Ahli UI: Sulit Dipercaya UU KPK Disahkan, Prosesnya Ajaib

17 September 2019 18:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengikuti Focus Group Discussion membahas masa depan KPK dan Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengikuti Focus Group Discussion membahas masa depan KPK dan Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Ikatan Alumni Universitas Indonesia menggelar forum group discussion (FGD) membahas revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang baru saja disahkan. Diskusi digelar di ruang guru besar Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
Ahli hukum yang juga dosen UI, Gandjar Laksamana, mengatakan keputusan anggota DPR dan pemerintah dalam mengesahkan RUU KPK tidak wajar karena dilakukan dengan begitu cepat.
"Jadi, sulit bagi saya untuk menerima kenyataan (RUU KPK disahkan) apalagi ditambah tadi proses yang ajaib. Kalau mengikuti proses yang normal, enggak akan selesai ini, cuman mereka ini (DPR dan pemerintah) enggak normal," kata Gandjar dalam diskusi.
Gandjar sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan adanya revisi maupun perubahan dalam UU. Namun khusus terkait RUU KPK, ia melihat ada banyak kejanggalan dalam perubahannya.
"Latar belakang yang desain oleh pemerintah tentang dibentuknya (KPK), desain bahwa harus punya kewenangan yang lebih dari kepolisian kejaksaan. Mereka menjadi koordinator, memberi supervisi bahkan bisa mengambil alih (kasus) seperti itu. Bahkan dalam bahan rapat lain, itu (KPK) didesain supaya lembaga ini bisa menabrak siapa saja, tidak perlu izin-izin," ucap Gandjar.
ADVERTISEMENT
Gandjar melihat slogan pemerintah untuk menguatkan KPK melalui RUU KPK hanyalah omong kosong belaka. Menurutnya, RUU KPK justru melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
"Bahwa lembaga ini desainnya mau diubah, jangan bilang diperkuat-diperkuat bilang dulu ini baju kemeja mau diubah mejadi kaos gitu. Jadi bukan kaos lebih kuat ketimbang kemeja, jadi dari desain yang dibentuk sulit bagi saya untuk menggunakan kerangka berfikir saya, dalam konteks positif thinking gitu ya melihat bagaimana aturan ini dibuat pasal demi pasal," jelasnya.
Sebagai contoh, Gandjar mengatakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik harus meminta izin dewan pengawas dinilai sarat akan kepentingan. Ia khawatir izin penyadapan itu akan disalahgunakan oleh pihak tertentu.
"Nomor 5, Pasal 1 tiba-tiba muncul penyadapan, memang ini yang ditakutkan. Penyadapan kenapa dipermasalahkan? Penyadapan belum diatur di UU. Terus ada yang nyahut polisi dan jaksa izin dulu hakim untuk nyadap, loh ini juga sama di atur dalam UU (KPK) enggak perlu izin, di UU dijelaskan tidak perlu izin," tegas Gandjar.
ADVERTISEMENT
"Dewan Pengawas ini, bagaimana ada kewenangan untuk izin menyadap dan lain-lain, ada masalah apa? Kalau bersih tidak usah diawasi, siapa pengawasnya? Akui saja desainnya (KPK) sekarang mau diubah," tambahnya.
Selain itu perubahan status pegawai KPK menjadi ASN menjadi sorotan bagi Gandjar. Jika pegawai KPK merupakan ASN, maka ia mempertanyakan siapa yang berhak menjadi koordinator para pegawai KPK termasuk dengan penyidik dan penyelidik.
"Pegawai KPK itu ASN, kita bertanya-tanya yang celakanya misal penyelidik penyidik terus jadi PNS, kalau PPNS koordinatornya siapa? Polri?" tutur Gandjar.
Terakhir, mengenai kewenangan KPK untuk memberikan SP3, Gandjar menilai saat ini belum dibutuhkan oleh KPK. Sebab kinerja KPK untuk menangani kasus korupsi selama ini sudah cukup memuaskan.
ADVERTISEMENT
"Toh batasnya (penyidikan) sudah dibuat oleh hukum pidana daluwarsa penuntutan, daluwarsa pemidanaan sudah dibuat, tergantung tindak pidananya. Ada 1 sampai 13 tahun untuk di kejahatan korupsi itu batasannya 12 tahun rata-rata itu sangat cukup," tutupnya.
Proses pengesahan revisi UU KPK terhitung cepat. Setelah Jokowi menerbitkan Surat Presiden (Surpres) revisi UU KPK ke DPR, dua menteri mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi UU KPK, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin.
Rapat antara DPR dan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK juga sangat singkat. Kedua pihak bertemu untuk rapat panja dan rapat kerja sebanyak dua kali, yaitu pada Jumat (13/9) dan Senin (16/9).
ADVERTISEMENT
Rapat perdana berlangsung secara tertutup selama lebih dari 3 jam. Poin-poin pembahasan revisi UU KPK karena rapat bersifat rahasia dan belum sampai pada kesimpulan.
Rapat kemudian dilanjutkan pada Senin (16/7). Rapat yang dihadiri oleh Yasonna Laoly dan Syafruddin itu kembali berlangsung tertutup, dan digelar kurang lebih 30 menit sejak pukul 20.30 WIB hingga 21.00 WIB.
Setelah menggelar rapat panja tertutup, baik pemerintah dan DPR akhirnya menyatakan sikap menyepakati revisi UU KPK. Kesepakatan itu diambil DPR dan pemerintah dalam rapat kerja antara Baleg DPR dan pemerintah untuk dibacakan di rapat paripurna hari ini