Ahli Sidang Ratna: Sebar Berita Bohong Sebabkan Keonaran Bisa Dipidana

25 April 2019 16:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiga saksi ahli pada sidang lanjutan Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Kamis (25/4). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tiga saksi ahli pada sidang lanjutan Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Kamis (25/4). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang kasus penyebaran hoaks dan keonaran dengan terdakwa Ratna Sarumpaet dilanjutkan. Kali ini, pakar hukum pidana, Dr. Metty Rahmawati Argo, memberi keterangan di sidang.
ADVERTISEMENT
Metty menjelaskan soal pasal 14 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1946 soal keonaran. Menurut dia, pasal itu masih relevan untuk diberlakukan hingga saat ini.
"Sampai sekarang undang-undang tersebut masih berlaku selama belum ada yang mencabut," ujar Metty dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/4).
Ia menjelaskan, latar belakang dikeluarkannya undang-undang tersebut, yakni menghindari keonaran pada masa itu karena negara Republik Indonesia belum lama berdiri.
"(Di masa) Presiden Soekarno membuat itu agar tidak terjadi demonstrasi yang menyebabkan ketidaktenangan karena baru saja merdeka," jelas dia.
Tersangka kasus penyebaran hoaks, Ratna Sarumpaet, menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Kamis (25/4). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kuasa hukum Ratna sempat mempertanyakan pemilihan penggunaan pasal dalam undang-undang tersebut alih-alih menggunakan pasal dalam KUHP dalam kasus penyebaran berita bohong.
ADVERTISEMENT
"KUHP mengatur tapi tidak secara rinci. Tidak rinci tentang keonaran dalam masyarakat," ujar pengajar di Universitas Trisakti tersebut.
Ia kemudian menjelaskan frasa keonaran yang dimaksud. Menurut Metty, keonaran dalam bahasa hukum adalah munculnya situasi yang tidak kondusif. Situasi yang membuat kehidupan tidak tenang.
“(Keonaran itu) timbulnya suatu kerusuhan atau keadaan yang membuat kondisi tidak tenang. Ini karena pro dan kontra. Ada dua kelompok atau golongan tidak menemukan titik temu dan menjalar akhirnya tidak kondusif," tutur Metty.
Metty juga menjelaskan penyebaran berita bohong yang dilakukan secara sengaja dan berdampak pada terjadinya keonaran bisa dikenakan pidana.
”Kalau dilihat isi norma itu memberitahukan kebohongan dengan sengaja memberikan keonaran. Dalam konteks tersebut kalau orang menyiarkan kabar dan membuat keonaran itu delik materil itu bisa dijatuhi pidana,” papar Metty.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, kuasa hukum Ratna, Insank Nasrudin, meyakini bahwa kebohongan yang dibuat oleh kliennya tidak berdampak keonaran pada masyarakat.
"Kami bisa menyimpulkan persoalan kasus kebohongan Ratna jauh dari kata keonaran, adanya korban, adanya dampak yang lain, karena kebohongan yang dilakukan oleh dirinya untuk menutupi kepada anak-anaknya,” kata Insank usai persidangan Kamis (4/4) lalu.
Tiga saksi ahli memberikan keterangan pada sidang lanjutan Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Kamis (25/4). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ratna didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 sendiri berbunyi, "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun,".
ADVERTISEMENT