasa ada tim internal yang melindungi dirinya dan keluarganya.
Agus menambahkan, sebagian timnya tahu akan adanya ancaman tersebut. Ketika Aswanto bertanya siapa saja yang tahu persoalan ini, Agus hanya menyebutkan satu nama.
"Saya sebut saja satu, Hashim Djojohadikusumo," ungkapnya.
Agus M Maksum saat memberikan kesaksian di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu saksi yang diajukan BPN Prabowo-Sandi, Agus Maksum menyatakan ada sebanyak 17,5 juta data invalid dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"DPT invalid itu kami diskusikan (dengan KPU) sampai Maret tidak menemukan titik temu," kata Agus di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
DPT itu disebut invalid, kata sarjana Instrumentasi Medis Fisika ITS Surabaya ini, karena terdapat pemilih yang lahir di tanggal-tanggal tertentu cukup banyak.
Rinciannya yakni jumlah pemilih yang lahir di tanggal 1 Juli mencapai 9,8 juta pemilih, 31 Desember 5,3 juta pemilih, dan 1 Januari 2,3 juta pemilih.
Agus pun mengaku telah menanyakan hal itu kepada pakar statistik ITS, Mohamad Atok. Jawaban Atok, kata Agus, jumlah yang wajar untuk pemilih yang lahir semisal pada tanggal 1 Juli hanya 1,4 juta orang.
ADVERTISEMENT
Agus menyatakan ia sudah melaporkan hal tersebut ke KPU sejak Desember 2018. Akan tetapi hingga hari pemilihan tiba pada 17 April, menurut Agus, KPU tidak menghapusnya.
Tim hukum Prabowo-Sandi menghadirkan saksi yang bernama Idham Amiruddin dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Idham yang mengaku berprofesi sebagai konsultan di bidang database, menemukan adanya NIK yang berkecamatan siluman, NIK rekayasa, pemilih ganda, dan pemilih bawah umur dalam DPT yang ia dapatkan dari Gerindra.
Untuk NIK rekayasa, Idham mengklaim menemukan sebanyak 10.901.719 data yang direkayasa dalam DPT. NIK rekayasa tersebut, kata Idham, merupakan NIK yang pengkodeannya tidak sesuai aturan yang ada di UU Administrasi Kependudukan.
ADVERTISEMENT
"NIK rekayasa adalah NIK yang seluruh elemen datanya itu kelihatan benar, tapi salah. Misalnya yang perempuan tetapi dia memiliki NIK laki-laki dan sebaliknya. NIK perempuan itu tanggal lahirnya ditambah 40, jadi kalau lahirnya tanggal 1, pada NIK jadi 41," ujar Idham di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
"Jadi ada masalah kode laki dan perempuannya?" tanya hakim MK, Arief Hidayat.
"Betul. Lalu saya juga temukan tanggal dan bulan yang tidak sesuai. Jadi pada kolom tanda lahir itu ditulis A, tapi pada NIK tanggal lahir ditulis B. Tidak mungkin karena NIK tidak akan muncul sebelum tanda lahir di-entry," jelas Idham.
Ia menyebut, data NIK rekayasa yang ia temukan itu paling banyak berada di Bogor dengan jumlah 437 ribu pemilih.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Idham juga menemukan adanya NIK yang kode kecamatannya siluman. Idham mengatakan, maksud NIK siluman itu yakni kode kecamatannya melampaui jumlah kecamatan di wilayah tertentu.
Saksi dari pihak BPN, Idham Amiruddin, memberikan keterangan pada sidang Sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Aktivis HAM yang juga pengacara, Haris Azhar, menarik diri sebagai saksi Prabowo-Sandiaga Uno dalam sidang lanjutan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Haris Azhar menyatakan tidak bersedia hadir sebagai 1 dari 15 nama saksi Prabowo-Sandi di MK.
“Saya menyatakan tidak bersedia untuk hadir sebagai saksi dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di MK pada tanggal 19 Juni 2019,” tulis Haris dalam keterangan yang diterima kumparan, Rabu (19/6).
Haris direncanakan untuk memberikan keterangan terkait dugaan kecurangan penggalangan suara yang terjadi di kalangan kepolisian.
ADVERTISEMENT
Haris merupakan kuasa hukum eks Kapolsek Pasirwangi, Garut, AKP Sulman Aziz, polisi yang mengaku mendapat arahan dari atasannya yakni Kapolres Garut untuk menggalang dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf.
Pada saat hakim konstitusi Arief Hidayat mendapat giliran bertanya pada saksi. Arief menanyakan kesaksian apa yang akan diberikan oleh Idham karena tertulis di daftar akan bersaksi soal DPT. Padahal, masalah DPT sudah dijelaskan saksi sebelumnya.
Namun Arief tetap memberi kesempatan dia bersaksi tapi dengan catatan, jika kesaksian itu sama dengan saksi sebelumnya, maka kesaksian dihentikan dan beralih ke saksi selanjutnya.
Hakim Arief Hidayat (tengah) saat menegur Tim Kuasa Hukum BPN Bambang Widjojayanto di sidang Sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Kalau dinilai redundant saya minta bergeser ke saksi yang lain ya," ucap Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/6).
ADVERTISEMENT
Arief lalu bertanya soal status saksi. "Pada waktu Pilpres, Anda punya posisi apa? Di tim BPN?" lanjutnya.
"Bukan, saya di kampung," jawab saksi, Idham.
"Lalu berhubungan dengan apa kesaksian Anda saat ini? Kesaksian di kampung?" tanya Arief lagi.
"Kan DPT di kampung," jawab saksi.
"Jadi terkait DPT di kampung Anda?" tanya hakim lagi.
"Bukan."
"Lah, gimana?" Arief bingung.
Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW) lalu menginterupsi.
"Pak majelis mohon maaf, saya di kampung tapi saya bisa akses dunia melalui kampung," ucap Bambang.
"Bukan begitu...," timpal hakim Arief Hidayat.
"Bapak sudah men-judgement seolah-olah orang di kampung itu tidak tahu apa-apa. Itu juga enggak boleh," lanjut BW. "Bukan begitu," kata Arief Hidayat lagi.
ADVERTISEMENT
"Mohon dengarkan saja dulu, Pak, apa yang dijelaskan," BW masih bicara.
"Saya kira saya sudah cukup, saya akan berdialog dengan dia. Pak Bambang sudah, setop," tegur Arief.
"Tapi saya mohon juga...." BW masih bicara tapi dipotong Arief. "Kalau tidak setop Pak Bambang saya suruh keluar!" nada bicara Arief Hidayat meninggi.