Akademikus UII Gelar Aksi Tolak Revisi UU KPK

9 September 2019 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah mahasiswa dan dosen UII menandatangani kain sepanjang 60 meter sebagai aksi tolak Revisi UU KPK. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiswa dan dosen UII menandatangani kain sepanjang 60 meter sebagai aksi tolak Revisi UU KPK. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR sepakat akan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Langkah ini mendapat penentangan dari sejumlah akademikus, termasuk Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Mereka membentangkan kain sepanjang 60 meter. Kain itu kemudian ditandatangani sejumlah dosen dan mahasiswa UII yang menolak revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
Melalui kajian yang dilakukan Pusat Studi Hukum (PSH) dan Pusat Studi Kejahatan Ekonomi (PSKE) Fakultas Hukum UII, setidaknya ada 18 sampai 20 pasal di beleid UU KPK baru yang dinilai akan melemahkan komisi antirasuah itu.
Ketua PSH UII Anang Zubaidi mengatakan kajian ini dilakukan singkat, hanya selama 4-5 hari. Sebab, rencana revisi ini baru mencuat sepekan yang lalu. Menurut dia, ada kesan revisi ini muncul secara diam-diam.
"Jadi begini ada beberapa pasal yang kita cermati. Paling tidak ada 18 hingga 20 pasal yang kita cermati, tetapi dari sekian pasal yang kita cermati ada beberapa isu penting yang memang harus kita waspadai," ujar Anang ditemui usai Pernyataan Sikap Sivitas Akademika UII Atas Rencana Revisi Undang-undang KPK di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Senin (9/9).
Sejumlah mahasiswa dan dosen UII menandatangani kain sepanjang 60 meter sebagai aksi tolak Revisi UU KPK. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Anang tak menjelaskan spesifik pasal mana saja yang dimaksud. Namun menurut dia, salah satu isi pasal itu adalah menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif di bawah pemerintah. Padahal, niat awal berdirinya KPK adalah membentuk lembaga independen. Belum lagi, rencana pegawai KPK berstatus ASN. Hal itu menurut Anang semakin melemahkan independensi KPK.
ADVERTISEMENT
"Kaitannya pegawai. Di rencana revisi itu, status pegawai itu diletakkan sebagai bagian Aparatur Sipil Negara (ASN). Artinya revisi ini sudah menutup peluang bagi KPK untuk melakukan rekrutmen mandiri menjadi pegawai KPK di luar ASN," katanya.
"Kalau seandainya keseluruhan pegawai KPK adalah ASN yang dikhawatirkan adalah loyalitas ganda. Kalau ASN itu kan terikat dengan undang-undang ASN dan manajemen ASN. Ada alur birokrasi yang diikuti. Sementara kalau ditempatkan di KPK ke mana dia harus loyal," tegasnya.
Isu lain yang melemahkan KPK adalah rekrutmen independen oleh KPK sendiri. Serta, Dewan Pengawas yang memegang izin dalam penyadapan, penyitaan, atau penggeledahan.
"Yang terakhir terkait pembentukan Dewan Pengawas pembentukan yang kita lihat dalam revisi undang-undang KPK jelas itu akan memperlambat pemberantasan korupsi. Karena salah satu contohnya misalnya penyadapan itu harus seizin Dewan Pengawas. Itu sementara aktivitas penyadapan bisa sifatnya membongkar sesuatu yang berjejaring dan mungkin tidak semua orang bisa tahu" ujar dia.
ADVERTISEMENT
Kualifikasi Dewan Pengawas pun dipertanyakan. Sebab, persyaratannya dinilai lebih rendah dibanding pimpinan KPK.
"Keberadaan Dewan Pengawas yang aneh posisinya lebih rendah dari komisioner KPK, pimpinan KPK. Mana mungkin orang yang mengawasi kok kualifikasinya lebih rendah. Ketika penyadapan harus minta izin Dewan Pengawas yang dimintai izin kualifikasinya tidak lebih tinggi dari pimpinan KPK. Ini seolah-olah mengada-ada dan mengganggu independensi," kata Ari Wibowo Ketua Pusat Studi Kejahatan Ekonomi UII.
Tak pelak pembentukan Dewan Pengawas ini dinilai sarat akan konflik kepentingan karena sangat potensial diintervensi. Kewenangan Dewan Pengawas yang sangat besar juga dikhawatirkan menggangu upaya KPK memberantas korupsi.
Pernyataan Sikap Sivitas Akademika UII atas rencana Revisi Undang-undang KPK di Fakultas Hukum UII, Senin (9/9). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Menurut Ari, DPR lebih baik merevisi UU Tindak Pidana Korupsi ketimbang revisi UU KPK. Ari menjelaskan, Indonesia sudah meratifikasi The United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Namun sejauh ini pelaksanaanya masih banyak yang belum sesuai dengan pemberantasan korupsi misalnya soal memperdagangkan pengaruh.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan masih adanya celah korupsi masih lolos terjadi di Indonesia. Hal ini lantaran jerat korupsi hanya menyasar pada PNS atau penyelenggara negara.
"Kalau di Indonesia sekarang orang yang menerima suap itu dianggap korupsi kalau dia PNS atau penyelenggara negara. Tapi bisa jadi yang menerima suap orang yang berpengaruh tapi dia bukan PNS atau penyelenggara negara bisa istrinya bisa bapaknya atau orang yang berpengaruh pada penyelenggara negara," katanya.
"Maka sebaiknya prioritasnya adalah merevisi Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan KPK, itu hukum acara. Undang-undang materialnya dulu, logikanya rancangan KUHP-nya dulu baru rancangan KUHAP-nya," ujarnya.
Di sisi lain, Rektor UII Fathul Wahid mengatakan arah pelemahan KPK ini disebut sebagai pengkhianatan Jokowi pada janji-janji saat kampanye.
ADVERTISEMENT
"Arah perubahan yang tertuang dalam revisi ini terlihat melemahkan KPK, merupakan pengkhianatan terhadap janji kampanye Presiden Joko Widodo yang salah satunya visi dan misinya adalah penguatan peran KPK dalam agenda pemberantasan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Munculnya rencana pembentukan Dewan Pengawas juga dinilai memunculkan matahari kembar yang akan mengganggu independensi KPK.