Adu Kuat Aturan Menata Puncak

1 Maret 2018 17:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Puncak selalu jadi tempat favorit warga ibu kota. Lokasi yang tak terlalu jauh dari Jakarta membuatnya kerap diserbu kala akhir pekan. Ia terus didatangi, namun tak pernah benar-benar dijaga. Ia terlalu sering menjadi ‘objek’ sampai kerusakannya bahkan luput dari mata banyak manusia.
ADVERTISEMENT
Hingga petaka kembali datang. Senin pekan pertama bulan itu, 5 Februari 2018, longsor terjadi di lima titik kawasan Puncak, memutus Jalan Raya Puncak yang merupakan jalur transportasi utama di daerah itu. Seperti biasa, warga setempat sudah pasti jadi pihak yang paling dirugikan.
Penanganan Lonsor di Puncak (Foto: ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya)
Bagaimana tak longsor jika hutan lindung di Puncak berubah fungsi menjadi area wisata, hutan produksi, perkebunan, dan permukiman. Upaya untuk melindungi Puncak berkelindan dengan regulasi tumpang tindih yang tak sinkron satu sama lain.
Problem itu bahkan telah dimulai sejak era Sukarno. Dua tahun sebelum turun, presiden pertama Republik Indonesia itu sempat cemas melihat Puncak dan sekitarnya. Ia merasa pembangunan di kawasan itu semakin masif. Maklum, sejak era kolonial Belanda, Puncak sudah masyhur sebagai lokasi pelesiran.
ADVERTISEMENT
Keluarlah Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru di Sepanjang Jalan Antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur, di Luar Batas-batas Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor, dan Daerah Swatantra Tingkat II Cianjur.
Melalui Pepres tersebut, izin untuk mendirikan bangunan di sepanjang Jalan Raya Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur diberikan pemerintah pusat, khususnya Departemen Perkerjaan Umum dan Tenaga (kini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Rezim berganti. Keinginan pemerintah untuk menata Puncak kian terlihat pada masa Soeharto. Ia menandatangani Keputusan Presiden 48 Tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan Pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Luar Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Aministratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong.
ADVERTISEMENT
Lewat Keppres tersebut, Soeharto mendorong pemerintah daerah Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, dan Depok untuk membuat Rencana Tata Ruang Wilayah di masing-masing area administrasinya. Perencanaan itu mendasari penataan 11 kecamatan di Kabupaten Bogor sebagai permukiman, perlindungan, dan industri.
Kawasan Puncak terlihat dari atas (Foto: FWI)
Zaman berganti dan Puncak terus menjadi sorotan pemerintah. Tahun 2008, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melalui Perpres 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, menetapkan Puncak sebagai kawasan strategis nasional bersama beberapa wilayah lain seperti DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Cianjur.
Penetapan kawasan strategis tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan air, sekaligus untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Hal tersebut secara rinci tercantum pada Pasal 2 ayat (1) Perpres 54/2008.
ADVERTISEMENT
(1) Tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah untuk:
b. Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; dan
c. Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Perpres ini membuat Puncak dan daerah sekitarnya tak boleh sembarangan dirambah. Tiga kecamatan di wilayah itu yang ditetapkan menjadi kawasan lindung--area yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup--adalah Megamendung, Ciawi, dan Cisarua.
“(Kawasan lindung itu) tidak hanya dalam hutan, tetapi juga berada di luar hutan dengan tutupan berupa permukiman, kebun teh, dan lahan garapan masyarakat,” kata Kustanta Budi Prihatno, Direktur Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK, kepada kumparan, Rabu (28/2).
Deforestasi di Kawasan Puncak (Foto: kumparan)
Sebelum Perpres 54 Tahun 2008 keluar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 195 Tahun 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas 816.603 Hektare.
ADVERTISEMENT
SK tersebut dianggap payung hukum bagi penataan hutan di Puncak. “Kawasan hutan di wilayah Puncak adalah (diatur) sesuai SK 195,” kata Kustanta.
Namun SK tersebut dianggap sebagian pihak, termasuk Forest Watch Indonesia, tak lagi relevan karena bertentangan dengan Perpres 54 Tahun 2008 yang lebih baru dan lebih tinggi posisinya, dan karenanya dinilai sebagai regulasi terkini dalam menata Puncak.
Pertentangan itu misalnya tampak ketika SK KLHK menyebutkan penambahan hutan produksi pada wilayah Puncak, padahal Perpres 54 Tahun 2008 justru menetapkannya sebagai kawasan lindung.
Masalahnya, Perpres 54 Tahun 2008 yang sesungguhnya memiliki status hukum lebih tinggi ternyata tak menjadi acuan dalam menata kawasan Puncak.
“Harusnya kabupaten mengkuti Perpres, SK Menteri juga mengikuti Perpres,” kata peneliti FWI Anggi Putra Prayoga kepada di Bogor, Rabu (21/2).
ADVERTISEMENT
Menurut Anggi, jelas-jelas terjadi tumpang tindih aturan antarlembaga dalam mengelola kawasan Puncak. “Semua ingin mengatur, semua punya andil. Tapi (sejauh ini) yang paling berpengaruh banget SK Menteri.”
Meski begitu, Kabupaten Bogor menyatakan SK Menteri LBH itu sudah tidak digunakan lagi.
Kawasan Puncak untuk Apa (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
“Yang dipakai Perda 19 Tahun 2008 (sebelum aturan yang lebih baru kini),” kata Ajat Rochmat Jatnika, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Bogor di kantornya, Cibinong, Kabupaten Bogor, Selasa (27/2).
Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 yang dimaksud Ajat itu ialah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 yang mengatur peruntukan kawasan hutan lindung mencapai 2,93 persen di masing-masing daerah yang memiliki hutan lindung.
Masalahnya, Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bogor yang baru, 2016-2036, justru mengurangi luas hutan lindung menjadi hanya 1 persen di tiap daerah yang memiliki hutan lindung. Artinya, beban kawasan Puncak akan kian berat.
ADVERTISEMENT
“Hutan lindung menjadi perkebunan dan hutan produksi,” kata Ernan Rustiadi, Kepala Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (P4W LPPM IPB).
Erman mengatakan, berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2016-2036 itu, 200 hektare hutan lindung akan menjadi hutan konversi (yang di dalamnya juga mencakup fungsi wisata alam), 300 hektare lainnya akan menjadi hutan produksi, dan 700 hektare lagi bakal menjadi area perkebunan.
Luas hutan lindung yang mencapai 2.100 hektare pada RTRW 2005-2025, menyusut menjadi hanya 789 hektare pada RTRW 2016-2036. Di sisi lain, luas perkebunan justru meningkat dari 520 hektare berdasarkan RTRW 2005-2025 menjadi 1.047 hektare pada RTRW 2016-2036.
Dua daerah yang mengalami penurunan luas hutan lindung antara lain Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan itu tak hanya terlihat di peta, namun juga terlihat nyata di lapangan. Penelitian P4W LPPM IPB sejak 1990 sampai 2012 menujukkan penambahan luas permukiman sebesar 39 persen di Desa Tugu Utara, dan 70 persen di Desa Tugu Selatan.
Penambahan area permukiman dan perkebunan itu jelas meningkatkan potensi bencana di Puncak, sebab kawasan Puncak tak sanggup menopang semua aktivitas tersebut.
Puncak yang kehilangan hutan (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Ajat mengakui, kawasan hutan lindung di Puncak memang otomatis berkurang dari tahun ke tahun. “Kami mengoreksi (menyesuaikan) sesuai (permintaan) mereka (KLHK). Kami ikut kebijakan pusat.”
ADVERTISEMENT
Sementara Direktur Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK Kustanta Budi Prihatno mengatakan, SK 195 Tahun 2003 KLHK hingga kini justru masih berlaku. Sementara soal luas hutan lindung yang disebut berkurang atas permintaan KLHK, ia beum merespons hingga tulisan ini diturunkan.
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.