news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aksi Tolak RUU PKS di CFD, Keluhkan Pasal Karet dan Bias Makna

14 Juli 2019 11:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aliansi Cerahkan Negeri menggelar aksi penolakan RUU PKS di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aliansi Cerahkan Negeri menggelar aksi penolakan RUU PKS di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
ADVERTISEMENT
Massa Aliansi Cerahkan Negeri menggelar aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di arena Car Free Day Bundaran HI, Jakarta, Minggu (14/7). Mereka menilai RUU tersebut sarat pasal karet dan tak sesuai dengan norma di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Ada banyak pasal yang karet dari RUU PKS ini. Contohnya, soal orientasi seksual, nah, itu tuh bias makna orientasi seksual itu. Padahal kita tahu orientasi seksual itu enggak cuma perempuan atau laki-laki, tapi dalam konteks ini bisa jadi bias antara laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan,” ujar Humas Aliansi Cerahkan Negeri, Alawyah.
“Banyak yang bias dalam pasal-pasal ini makanya. Selain tentunya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, normal agama juga,” tambahnya.
Aliansi Cerahkan Negeri menggelar aksi penolakan RUU PKS di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
RUU PKS lahir akibat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian meresahkan. Gagasan ini datang dari Komnas Perempuan yang melihat banyaknya pengaduan kekerasan seksual tidak tertangani dengan baik lantaran tak adanya payung hukum yang kuat.
Namun, RUU ini mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU itu. Mereka menilai draf RUU tersebut tidak tegas, tidak jelas dan ambigu. Bahkan, sejumlah pihak juga menyebut bahwa RUU ini telah melegalkan zina.
Aliansi Cerahkan Negeri menggelar aksi penolakan RUU PKS di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
Sementara dalam tuntutannya, Alawyah menganggap dasar pembentukan RUU PKS ini tidak kuat. Menurutnya, RUU PKS tidak memberikan perlindungan kepada perempuan, justru hanya menguatkan perilaku-perilaku yang menurut norma masyarakat menyimpang. Sedangkan hukuman kepada perilaku tersebut justru akan berkurang.
ADVERTISEMENT
“Jadi misalnya RUU PKS ini disahkan, kayak misalnya laki-laki [dan] perempuan berhubungan di luar nikah. Ketika itu dilakukan suka sama suka, mereka enggak akan kena pasal pidana. Walaupun ada yang melaporkan, karena itu concent, 'kan? Persetujuan. Bahkan yang melaporkan tidak senang malah yang akan dikenakan pasal,” jelas Alawyah.
Menurutnya, penghapusan kekerasan seksual kepada perempuan justru solusinya ada di perbaikan penegakan hukum di Indonesia, dan bukan untuk membentuk hukum baru.
“Ketika kita dilecehkan, kita lapor, nah, itu 'kan kalau misalnya tidak ada follow up dari hukum, yang salah bukan UU-nya, 'kan? Yang salah adalah penegakan hukumnya. Itu yang mau kita tekankan,” tuturnya.
Padahal, Komnas Perempuan berharap hak-hak perempuan yang difokuskan sebagai korban menjadi terlindungi setelah RUU itu disahkan. Setidaknya, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercakup dalam RUU PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
ADVERTISEMENT